Mohon tunggu...
Pollung Sinaga
Pollung Sinaga Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar | Konten Kreator

Menulis adalah satu cara memberi tanpa meminta, menabur benih tanpa mengharapkan panen. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil (2nd Mile).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Nenek Penjual Koran

16 November 2024   18:55 Diperbarui: 16 November 2024   19:19 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harus kuakui, hingga detik ini saya belum pernah membeli barang yang dijajakan pengasong di pinggir jalan atau perempatan jalan padahal hampir saban hari melintasi jalanan perkotaan. Walaupun sudah kehausan di kendaraan tapi lebih baik menahannya sampai tiba di grosir atau swalayan. Terkadang bila malas turun ya gas aja sampai rumah untuk memuaskan dahaga. Pengen juga sih sebenarnya membantu mereka sekadar memberi seribu dua ribu tapi entah kenapa hati kecilku selalu menolak untuk membeli barang dagangan mereka.

Pagi tadi dalam antrian panjang macet, hati kecilku berontak dengan 'prinsip' yang selama ini kupertahankan. Selintas mataku memperhatikan sesosok tua menenteng tas di pundaknya dan tangan keriputnya memegang beberapa lembar koran. Nenek itu terus saja menjajakan koran, berpindah dari satu pengemudi ke pengemudi lainnya tanpa satu pun yang sudi membeli koran jualannya. Entah kenapa mataku tak berpaling dari si Nenek dan terus saja mengikuti gerak dan liuk tubuhnya di sela-sela mobil yang menunggu kapan jalanan yang macet ini akan terurai. Sudah hampir dua puluh pengemudi yang ditawari koran, tak satu jua yang sudi membeli koran si Nenek. Dalam hati kasihan sekali nenek itu, tapi siapa pula yang masih membaca koran di zaman Android dan iPhone sekarang?

Jalanan macet belum usai. Kulihat perlahan nenek penjual koran mulai menghampiri kendaraanku. Dengan refleks kubuka penuh kaca mobil dan kusodorkan uang dua ribu rupiah. Dengan sigap si Nenek menyodorkan korannya. "Ambil aja Nek, korannya gak usah!" ujarku pelan. Si Nenek tetap menyodorkan koran. "Nenek jualan koran Nak, tapi belum ada laku dari jam 6 tadi!" gumamnya lirih. Hatiku serasa teriris sembilu saat si Nenek berujar korannya belum ada laku. Mendengar itu spontan kuambil pecahan sepuluh ribu dan memberikannya kepada si Nenek. "Korannya dua ribu aja Nak!" ujar si Nenek menolak uang sepuluh ribu yang kusodorkan. Dengan berat dan merasa terguncang kuterima koran dari si Nenek. Saya pun tak kuasa menyerahkan uang dua ribu, terpana dengan apa yang baru saja kualami. Si Nenek mengucapkan terima kasih dengan uang dua ribu di tangannya kemudian berlalu. Dari kaca spion kuintip si Nenek terus saja tanpa lelah kembali menjajakan koran dagangannya.

Dalam kendaraan mataku nanar memandangi kerlip lampu kendaraan di depanku. Tanpa terasa air mataku bercucuran mengingat wajah si Nenek. Lamunanku terhenti saat kendaraan di belakang membunyikan klakson. Aku melajukan kendaraan. Lewat spion kulihat si Nenek sudah berdiri di pembatas jalan. Pengen kupeluk dia dan berterima kasih atas kebajikan yang ditorehkannya sangat dalam di hatiku. Terima kasih Nenek Penjual Koran, Engkau mengajarkanku banyak hal hari. Duh Nek!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun