“PAK SARMAN dan GLOBALISASI”
Monica Jeanne Francoise
“Tuhan berpihak pada orang yang paling semangat.” (Nelson Mandela)
SEORANG laki-laki, tegap dan berbadan bidang, umurnya sebaya dengan Pak Karno saat beliau membacakan naskah proklamasi, mondar-mondir di siang hari itu. Dari dekat, hidungnya kembang-kempis menolak sinar matahari yang berusaha menarik keringat dari wajahnya dan matanya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk memperhatikan jalan tempat truk datang dan pergi.
Dari kejauhan, bapak ini tampak menghilang dan tidak ada. Wajah hitamnya tertutup oleh ibu-ibu gendut berkulit putih dan pedagang lain yang tampak tersenyum dan bercanda dengan tukang-tukang becak. Sesaat kemudian, matanya terpaku pada gerobak dekat situ. Berjalan pelan tapi pasti, ia menuju ke warung berbentuk gerobak itu.
“Pingsan itu sudah biasa, Dek...”
Suara berat itu diucapkan dengan wajah datar dan mata sayu. Dengan topi koboi ala Tompi dan baju loreng tentara, Pak Sarman terlihat seperti tukang palak ketika berdiri dekat tukang parkir dan dua temannya. Satu tangannya berkacak pinggang dan tangan lainnya mengangkat topi dan mengelap dahinya dengan topinya itu. Sinar matahari rupanya berhasil mengeluarkan butir keringat dari wajah Pak Sarman. Tak beberapa lama kemudian, Pak Sarman memesan kopi.
Suasana pasar tetap ramai. Selagi ada kesempatan tidak bekerja ini, Pak Sarman memejamkan mata dua detik. Namun ia menelan ludah melihat sepasang lampu mata kucing berbayang warna terang yang semakin mendekat. Kenyataan hidup pun dimulai.
*****
TRUK merah berhenti di jalur tempat truk sebelumnya tadi berhenti. Pintu depan terbuka dan turun seorang bapak berparas kuli. Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah warung dan kedua bola matanya tepat menatap tajam Pak Sarman. Dari gaya tubuhnya itu, terbentuk adanya relasi kuasa antara dia dengan Pak Sarman bahwa dia adalah bosnya dan Pak Sarman adalah kulinya. Tokoh fiktif detektif Belgia, Hercule Poirot pernah menyatakan bahwa kebiasaan seseorang adalah gaya tubuh dan gaya bicaranya.
Tatapan tajam supir tadi adalah ilham Pak Sarman untuk cepat-cepat meminum kopinya yang baru datang. Dengan raihan bak copet, ia mengambil kembali kantong plastik hitam yang dilemparkan tadi dan menekuk kakinya sedikit untuk menaruh gelas kopi di bangku kayu sebelah warung. Posisi gelas yang hampir tumpah membuat Pak Sarman memanjangkan tangan untuk menggesernya agak ke tengah, sementara itu badannya sudah moncong ke depan, siap berlari menyusul kedua temannya.
Supir truk tadi berkata, “Ayo, ayo cepat, ada truk lain datang nanti…” sambil membuka bagian kecil di belakang truk. Pak Sarman dan kedua temannya itu belum sampai ke truk, tetapi supir tadi sudah melempar dua karung goni berisi kentang dan cabai. Kesigapan adalah syarat menjadi kuli angkut dan alhamdullilah hal ini dimiliki Pak Sarman dan keduanya temannya itu. Tak lama kemudian, beberapa orang yang setegap Pak Sarman datang dan mengambil karung-karung lain dari dalam truk. Kaki mereka tertekuk sedikit karena menahan beban yang berat dan berjalan menuju pedagang-pedagang pasar yang menanti rezeki yang mereka panggul itu. Kurang dari lima belas menit, semua karung telah diangkut dan truk merah pun pergi dan terdengar bunyi klakson di belakang truk itu.
Dengan terhuyung-huyung, Pak Sarman dan kuli angkut lain datang menyambut truk baru yang datang itu. Keringat mengalir dari wajah turun ke bawah dan memberikan bentuk oval di dada-dada yang cekung. Mereka mengusap keringat dengan gaya yang bermacam-macam; ada yang sampai membuka baju dan menggunakan bajunya itu untuk mengelap wajah. Bekerja dengan otot artinya mengeluarkan keringat lebih dari seharusnya.
*****
PASAR Lontar adalah sebuah pasar tradisional di wilayah Jakarta Utara yang terletak sesudah Pasar Tanjung Periuk dan sebelum Pasar Cilincing. Berbanding terbalik dengan banyaknya karung yang harus diangkut, di pasar itu hanya terdapat tujuh orang kuli angkut. Apadaya, mereka harus bekerja lebih daripada kewajaran, yakni 12 jam sehari.
“Capek sudah menjadi biasa buat saya. Saya bersyukur masih sehat untuk kerja seperti ini agar anak-anak saya selesai sekolahnya”, kata Pak Sarman. Kali ini ia mengatakan dengan ekspresi semangat. Pak Sarman kemudian mengatakan hasrat besarnya agar kedua anaknya dapat menyelesaikan studi STM (Sekolah Teknik Menengah) tepat waktu dan bisa kerja di bank. Kedua matanya menjadi sepasang mata visioner yang menatap jauh ke depan menyatu dengan pemikiran besarnya. Cita-cita adalah satu-satunya hal milik manusia yang tidak bisa direnggut oleh siapapun, bahkan oleh Tuhan.
Pak Sarman tinggal di kampung halamannya di Sragen, Jawa Tengah, sampai menamatkan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Setelah itu, Pak Sarman berimigrasi ke Jakarta bersama dengan teman-temannya dan menetap di kontrakan di Jakarta Utara. Pekerjaan pertama yang didapatnya adalah sebagai supir dump truck di sebuah perusahaan swasta. Di awal tahun 1980, yang sarat dengan emosi pembangunan, Pak Sarman beralih pekerjaan untuk menjadi kuli angkut di Pasar Lontar. Namun demikian, berganti pekerjaan tidak membuat kehidupannya lebih baik.
Kebijakan kesejahteraan rakyat yang diejawantahkan dalam berbagai macam fasilitas untuk orang miskin belum dirasakan oleh Pak Sarman. Setidaknya Pak Sarman menceritakan dua pengalaman yang terkait dengan hak mendapatkan beras miskin dan jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).
Peraturan pemda (pemerintah daerah) DKI Jakarta mengatur bahwa jatah beras miskin bagi setiap keluarga miskin, yang terdiri dari keluarga inti, adalah empat liter. Namun sampai saat ini Pak Sarman mengaku belum pernah mendapatkan hak itu. Keluarganya membeli beras dari hasil keringatnya sendiri.
“Paling kaya disini kami dapat empat puluh ribu Rupiah sehari, Dek, itupun harus dibagi dengan supir truk,” tegas Pak Sarman. Sampai tulisan ini dimuat, Pak Sarman masih mengalami besarnya pasak daripada tiang. Bagaimana tidak, kadang Pak Sarman rela tidak makan karena uangnya digunakan untuk membiayai kebutuhan lain yang lebih penting daripada kebutuhan primernya itu.
Dalam pemikiran orang bijak, sakit adalah alur hidup yang harus tetap disyukuri. Namun bagi orang miskin yang tidak mendapat hak jamkesmas, sakit adalah perkelahian antara hidup dan mati. Pada suatu waktu, salah satu anaknya Pak Sarman mengalami demam tinggi sampai kolaps dan kejang-kejang. Segeralah anak itu digotong untuk dibawa ke puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Dalam situasi yang mendesak ini, hendaknya kartu jamkesmas adalah penolong yang memberi rahmat. Kenyataannya tidak. Pak Sarman diberitahu pihak puskesmas untuk tetap membayar uang tunai dan dapat mengklaim penggantian itu kepada pihak pemda.
Alhasil, mencari pinjaman adalah jalan keluarnya. Pak Sarman meminjam uang kesana kemari untuk mengobati anaknya itu. Di suatu hari Pak Sarman pergi kepada RT (Rukun Tetangga) untuk mencari informasi tentang jalur penggantian klaim jamkesmas. Namun, RT bersikap cuek dan tidak menganggap penting masalah Pak Sarman. Berkali-kali Pak Sarman bertanya dan dijawab dengan jawaban yang njelimet. Akhirnya Pak Sarman bekerja lebih keras untuk mengganti hutang. Hanyalah Tuhan yang tahu bahwa sakit yang dialami anaknya Pak Sarman itu bukanlah alur hidup untuk disyukuri. Hari berganti hari dan life must goes on (hidup harus berjalan), bung.
*****
“JADILAH kesatria yang lebih baik daripada ayahmu,” adalah doa pertama dukun Romawi ketika menggendong anak-anak Raja yang baru lahir. Pak Sarman bukanlah Raja, tetapi memiliki optimisme seorang kesatria bagi masa depan generasi di bawahnya. Ia tidak ingin kedua anaknya mengalami kerasnya hidup sebagai kuli angkut pasar. Ia ingin kedua anaknya menjadi manusia Indonesia yang lebih baik.
