Indonesia, suatu negara yang memiliki banyak sekali keragaman, mulai dari bahasa, agama, budaya, suku, dan ras. Bangsa Indonesia memiliki suatu semboyan yang secara tidak langsung juga merupakan suatu mimpi, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang dalam bahsa Jawa kuno memiliki arti “Berbeda-beda, tetapi tetap satu”. Mungkin mimpi itu belum secara utuh terwujud. Menurut saya alasan belum terwujudnya mimpi itu adalah masih ada konflik-konflik yang terjadi karena sikap intoleransi.
Saat ini kita membahas mengenai sikap toleransi, yang sebenarnya adalah dasar dari terwujudnya mimpi bangsa Indonesia, tentu kita tidak dapat lepas dari arti kata “toleransi” itu. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi kata “toleransi” adalah sifat dan sikap toleran yang biasanya ditujukan untuk menghormati adanya perbedaan pendapat, agama, ras, dan budaya pada setiap orang atau kelompok. Salah satu pakar yaitu Micheal Wazler (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan identitas.
Secara tidak langsung, sikap toleransi merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap pribadi dalam masyarakat. Sikap toleransi juga dapat menghambat atau bahkan menjauhkan setiap pribadi untuk melakukan tindakan diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mengurangi terjadinya penyebab-penyebab konfik. Menurut saya pribadi sikap toleransi adalah kunci yang utama untuk menciptakan perdamaiaan, karena sikap toleransi bukan hanya mengenai perbedaan agama, suku, ras dan budaya, tetapi juga mengenai menghargai perbedaan pendapat di setiap pribadi.
Saat ini ketika kita berbicara mengenai masa kini, tentu kita tidak dapat lepas dari generasi milenial (generasi muda) yang saat ini dikenal sebagai generasi yang istimewa. Generasi milenial adalah generasi yang nantinya melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia dalam tercapainya mimpi itu, sehingga generasi milenial harus mengerti, paham, dan melaksanakan sikap toleransi. Alasan tersebut sangat penting, karena sikap toleransi pada generasi milenial dapat menunjukan seberapa besar rasa nasionalisme di kalangan generasi milenial atau kaum muda. Semakin besar sikap toleransi yang diterapkan oleh kaum muda, itu juga menunjukan seberapa besar cinta generasi muda pada tanah air yang penuh keragaman ini.
Menurut CSIS (Centre for Strategic and International Studies) (2017) sekitar 87% dari 5000 pelajar, yang termasuk dalam generasi milenial ini adalah penikmat atau pengguna media sosial. Menurut saya media sosial itu dapat digunakan sebagai sarana yang cukup kuat untuk mengembangkan sikap toleransi di era digital ini. Perkembangan kehidupan berteknologi, memungkinkan generasi milenial ini menjadi kurang akrab terhadap lingkungannya.
Secara tidak langsung itu dapat menimbulkan rasa individualis yang nantinya menjadikan generasi muda ini mudah terkontaminasi dengan paham intoleran ataupun radikal. Generasi milenial adalah generasi yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dengan kemudahan teknologi yang mendukung generasi milenial itu memiliki kumudahan dalam mencari informasi.
Secara tidak langsung teknologi juga mempengaruhi generasi milenial ini, karena di dalam teknologi sangat mudah menyebarkan hal-hal yang positif maupun yang negatif, terlebih ketika nilai-nilai itu masuk dalam ranah media sosial, yang banyak diakses oleh generasi muda. Lewat teknologi, sebenarnya kita dapat mengatasi masalah-masalah intoleransi yang terjadi. Tentunya dengan membangun nilai-nilai positif di dalamnya, contohnya mengunggah undangan untuk mengikuti kegiatan kebersamaan atau menyebarkan berita-berita yang tepat dan sesuai fakta.
Seperti yang saya ungkapkan pada awal tadi bahwa untuk membatu proses keberhasilan mimpi bangsa Indonesia kita harus sikap toleransi terlebih dahulu. Bila kita sudah memiliki dan menerapkan nilai itu dengan maaksimal, mungkin konflik-konflik yang saat ini terjadi setidaknya jumlahnya lebih sedikit. konflik- konflik itu sebenarny terjadi sudah dari waktu yang lama, contohnya adalah konflik yang terjadi karena perbedaan agama. Konflik karena perbedaan agama sudah terjadi sejak tahun 1999. Di Indonesia sendiri ada 6 agama yang diakui secara resmi dan semua itu berbeda dalam tata peribadatannya atau upacara keagamaanya. Berbeda cara peribadatan, bukan berarti berbeda tujuan.
Menurut saya pribadi, agama itu bukan tujuan melainkan sebuah sarana untuk kita mencapai tujuan. Semua agama itu bertujuan pada Sang Pencipta yang nantinya memberikan kita keselamatan, hanya perantaraan dan cara setiap agama itu berbeda. Semua agama juga mengajarkan kasih, menurut saya tidak ada agama di Indonesia yang mengajarkan sesuatu yang buruk dan mengajarkan perpecahan, maka negara memberikan kebebasan bagi masyarakatnya untuk memeluk agama yang di rasa tepat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29.
Dari contoh agama ini tentu kita dapat memaknai bahwa sebenarnya perbedaan itu justru menjadi saranya untuk saling melengkapi, tapi amat disayangkan bahwa di Indonesia kesadaran itu saat ini belum dapat dimaknai oleh semua kalangan. Tentu kesadaran itu harus dibangun bukan hanya dalam media masa dan sebagainya, tetapi dalam segala aspek kehidupan, sehingga mendapat nilai toleransi itu akan cukup mudah dan dapat terlaksana dengan baik.
Menurut saya ini adalah salah satu solusi yang cukup tepat, yaitu merubah cara pandang kita mengenai perbedaan. Ketika dapat memandang dan memaknai suatu pengalaman dengan cara pandang yang berbeda dan positif, tentu itu akan sangat membantu, karena toleransi bukan hanya untuk hal-hal besar saja, tetapi juga hal-hal kecil.