[caption id="attachment_331162" align="aligncenter" width="562" caption="Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri (dua kanan) berfoto bersama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (dua kiri) dan Ketua Panitia Rakernas III PDIP Puan Maharani (kanan) usai mengikuti acara penutupan di Ancol, Jakarta, Minggu (8/9/2013). Ilustrasi/ Kompasiana (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)"][/caption]
PDIP sukses mempecundangi rakyat pemilih sehingga mereka bersusah-payah mencari wajah lugu Jokowi di kertas suara. "Banyak yang mau nyoblos Pak Jokowi, tapi ternyata tidak ada. Itu karena faktor sosialisasi yang kurang," kata Wakil Sekjen PDIP Hasto Kristianto.
Hasrat Megawati menjadikan Jokowi sebagai barang dagangan partainya tidak membuahkan hasil gemilang. Berdasarkan hitung cepat Kompas yang tingkat presisinya cukup tinggi, partai moncong putih hanya meraih 20 persen suara, jauh di bawah target 25-30 persen suara.
Sekalipun perolehan itu sudah cukup untuk mengajukan capres sendiri dan melebihi perolehan Pileg 2009, banyak orang percaya tanpa ada Jokowi pun, PDIP akan mengantongi 20 persen suara, berkah dari ambruknya Partai Demokrat yang perolehan suaranya terjun bebas dari 20,8 persen (Pileg 2009) ke perolehan di bawah 10 persen (Hitung Cepat Pileg 2014).
Dalam pengamatan Lembaga Survey Indonesia, Jokowi tidak termasuk sosok paling berpengaruh di Pemilu Legislatif 2009 yang berlangsung lancar, Rabu (9/4) kemarin. Dua tokoh paling punya efek justru capres Rhoma Irama yang berhasil mengerek perolehan PKB hingga mendekati 10 persen, dan mantan bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang sebaliknya menjungkalkan partai SBY ke perolehan di bawah 10 persen.
Yang menggelikan dari perkembangan hasil sementara Pemilu 2014 adalah respon PDIP seperti diutarakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Hasto Kristianto. Menurut Hasto, tidak maksimalnya "ramuan Jokowi" yang diracik PDIP tak lain disebabkan oleh KPU yang minim sosialisasi.
"Ada yang menganalisis bahwa 'Jokowi Effect' terkunci sejak dua minggu terakhir, ini karena faktor sosialisasi (pileg)," kata Hasto kepada Kompascom, Rabu (4/9) malam di kediaman Megawati. Walhasil, rakyat jadi gagap saat berada di bilik suara. Mereka mengira Rabu kemarin adalah Pemilu Presiden!
"Banyak yang mau nyoblos Pak Jokowi, tapi ternyata tidak ada. Itu karena faktor sosialisasi yang kurang," lanjutnya.
Sebelum Hari Pencoblosan, saya sudah menegaskan bahwa strategi politik yang ditempuh PDIP adalah sebuah contoh vulgar dari apa yang bisa disebut sebagai pembodohan politik. Rakyat dijejali informasi sesat bahwa kalau PDIP menang Jokowi presiden. Sehingga, mereka mengira Pemilu 9 April 2014 adalah untuk memilih presiden. (Baca artikel "Jangan Joblos Prabowo atau Jokowi, Besok!")
Meskipun PDIP bukan satu-satunya partai yang melakukan 'strategi jitu' tersebut, tapi keputusan Megawati mencapreskan Jokowi sebelum Pileg, menempatkan partai ini berada dalam sorotan utama media. Pendiri PDIP ini yakin, jagoannya akan mendongkrak perolehan suaranya hingga 30 persen. Sekalipun pencapresan Jokowi jelas tidak sejalan dengan tekad putri Megawati sebelumnya untuk tidak akan mengumumkan Capresnya sebelum Pileg.
Menyalahkan KPU jelas tindakan pecundang, terlebih di saat sebagian orang menilai KPU telah melakukan sosialisasi yang lebih gencar, khususnya di kalangan anak muda. Keberhasilan dari sosialisasi ini hanya bisa diukur dari seberapa banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Bukan dilihat dari seberapa banyak pemilih yang mencari nama Jokowi di kertas suara!