Menjadi manusia Indonesia seakan berada dalam segitiga sembarang. Satu sisi adalah pemerintah, sisi lain adalah pemilik modal, dan sisi terakhir adalah kaum miskin. Segitiga ini memiliki ide relasi kuasa (relation du pouvoir) seperti yang dicetuskan oleh filsuf Prancis, Roland Barthes. Relasi kuasa tercermin pada sikap pemerintah dan pemilik modal yang kurang memikirkan kesejahteraan kaum miskin.
Siapa itu kaum miskin? Menurut standarisasi World Bank, orang miskin adalah mereka yang hidup maksimal $ 2 per hari. Di Indonesia, standarisasi ini terbentur oleh dinamika eksospol (ekonomi, sosial, dan politik). Sebagai contoh adanya rasa tepo seliro untuk membantu keluarga di luar keluarga inti atau extended family. Ketika Pak Sarman mendapatkan Rp. 50.000,00 per hari, artinya ia mendapat penghasilan lebih dari $ 2, namun belum tentu Pak Sarman otomatis keluar dari garis kemiskinan karena ternyata banyaknya keluarga di kampung yang hidupnya bergantung kepada penghasilannya itu. Dengan demikian, penguraian benang kemiskinan di Indonesia bersangkut-paut dengan aspek-aspek lain selain ekonomi semata.
Kata kemiskinan disini menjadi penting karena kita akan membicarakan tentang cara berpikir pemerintah dalam menghadapi globalisasi dan mencari solusi terbaik yang realistis. Dari pembagian 250 juta warga negara ini, masih banyak rakyat yang termasuk ke dalam standar kemiskinan, artinya banyak orang yang mengalami lebih besar pasak daripada tiang seperti Pak Sarman. Di tengah titik kritis itu, Santo Neoliberalisme datang membawa semangat pertumbuhan ekonomi global bahwa Indonesia harus mengikuti kemanapun pertumbuhan ekonomi dunia melangkah, artinya pemerintah diminta menetapkan anggaran negara sebesar-besarnya untuk perbaikan infrastruktur dan menyuapi kaum miskin dengan bantuan jangka pendek agar mereka siap bertempur di pasar bebas. Alih-alih menjadi pahlawan, ide neolib ini justru dapat menyebabkan kaum miskin menjadi semakin miskin karena pemerintah akan cenderung mengeluarkan kebijakan yang hanya mempan di jangka pendek, tetapi aus di jangka panjang.
Bung, globalisasi sebenarnya adalah ide yang baik, namun kunci sukses negara dalam globalisasi adalah adanya kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas manusia. Di Indonesia, kapabilitas manusia dapat diraih jika terdapat kebijakan solutif di tiga sektor utama, yakni perbaikan di bidang pertanian, adanya jaminan kesehatan yang merata, dan pendidikan gratis. Logikanya sederhana; yakni seorang yang kenyang dan sehat, tentu akan dapat berpikir dengan jernih. Nah, jika ketiga hal ini sudah lebih baik, dengan sendirinya sektor-sektor lain akan menjadi lebih baik.
Lalu apa peran kita agar Indonesia menjadi negara maju dalam globalisasi ini? Detik ini kita mungkin masih termasuk ke dalam sisi kaum marjinal dari segitiga manusia Indonesia yang disebutkan tadi, namun arahkanlah diri kita kepada kebiasaan kehidupan Pancasila, yakni percaya kepada Tuhan, tetaplah berpikiran positif, cintailah alam semesta, lawanlah hal yang tidak benar, berdiskusilah dengan orang pintar, hindari perdebatan agama, laporkan pajak setiap tahun, bantulah orang yang sedang sakit, dan berprestasilah di bidang kita masing-masing. Jika hal-hal kecil itu dilakukan, secara tidak sadar kita sudah mengambil peran dalam memajukan kapabilitas manusia bangsa ini dalam menghadapi globalisasi. Jika Pak Sarman mengerti visi ini, mengapa kita tidak?
Inti daripada tulisan ini adalah ajakan untuk meningkatkan kualitas diri karena bagaimanapun caranya (menulis, berpidato, demo, dan debat), saat ini kita susah mengubah sikap pemerintah dan pemilik modal dalam menghadapi globalisasi. Namun ingat, kita adalah generasi yang akan berada di posisi mereka, maka hendaknya kita menjadi warga negara Indonesia yang lebih semangat daripada generasi 10 tahun sebelumnya dan dapat memberikan sumbangsih nyata bagi generasi 10 tahun ke depan. Pancasila memberkatimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H