Revitalisasi Pendidikan dan Revolusi Mental
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) , masyarakat sering "disuguhi" jargon-jargon kebangkitan. Setelah menamai kabinetnya dengan Kabinet Kerja, sehingga frase "kerja, kerja, dan kerja" menjadi familiar di tengah masyarakat. "Saya Indonesia, Saya Pancasila" juga menjadi sebuah jargon yang berupaya menyatukan dan mencintai Pancasila akibat dari fenomena sosisal politik di Pilkada DKI Jakarta. Salah satu jargon yang menjadi pokok concern dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan jargon "REVOLUSI MENTAL".
Setidaknya ada tiga elemen penting dalam upaya mewujudkan revolusi mental yakni Keluarga, Pendidikan , dan Lingkungan. Namun pada tulisan ini saya ingin fokus memahami, mengkritisi gerakan revolusi mental melalui dunia pendidikan. Menurut hemat penulis, revolusi mental yang didengungkan oleh pemerintah saat ini hanyalah sebuah ilusi jika tidak dilakukan melalui setiap jenjang pendidikan formal. Revitalisasi Pendidikan menjadi modal dasar dalam pembanguna carakter dan mental bangsa.  Revitalisasi pendidikan selama ini hanya di fokuskan pada pembanguna infrastruktur, sumberdaya mansusia dan kurikulum. Pada hal, ada hal yang lebih substansi  dalam melakukan revitalisasi pendidikan.
 Ada hal menarik yang kemudian dilupakan atau mungkin sengaja tidak dilakukan oleh Negara berkaitan dengan apa yang ada dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Negara rupanya alpa menterjemahkan salah satu tujuan pendidikan nasional yang kemudian menjadi dasar membangun revolusi mental. Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Agama adalah pondasi moral, sehingga nilai-nilai agama perlu menjadi kurikulum utama baik secara teori maupun praktik di lingkungan pendidikan. Tentunya untuk merumuskan kurikulum penunjang pembangunan insan beriman dan bertakwa didasarkan pada konsep dan dasar-dasar ketakwaan pada masing-masing agama. Sebagai contoh, Berjilbab/atau menutup aurat dalam islam adalah bagian dari ketaatan terhadap agama (takwa). maka kurikulum pendidikan dan praktik di lingkungan pendidikan  harus diarahkan pada bagaimana peserta didik wanita beragama islam belajar mengenakan jilbab atau busana yang menutup aurat. Jika kita sepakat memahami bahwa pendidikan adalah 'proses', maka proses menggapai ketakwaan juga harus terpatri pada lembaga pendidikan. Proses dimaksud adalah proses pembelajaran yang diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Berangkat dari teori politik Giddens yakni input - proccess- output - outcome, maka beriman dan bertakwa adalah input (masukan/tuntutan) yanng harus dicapai. Masukan/tuntutan ini adalah tujuan sehingga perlu diproses. Teori ini dalam perspektif politik maka aspirasi rakyat adalah input dan lembaga pemerintahan adalah wadah untuk memproses tuntutan sehingga melahirkan output berupa kebijakan dan outcome-nya adalah terpenuhinya tuntutan rakyat. Teori ini dapat berlakuk dalam mengukur pembangunan pendidikan nasional sebagaimana tujuan yang termaktub dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Tujun pendidikan nasional berupa mencetak manusia indonesia yang beriman dan betakwa adalah wilayah input (tuntutan) sedangkan lembaga pendidikan tempat dimana proses tehadap tuntutan terebut diberlakukan, sedangkan output-nya adalah lebijakan berupa kurikulum pendidikan diarahkan pada upaya mencapai tujuan, serta outcome dari kurikulum tersebut yakni peserta didik terbiasa dan menjadi sebuah ketaatan terhadap perintah agamanya baik saat berada di lingkungan pendidikan maupun setelah menyelesaikan pendidikan dan berada di tengah masyarakat ketaatan-ketaan terhadap ajaran agama yang ia belajar dan praktik di lembaga pendidikan terus tertanam dalam pergaulan sosial.
Pendidkan adalah proses maka dapat kita sandingkan dengan teori pendidikan Ignas Kleden tentang 'belajar menjadi'/How to Be/Being . Pertama, How to Think  (belajar tentang) /Doctrins; Kedua, How to Do (proses)/practices.  How to Think merupakan metode pembelajaran yang berada pada pemberian teori (doktrin) tentang sebuah nilai yang menjadi materi pembelajaran. Pada tataran ini murid mendengar guru bicara. How to Do, adalah upaya lanjutan setelah pemahaman terhadap sebuah teori, dimana terori/doktrin yang telah diajarkan dapat dilaksanakan/dipraktikan. Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan kritikan pendidika gaya bank oleh Paulo Freire. Bahwa guru atau pendidik adalah kepanjangan tangan dari sumber ilmu pengetahuan yang harus disampaikan ke peserta didik.Â
Guru adalah wadah atau tabungan ilmu pengetahuan sehingga tabugan tersebut dapat didistribusikan ke peserta didik agar pengetahuan tidak semata behenti di tenaga pendidik. Peserta didik juga perlu medaptkan transfer pengetahuan dari guru, guru bicara murid mendengar adalah bagia dari transfer pengetahuan. Namun tidak hanya berhenti pada transfer pengetahuan namun juga nilai-nilai pengetahuan harus diimplementasikan pada wilayah praktis.Â
Artinya pendidikan yang mampu merevolusi mental adalah perpaduan antara how to Think dan How to Do. Seseorang belajar untuk dapat mengayuh sepada akan diberitahu oleh pelatihnya tentang bagaimana belajar bersepeda, selanjutnya pelatih akan membawa seseorang tersebut ke tengah lapang untuk berlatih mengayuh sepeda jatuh bangun dan terluka adalah bagian dari upaya untuk menjadi dapat bersepeda. Begitulah Ignas Kleden menarasikan bagaimana pendidkan berbasis how to think dan how to do. Bahwa untuk menggapai peserta didik yang beriman dan bertakwa perlu didoktrin serta mempraktikannya.
Singkatnya, pembangunan mental (revolusi mental) harus dimulai dari revitalisasi tujuan pendidikan nasional berbasis penanaman nila-nilai agama sesuai dengan standarisasi keimanan dan ketakwaan setiap agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H