Mohon tunggu...
Politik14 14
Politik14 14 Mohon Tunggu... -

Serunya politik sejak Pemilu 2014...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Capres, Abraham Samad Cawapresnya. Mungkinkah?

21 Maret 2014   23:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_327776" align="aligncenter" width="580" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]

Setelah PDIP membuat keputusan di luar dugaan (sebelumnya dugaan kuat yang dipancarkan PDIP adalah Megawati masih mau maju dalam Pilpres dan pengumumannya menunggu hasil Pileg), konstalasi politik berubah cepat.

Nama Abraham Samad mulai dikerek ke atas untuk mengimbangi Capres Jokowi. Ibarat bendera, upaya awal ini dimulai dengan kehadiran pengamat politik yang mengikatkan bendera Samad di tiang bursa cawapres. Setelah itu giliran politisi dan mesin partai yang bekerja mengerek bendera.

Samad langsung bilang 'katakan tidak pada (isu) cawapres'. Ketua KPK itu mengaku ingin balik ke kampung halamannya di Makassar setelah menuntaskan masa jabatan lima tahun di KPK. Kurang lebih sama dengan tekad Jokowi saat pertama kali tiba di Jakarta. Kalau lantas Jokowi mau dicapreskan, tidak ada yang terkejut, karena sulit menemukan orang yang menolak jabatan tertinggi di sebuah negara demokratis.

Melihat dari rekam jejak, tingkat popularitas dan kaitannya dengan pemberitaan di media massa, dua tokoh tersebut, yakni Jokowi dan Samad, punya kesamaan. Dua-duanya berasal dari kalangan yang tidak terkenal, lalu tiba-tiba menduduki posisi penting yang jadi perhatian banyak orang. Jokowi pemimpin daerah yang secara mengejutkan memenangkan Pilkada Ibukota, sedangkan Samad aktifis LSM daerah yang dengan cepat menduduki jabatan Ketua KPK.

Keduanya juga menunjukkan kinerja yang baik, terekspos secara positif di hampir semua media, bersamaan dengan banyaknya tudingan dan kritikan yang diberitakan. Tapi gabungan antara sanjungan dan kritikan membuatkan keduanya sangat terkenal di seantero nusantara. Jokowi menggebrak dengan masuk ke dalam got, sedangkan Samad menggebrak dengan menangkapi tikus-tikus di dalam got.

Dalam kondisi psikologi pemilih yang tidak terlalu peduli dengan apa itu politik dan pemilu, popularitas adalah satu-satunya modal untuk memenangkan pertandingan. Rendahnya tingkat pendidikan rata-rata pemilih membuat upaya promosi dan tebar janji menjadi sia-sia. Apalagi sebagian orang mulai apatis, dalam arti tidak merasakan hubungan kuat antara politik dan kehidupan pribadinya. Mereka merasa politik tidak memberikan dampak apa-apa dalam kehidupan mereka (baik positif maupun negatif).

Jadi ketika disodorkan pada sekian banyak kandidat, mereka akan memilih yang paling terkenal. Motivasi yang ada di dalam bawah sadar para pemilih kurang lebih sama dengan motivasi yang terpatri pada orang yang ikut memberikan dukungan kepada peserta Indonesian Idol ataupun X Factor Indonesia. Kandidat idol-idol ini adalah orang yang diseleksi dalam kurun waktu tertentu, untuk meraih hadiah tertentu.

SBY adalah contoh politisi yang mampu menjaga popularitasnya berada di atas para pesaing. Setelah SBY berlalu, toeri popularitas ini masih berlaku dan diterapkan oleh partai-partai lain yang lebih siap dari sisi stok kader.

Maka pada akhirnya, ketika bicara soal popularitas, pasangan Jokowi dan Samad adalah salah satu paket yang layak diuji tingkat keterpilihannya. Boleh jadi keduanya memiliki nilai jual yang spektakuler. Mengingat keduanya punya kekuatan di dua bidang yang berbeda, yang dua-dua sedang 'happening' di negeri ini, yaitu kepimpinan yang kuat dan pemberantasan korupsi.

Tentunya akan muncul banyak anomali dan penolakan. Apalagi kalau sudah masuk ke hitung-hitungan koalisi. Tapi setidaknya, dalam rangka memberikan sebanyak mungkin alternatif calon pemimpin negeri ini, pasangan Jokowi-Samad layak diusung.

Mungkinkah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun