Mohon tunggu...
Dede Suryana
Dede Suryana Mohon Tunggu... -

saya manusia biasa yang ingin pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Florence Sihombing dan Blangkon Jogja

7 September 2014   03:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:25 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14100114641386559052

[caption id="attachment_341361" align="alignnone" width="809" caption="Florence Sihombing di SPBU Lempuyangan, Yogyakarta"][/caption]

"Berikan kesempatan Flo berada di Jogja dan selesaikan kuliahnya. Tidak hanya belajar (di kampus) tapi toh dia juga belajar dengan nilai lingkungan masyarakat Jogja," demikian Sri Sultan Hamengkubuwono X mengakhiri ingar bingar kasus Florence Sihombing, Mahasiswa Pascasarjana Program Kenotariatan Univeritas Gadjah Mada (UGM) yang mengunggah umpatan mengenai Yogyakarta di situs jejaring Path.

Raja Jogja bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah itu memaafkan Florence.

Sultan secara tersirat meminta masyarakat (Jogja khususnya) yang marah dan balik menghujat Florence dalam beragam ekspresi kekesalan --mulai cacian bernada rasis, gambar nakal rekaan beraroma cemooh, meretas (hack) laman Kenotariatan UGM, hingga membawa permasalahan ini ke ranah hukum-- kembali tenang.

Mengamalkan nilai-nilai adiluhung konsep kekuasaan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berkuasa mutlak namun tetap diimbangi dengan kewajiban moral untuk menyejahterakan rakyatnya. Sebagaimana konsep keagungbinatharaan, kekuasaan yang besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, berbudi luhur mulia, dan bersikap adil terhadap sesama (agung binathara, bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambang adil paramarta).

Ngarso dalem juga meyakinkan kawulo Jogja dan masyarakat secara luas bahwa dengan berjalannya waktu Florence akan memahami filosofi blangkon Jogja dengan mondholoan (tonjolan) di belakangnya. Mengutip penjelasan Budayawan Emha Ainun Najib, mondholan pada blangkon Jogja menggambarkan karakter warga setempat yang pandai menyimpan rahasia dan aib sendiri maupun orang lain. Terkesan basa-basi namun itulah bukti keluhuran budi masyarakat Jawi.

Filosofi lain, blangkon menjadi simbol kesempurnaan dalam pertautan mikrokosmos (jagad alit) dan makrokosmos (jagad ageng). Blangkon sebagai isarat jagad ageng yang penuh nilai-nilai transedental, sementara kepala merupakan jagad alit yang berada dalam naungan makrokosmos. Keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang memerlukan kerja keras namun tetap bergantung pada kuasa Tuhan. Karenanya untuk mencapai misi kekhalifatan itu dibutuhkan tangan Tuhan dalam simbol blangkon.

Semoga filosofi blangkon ini terus bisa dijunjung tinggi (khusus) oleh masyarakat Jogja, dan orang-orang yang pernah maupun sedang tinggal di Jogja. Mereka selalu pandai menyimpan rahasia. Senantiasa tersenyum ramah meski hatinya menangis. Sakit hati karena hinaan tidak harus dibalas dengan cercaan. Apalagi diumbar di media sosial yang kini dalam genggaman.

Florence hanya kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, kemudian menyampaikannya dengan blakblakan. Sesuai karakternya yang tidak pandai berbasa-basi.

Walhasil, tidak ada salahnya mengikuti ajakan Sri Sultan, “Maafkan Florence”. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun