MASALAH PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA DEPOK
UNTUK MASA JABATAN 2011-2016
(Suatu Analisis Akademik Nomatif, dan Empirik, serta Kode Etik dan Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan negara)
Oleh:
Prof. Dr. H. E. Koswara Kertapradja
I. LATAR BELAKANG MASALAH.
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok, Provinsi Jawa Barat
untuk periode 2011-2016 sejak proses pencalonan sampai kepada
pengesahan pengangkatan sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok untuk masa jabatan 2011-2016 dipandangnya bermasalah, karena terjadi penyimpangan hukum, pelanggaran etika publik dan norma kepatutan pemerintahan, yang mengakibatkan kerancuan hukum dan tidak terjaminnya kepastian hukum (onrechtszekerheids) dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Menurut data dan dokumen yang ada, permasalahannya dikonstatirberkisar antara lain kepada hal-hal sebagai berikut:
Pertama,bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131.32-62 Tahun 2011, tanggal 24 Januari 2011 tentang Pengesahan Pemberhentian Dr. Ir. H. NUR MAHMUDI ISMA’IL, Msc dari jabatannya sebagai Walikota Depok Masa Jabatan Tahun 2006-2011, dan Pengesahan Pengangkatan Dr. Ir. H. NURMAHMUDI ISMA’IL, Msc. sebagai Walikota Depok Masa Jabatan Tahun 2011-2 016, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132.32-63 Tahun 2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Pengesahan PemberhentianDrs. H. YUYUN WIRASAPUTRA dari jabatannya sebagai Wakil Walikota Depok Masa Jabatan Tahun 2006-2011, dan Pengesahan Pengangkatan Dr. KH. M. IDRIS ABDUL SHOMAD, MA sebagai Wakil Walikota Depok Masa Jabatan Tahun 2011-2016, dipandang sebagai “Cacat Hukum” (On-Rechtsmatig).
Kenapa dipandang sebagai “Cacat Hukum” ??Karena konsiderans yang menjadi dasar pertimbangan ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut didasarkan kepada:
1)Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok No. 172/10-Setwan/11, tanggal 18 Januari 2011, yang hanya ditanda tangani oleh seorang Wakil Ketua DPRD Kota Depok, Dr. Prihandoko, MIT, tanpa dimusyawarahkan, baik dengan Pimpinan DPRD, maupun Badan Musyawarah DPRD Kota Depok;
2)Keputusan KPU Kota Depok No. 24/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010 tanggal 25 Oktober 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok menjadi terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016 dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, sudah dicabut dandibatalkan dengan Keputusan KPU Kota Depok No. 10/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010.
Kedua, bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No. 24/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010, tanggal 25 Oktober 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota menjadi Calon Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016 dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, telah dibatalkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Depok dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No. 10/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2013, tanggal 15 Mei 2013 tentang Pencabutan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No. 24/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010, tanggal 25 Oktober 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota menjadi Calon Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016 dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010.
Ketiga, bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota DepokNo.07/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2012 yang mencabut KeputusanKomisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor: 18/Kpts/R/KPU-Kota011.329181/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon dan Nomor UrutPasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam PemilihanUmum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, atas perintahMahkamah Agung RI. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No.07/Kpts/R/KPUKota-011.329181/2012 tersebut, yang sekaligus menetapkan pula nama-nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, yaitu :
1. Drs. Gagah Sunu Sumantri, MPd. dan Dery Drajat;
3. Dr. Ir. H. Nurmahmudi Isma’il, Msc dan Dr. H. Mohammad Idris, MA.;
4. Drs. H. Badrul Kamal, MM dan Ir. H. A. Supriyanto AT, MM.,
Berdasarkan Keputusan KPU Kota Depok No. 07/Kpts/R/KPU-Kota11.329181/2012,tanggal 14 September 2012, yang membatalkan Keputusan KPU Kota Depok No.18/Kpts/R/KPU-Kota-011.329.181/2010, tanggal 24 Agustus 2010 , maka semua produk hukum yang dikeluarkan oleh KPU Kota Depok, berdasarkan Keputusan KPUD Kota Depok No. No.18/Kpts/R/KPU-Kota-011.329.181/2010, tanggal 24 Agustus 2010 tersebut, beserta ikut-ikutannya, batal demi hukum. Akibatnya, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132.32.63 Tahun 2011, tanggal 24 Januari 2011 yang menetapkan pengesahan pengangkatan Dr. KH.M. Idris Abdul Shomad, MA sebagai Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016, tidak konsisten dan bertentangan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No.18/Kpts/R/KPU-Kota-011.329.181/2010, tanggal 24 Agustus 2010 yang telah dicabut dan dibatalkan oleh Keputusan KPU Kota Depok No. 07/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2012 tanggal 14 September 2012 yang kedua Keputusan tersebut menetapkan Calon Wakil Walikota Depok Tahun 2010 Pasangan Nomor Urut 3 adalah Dr. H. Mohammad Idris, MA, dan bukan Dr. KH.M.Idris Abdul Shomad, MA.
Keempat, Pimpinan DPRD Kota Depok dengan suratnya No.172/59 Setwan/11 tanggal 25 Januari 2011 mengajukan koreksi dan usul kepada Mendagri melalui Gubernur Jawa Barat, bahwa Surat DPRD Kota Depok No. 172/10-Setwan/11 yang hanya ditanda tangani oleh seorang Wakil Ketua Dr.Prihandoko, MIT, tidak disepakati oleh seluruh Pimpinan DPRD, dan tidak dimusyawarahkan dalam Badan Musyawarah DPRD Kota Depok, sehingga Surat DPRD tersebut dipandang cacat administrasi (mal-administration),dan dengan demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, maupun secara kelembagaan, yang pada gilirannya mengakibatkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pengesahan pengangkatan Wali Kota dan Wakil Walikota Depok untuk masa jabatan 2011-2016, juga adalah cacat hukum (on-rechtsmatig) dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Kelima, Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok No.170/819/DPRD tentang Penyampaian Rekomendasi Keputusan Rapat Badan Musyawarah DPRD Kota Depok, yang isinya mengingatkan dan mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat, bahwa dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung RI No. 14K/TUN/2012, sesungguhnya hasil Pemilu Walikota dan Walikota Depok Tahun 2010, dengan dicabutnya berbagai Keputusan KPU No. 18; No. 23; No. 24; secara hukum bermasalah dan tidak ada kepastian hukum.Oleh karena itu, berdasarkan pandangan hukum dari Fraksi-fraksi di DPRD Kota Depok, yaitu: Fraksi Partai Demokrat¸ Fraksi GOLKAR, Fraksi PDIP, Fraksi PAN, dan Fraksi Gerinda Bangsa., DPRD Kota Depok mengusulkan agar Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok untuk masa jabatan 2011-2016 diulang kembali, memberhentikan Walikota dan Wakil Walikota Depok sekarang, serta menunjuk Pejabat sementara Walikota Depok, sampai teripilihnya Walikota dan Wakil Walikota Periode 2011-2016 termaksud.
Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah, telah merespons kedua Surat DPRD Kota Depok termaksud. Jawaban Menteri Dalam Negeri, c.q. Direktur Jenderal Otonomi Daerah kepada Gubernur Jawa Barat melalui Suratnya No.131.32/707/0TDA, tanggal 4 Februari 2013, terutama yang terkait dengan usul pemberhentian Walikota dan Wakil Walikota Depok, dinyatakan bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131.32-62 Tahun 2011 dan No. 132.32-63 Tahun 2011, saat ini sedang menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara yang masih diperiksa di tingkat Mahkamah Agung.
Sedangkan jawaban terhadap Surat DPRD Kota Depok No.170/287-DPRD, tanggal 15 Juli 2013 perihal permohonan tindak lanjut Keputusan KPU Kota Depok No. 09/Kpts/R/KPU-Kota-0011.329181/VI/2013 tentang pencabutan Keputusan KPU Kota Depok No. 23/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010 tentang rekapitulasi perhitungan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, melalui Surat Menteri Dalam Negeri, c.q. Direktur Jenderal Otonomi Daerah No.270/5335/OTDA, tanggal 19 Agustus 2013, telah dijawab bahwa perintah/keputusan Mahkamah Agung telah dilaksanakan dengan keluarnya Keputusan KPU Kota Depok No.07/Kpts/R/KPU-Kota-0011.329181/2012, tanggal 14 September 2012, yang telah mencabut Keputusan KPU No. 18 dan 23/Kpts/R/KPU-Kota-0011.329181/2012.
Namun, status Keputusan KPU Kota Depok No. 10/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2013 tentang Pencabutan Keputusan KPU Kota Depok No. 24/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010 tentang Penetapan Calon Walikota dan Wakil Walikota menjadi Calon Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, yang justru menjadi inti substantive permasalahan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016, tidak direspons dalam Surat Menteri Dalam Negeri No.270/5335/OTDA, tanggal 19 Agustus 2013.
Kemudian, memperhatikan jawaban Mendagri dalam point 3 surat Mendagri cq. Dirjen Otonomi Daerah No. 270/5335/OTDA tersebut, yang menegaskan bahwa “Mempedomani Surat Mahkamah Agung Nomor: 114KMA/MK.01/IX/2011, tanggal 6 September 2011 dalam hal Pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah, maka sejalan dengan hal tersebut tidak ada alasan untuk menghidupkan lagi pelaksanaan Pilkada di Kota Depok”.
Nampaknya, pernyataan tersebut, seperti tidak ada relevansinya dengan masalah pemilihan Walikota dan Wakil Walikota yang sedang dihadapi di Kota Depok sekarang ini, karena tidak ditegaskan apa isi Surat Mahkamah Agung No. 114KMA/MK.01/IX/2011 termaksud.
II. ANALISIS AKADEMIK, NORMATIF, DAN EMPIRIK
Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), perlu memperhatikan “pradigma hukum” dan “paradigma pemerintahan”, serta “asas-asas pemerintahan”, yang terdiri asas sebagai “suatu system” dan asas sebagai “suatu kepatutan” (Behoorlijk Bestuur).
Paradigma hukum yang dimaksud ialah bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh pejabat/penguasa (Overheids) harus didasarkan kepada “landasan hukum” (Rechtsmatig), sebab kalau tidak, tindakan itu dianggap sebagai “cacat hukum” (Onrechtsmatig), dan dengan demikian tindakan itu “tidak sah” (tidak legitimate). Ini adalah sebagai konsekuensi daripada kedudukan Negara Indonesia sebagai “Negara hukum” (Pasal 1 ayat 3 UUD-1945).
Dalam Paradigma Pemerintahan, lebih ditegaskan lagi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh pejabat/penguasa (Overheids), tidak hanya didasarkan kepada “landasan hukum” (Rechtsmatig), tetapi harus didasarkan pula kepada asas pencapaian tujuan (Doelmatig).
Yang dimaksud dengan “pencapaian tujuan” (Doelmatig) disini adalah “untuk kepentingan umum” (Common good), sebab kalau hanya didasarkan kepada “landasan hukum” (Rechtsmatig) semata, tanpa disertai “Doelmatig”, maka bagi pejabat/penguasa yang “tidak jujur”, dilihat dari aspek Etika & Moral, bisa saja pejabat/penguasa tersebut menyalah gunakan kekuasaannya, demi kepentingan pribadi, keluarga, golongan, partai dll dengan jalan melakukan tindakan apa yang disebut “pembenaran hukum”, sehingga hukum yang nota bene dijadikan pembenaran hukum, dipaksakan untuk diterima.
Melihat kasus Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010, saya tidak akan membahas permasalahan yang terjadi sejak proses pemilihan mulai dari pencalonan sampai kepada ditetapkannya calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok untuk masa jabatan 2011-2016, karena itu saya menganggap sudah given dan sudah sampai diputuskan oleh PTUN dan Kasasi MA.
Adapun yang akan saya analisis adalah berkaitan dengan penyimpangan terhadap paradigma hukum dan paradigma pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131 32..62 Tahun 2011 dan No. 132.32.63 Tahun 2011 masing-masing tanggal 24 Januari 2011, serta tindakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah mengusulkan pengesahan pengangkatan Walikota dan Wakil Walikota DepokMenteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat, disamping adanya tindakan-tindakan Komisi Pemilihan Umum yang telah mencabut dan membatalkan berbagai Keputusan KPU Kota Depok, yang berdampak hukum terhadap status dan kedudukan Walikota dan Wakil Walikota yang telah dinyatakan sebagai Calon Terpilih.
A.Tinjauan Normatif dan Asas Penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan ketentuan sebagai diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan No. 131.32.62 Tahun 2011 tentang penetapan pengesahan pemberhentian Dr.Ir.H.NURMAHMUDI ISMA’IL, Msc dari Jabatan Walikota Depok untuk masa jabatan 2006 – 2011, dan penetapan pengesahan pengangkatan Dr. Ir.H.NURMAHMUDI ISMA’IL, Msc sebagai Wakilota Depok untuk masa Jabatan 2011-2016.
Keputusan Mendagri tersebut didasarkan atas pengusulan Surat DPRD Kota Depok No. 179/10-Setwan/11, tanggal 18 Januari 2011. Surat DPRD tersebut ditanda tangani hanya oleh seorang Wakil Ketua DPRD Kota Depok, yaitu Dr.Prihandoko, MIT. Walaupun menurut Surat Menteri Dalam Negeri No. 120/1559/SJ tanggal 27 Juli 2005 dimungkinkan usulan pengesahan pengangkatan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah tersebut disampaikan oleh salah satu Wakil Ketua, apabila Ketua DPRD tidak dapat melaksanakan tugasnya, namun bagaimanapun juga perlu ada penjelasan dan alasan-alasan mengapa Ketua DPRD Kota Depok tidak dapat menjalankan tugasnya, sedangkan dalam Surat DPRD Kota Depok No. 179/10-Setwan/11, tanggal 18 Januari 2011 tersebut tidak ada alasan atau penjelasan apapun mengapa Surat DPRD tsb tidak ditanda tangani oleh Ketua dan semua Wakil Ketua, serta tidak dimusyawarahkan lebih dahulu pada Badan Musyawarah DPRD Kota Depok.
Dengan demikian, Surat DPRD Kota Depok yang ditanda tangani oleh Wakil Ketua Dr. Ir. Prihandoko, MIT tersebut, setidaknya telah melanggar dua prinsip penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:
a.Secara akademik, normatif dan institusional (Kelembagaan), kedudukan Pimpinan DPRD itu, merupakan Kepemimpinan Bersama (Collegial Leadership), dan bukan Kepemimpinan Tunggal (Single Leadership), bahkan setiap Keputusan DPRD itu pada dasarnya merupakan keputusan seluruh anggota DPRD, Pimpinan DPRD, Ketua maupun Wakil Ketua sesungguhnya tidak mempunyai kompetensi untuk mengambil keputusan, kecuali sudah diputuskan secara institutioinal dalam rapat Pleno DPRD. Inilah prinsip Collegial Bestuur dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga setiap tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip ini, sudah barang tentu bisa digolongkan kepada pelanggaran “asas penyelenggaraan pemerintahan”,yang secara hukum dan kelembagaan, sudah pasti tidak bisa dipertanggung jawabkan.
b.Secara Etika Publik dan Nilai Publik (Public Values), bahwa tindakan sendiri dalam kedudukan Lembaga Kolegial (Collegial Institution), tanpa berkonsultasi, bermusyawarah dlsb adalah merupakan tindakan tidak patut (Onbehoorlijk)ditinjau dari segi Etika Publik, Nilai Publik, dan perbuatan yang tidak etik.
c.Secara administrative, Surat DPRD teresebut tidak mencantumkan materi-substansi, yaitu Keputusan KPU Depok No. 23 dan 24/2010, yang justru dijadikan Konsiderans dalam Keputusan Mendagri No. 131 dan Nomor 132.
Memperhatikan data dan dokumen yang ada, Surat DPRD Kota Depok No. 172/10-Setwan/11 tersebut, bertanggal 18 Januari 2011 dikirim kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat, dan kemudian Gubernur Jawa Barat dengan suratnya No. 131/285/Pem.Um. tanggal 19 Januari 2011, hanya selang satu hari, langsung meneruskan usulan tsb kepada Menteri Dalam Negeri. Nampaknya, di level Kantor Gubernur Jawa Barat tidak ada pembahasan dan pengecekan secara cermat dan seksama terhadap kebenaran dan keabsahan Surat DPRD Kota Depok No. 172/10-Setwan/11 tanggal 18 Januari 2011 tersebut, dan mengirimkannyapun kepada Menteri Dalam Negeri, nampaknya dengan sangat tergesa-gesa.
Tindakan tergesa-gesa dari Gubernur terhadap suatu masalah yang sangat vital menyangkut nasib masyarakat banyak, menyangkut kepentingan Negara dan Bangsa, dengan perlakuan penelitian tidak cermat, pengecekan yang tidak seksama, pertimbangan yang adil dan masuk akal (belijkheid en redelijk), terutama mengecek tentang kebenaran dan keabsahan surat DPRD Kota Depok No. 172/10-Setwan/11 tersebut. Sudah barang tentu tindakan ini bisa digolongkan kepada tindakan tidak patut (Onbehoorlijk bestuur),yang pada gilirannya akan menimbulkan keraguan, ketidakpercayaan atau kecurigaan, bahwa pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan (de tournament du puvoir) untuk kepentingan konspirasi politik.
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang kedua, No. 132.32-63 Tahun 2011 tentang pengesahan pengangkatan Dr.KH.M.IDRIS ABDUL SHOMAD, MA juga dianggap bermasalah, karena tidak konsisten dan bertentangan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No. 18/Kpts/R/KPU-Kota-011329181/2010 , tanggal 24 Agustus 2010, yang menetapkan Calon Wakil Walikota Depok Pasangan No. Urut 3 adalah Dr.H. MUHAMMAD IDRIS, MA, dan bukan Dr. KH. M. IDRIS ABDUL SHOMAD, MA.
Lagi-lagi ini sebagai akibat kesalahan Surat DPRD Kota Depok No. 172/10-Setwan/11 yang tidak cermat, dan yang sama sekali tidak menyinggung adanya Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No.18/Kpts/R/KPU-Kota-011329181/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon dan Nomor Urut Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010.
B.Konsekuensi dan Dampaknya terhadap Penyelenggaraan
Pemerintahan.
Konsekuensinya, maka kedua Keputusan Mendagri, yaitu No.131.32-62 Tahun 2011 dan No. 132.32-63 Tahun 2011, masing-masing tanggal 24 Januari 2011 adalah tidak konsisten dan bertentangan dangan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok No. 18/Kpts/R/KPU-Kota-011329181/2010, dan karenanya dipandang sebagai“cacat hukum” (Onrechtsmatig), tidak sah, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan., karena baik secara proses dan procedure, maupun secara substantive, tidak terpenuhi sebagaimana mestinya.
C. Saran/Rekomendasi.
(1). Oleh karena itu, sebaiknya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131.32-62 Tahun 2011 dan No. 132.32-63 Tahun 2011, masing-masing tanggal 24 Januari 2011, dicabut dan dibatalkan. Pencabutan dan pembatalan kedua Keputusan Menteri Dalam Negeri trsebut, adalah merupakan “keniscayaan” (Conditio sine qua non),sebab kalau tidak, konsekuensinya akan membawa dampak yang lebih jauh kepada pelayanan masyarakat, dimana tindakan pemerintahan Daerah Kota Depok, khususnya tindakan Walikota dan Wakil Walikota Depok yang nota bene diangkat oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri yang “tidak sah”,maka akan merupakan dan berdampak tindakan hukum tidak sah pula (Onrechtsmatig).Tindakan tersebut pada gilirannya akan membawa presedent yang buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), yang pada gilirannya pula akan membawa dampak yang kurang baik bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih, terpercaya dan akuntabel.
(2) Akan terdapat dampak positif, apabila Surat Menteri Dalam Negeri Nomor; 270/5335/OTDA, tanggal 19 Agustus 2013, dan Nomor: 131.32/707/OTDA, tanggal 4 Februari 2013 merespons secara tegas dengan menyatakan bahwa Keputuan Menteri Dalam Negeri No. 131.32-62 Tahun 2011 dan 132.32-63 Tahun 2011 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Walikota dan Wakil Walikota Depok, Provinsi Jawa Barat, masa jabatan Tahun 2011-2016 diakuinya sebagai “cacat hukum”, dan segera akan dicabut,karena dalam konsideransnya mencantumkan Keputusan KPU Kota Depok No. 24/Kpts/R/KPU-Kota-0011.329181/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok menjadi Calon Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016 dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2010 yang nota bene Keputusan KPU No. 24 tersebut telah dicabut dan dibatalkan dengan Keputusan KPU Kota Depok No.10/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2013. Pencabutan dan pembatalan tersebut adalah sebagai konsekuensi dicabutnya Keputusan KPU Kota Depok No. 18/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010 dan Keputusan KPU Kota Depok No. 23/Kpts/R/KPU-Kota-011.329181/2010 untuk memenuhi Keputusan PTUN Bandung No.71/G2010/PTUN-BDG, PTUN Jakarta No.62/B/2011/PT.TUN-JKT dan Mahkamah Agung No. 14K/TUM/2012.
(3). Dengan tidak adanya keputusan yang tegas dari Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri, yaitu dengan membiarkan permasalahan ini berlarut-larut, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dan ketidak-percayaan masyarakat daerah (distrust) terhadap kesungguhan pemerintah untuk membangun pemerintahan yang jujur, demokratis, bersih dan amanah.
(4). Walaupun secara akademik ada theory yang mengatakan, bahwa membiarkan dengan tidak mengambil keputusan adalah “suatu decision”, namun menurut pendapat saya bahwa putusan (decision) yang demikian itu, ditinjau dari Etika Publik kurang baik, bahkan orang ekstreem mengatakan bahwa membiarkan keputusan yang tidak tegas bisa disebut sebagai “mal administration” atau bahkan sebagai “crime administration”.
(5) Sesungguhnya, Kota Depok walaupun termasuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, namun sebagai “hinter-land” Ibukota Negara RI, DKI Jakarta, diharapkan Kota Depok akan menjadi dan dipengaruhi oleh “Kota Modern dan Kota Pembaharuan”, di lingkaran Kota Metropolitan DKI Jakarta. Disamping itu, Universitas Indonesia suatu Universitas Nasional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, terletak di Kota Depok, yang diharapkan akan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa, sehingga seyogyanya secara psikologis dan akademik akan mewarnai pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok yang jujur, adil, bersih, demokratis dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya menjadi tauladan untuk melahirkan Kepala Daerah dan Wakilnya yang cerdas, jujur, terpercaya, dan akuntabel. Perbuatan tidak Etik¸ tidak jujur, penyalah gunaan kekuasaan, dan tindakan tidak patut (Onbehoorlijk), serta upaya-upaya konspirasi politik yang tidak baik dalam proses pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok ini, sudah bisa dipastikan akan menghambat perkembangan demokrasi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, Karenanya, seyogyanya perbuatan itu dibuang jauh-jauh, karena hal itu tidak sesuai dan bertentangan dengan pokok-pokok pikiran dan essensi pembukaan UUD-1945. Pokok-pokok pikiran dan essensi pembukaan UUD-1945 mewajibkan kepada Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
(6). Langkah-langkah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok, dipandang sudah merupakan sikap dan tindakan yang objektif dan relevant, dimana DPRD yang mendapat dukungan dari Fraksi-Fraksi, telah menyampaikan usulan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat, untuk meluruskan dan mensukseskan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota tsb. yaitu dengan mengulang kembali Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok; memberhentikan Walikota dan Wakil Walikota yang secara hukum pengesahan pengangkatannya tidak sah, dan perlu penunjukkan Pejabat Sementara Walikota, sampai terpilihnya Walikota dan Wakil Walikota Depok yang baru.
(7). Oleh karena itu, DPRD sebagai Badan Publik dan berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat, hendaknya tidak bosan-bosan mendesak kepada Menteri Dalam Negeri dengan cara-cara yang santun dan demokratis meminta meluluskan usulan tersebut, sambil berdo’a dan memohon kepada Allah SWT agar maksud baik dari DPRD dan dari pihak manapun yang membela kepentingan rakyat banyak, selalu mendapat berkat dan ridho Allah SWT. Amin ya robbal ‘alamin.
Depok, 11 Desember 2013.
Makalah dipersiapkan dalam rangka diskusi “Resolusi Terbaik Terhadap Kisruh Pilkada Kota Depok Tahun 2010”,, diselenggarakan oleh “MASYARAKAT PEDULI HUKUM KOTA DEPOK”, tanggal 11 Desember 2013, di Kota Depok.
Pemakalah adalah Dosen/Guru Besar Bidang Ilmu Pemerintahan pada berbagai Universitas/Perguruan Tinggi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H