Mohon tunggu...
anis ardi
anis ardi Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas airlangga pengemat politik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Layang-layang

1 Oktober 2014   19:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:47 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seterbit hari-hari terakhir pada bulan september ini, jika kau temui kumpulan kalimat kalimat ini terbit maka ketahuilah aku dalam ketenggelaman yang paling dalam.

Waktu berkata“kuberikan sebilah harapan dan inilah pedangmu”

Aku sudah memakainya untuk bekal perjalanan

Segala putus asa sudah ku libas

Semua rasa buruk sudah ku tebas

Setiap prasangka sudah ku pangkas

Namun aku lupa, akarnya sudah meluas

Aku tak bisa apa-apa

Sebilah harapan kini sudah diminta pemiliknya

Aku Kembalikannya tertunduk muka

Sebelum terimakasihku

Kucampurkan perasaanku dengan racun

Berharap kenangan ku ikut mati

Bersama segenap debu mimpi

Beterbangan

Hilang

Apa kau sedang menulis sesuatu? Jika iya, pasti nanti akan ada yang sedang memutuskan bersama sejenak walau tak bertemu di tempat dan waktu yang sama. Ada yang sedang memutuskan sendiri untuk menikmati jarak ini dari kejauhan dan situasi yang berbeda. Walaupun jauh berjauhan keputusan untuk bersama ini ketentuan kita sendiri. Aku tidak terlalu percaya diri apakah keputusan ini antara aku dan kamu, atau kamu dan orang lain, aku sudah tidak berpihak pada apa yang disebut nasib, karena nasiblah yang mempencundangi aku sejauh ini. September ini aku sedang memupuk keyakinan kepada Tuhan yang selalu mengabulkan doa-doaku. September ini aku sedang mencari cara agar usahaku tidak menghianati hasil yang Tuhan tentukan. Namun aku terjebak pada mekanisme prosedural ini, aku lupa, bahwa perjuangan yang satu ini tidak bisa dipaksa-paksa, tidak bisa di setting apalagi di provokasi. Namun demikian cinta akan selalu terwariskan, jika bukan aku maka pastilah ada yang lebih besar cintanya untuk berbagi denganmu.

Masih berbicara tentang bunga rindu yang kurangkai seratusan kilometer dari tempatku berdiri dan gunung yang menghalangi. Tak mungkin bila kau tak tahu aku menyimpan sesuatu rasa, namun kau tak pernah menanyakannya kepadaku apa yang sedang kusimpan untukmu. Kadang kau secara pemberani memberiku harapan. Jika beberapa kali kutemukan kau sedang mencuri pandang ke arah aku berdiri, aku merasa ini bukan kemenangan, ini situasi yang membingungkan, karena apa yang sedang aku perjuangkan ini bukan semacam kompetisi seperti yang sering aku temui.

Ada kurang lebih delapan purnama, ada ratusan embun pagi yang menyentuh rerumputan, namun kau tahu sendiri disini rumput tak bisa bertumbuh ditempatku berdiri. Aku tak pernah menyalahkan siapapun bahkan Tuhan sekalipun atas bangunan kenangan pasca 2 Februari itu, kenangan itu tanpa aku pupuk dan pelihara dia terus bertumbuh sampai mengoyak dinding-dinding hatiku yang rapuh dan mudah gontai.

Agustus kemarin aku berdoa agar tuhan memberikan sedikit pencerahan di bulan September ini. Sampai dengan delapan bulan yang berlalu aku masih sibuk menjawab teka-teki. Tanpa kutahui pandangan angin itu terlalu menggangguku, dia menerpa seluruh pakaian dan kulitku, padahal sejak awal aku menjaganya untuk tetap aman dan tidak berdebu. September ini hampir selesai, hampir habis juga dayaku, hampir hilang juga asaku. Keputusanmu sepihak, aku layang-layang yang kau tarik ulur benangnya, apa kau tak tahu diatas sangatlah dingin dan terik, kau tahu anginnya sekencang -kencangnya menerobos rongga bambu dan kertas yang semakin rapuh ini.

Entah april atau mei aku sedang memupuk harapan untuk bisa terbang, tapi di ketinggian sana kau sedang mengobral angin yang kencangnya hanya sekedar wacana, jika saja layang-layang punya mata, pastilah dia berair. Tapi apa daya jika aku menyalahkanmu wahai angin. Seperti sebuah anomali, Belakangan ini si layang-layang terbang dengan konsisten, melalui sugesti bahwa angin mampu menahannya di tempat itu, namun hal yang tak pernah dilupakan adalah ketika dia tahu dia masih dalam suatu ketidakpastian, mungkin nanti kau akan meletakkan ujung gunting diantara senar-senar kepercayaan.

Aku sedang tidak ingin membangun kenangan, jika kau masih berkenan terbangkan saja layang-layang itu dengan bebas diantara debu dan galaksi. Di atas awan tak banyak yang bisa dia lihat ketika malam gelap, karena kau telah mengadakan perjanjian bahwa bintang dan purnama akan kau sembunyikan dibalik pelupuk matamu. Itu amat tak adil, untuk menunggumu berkedip, aku harus menjatuhkan diri dengan kesakitan yang tak terperi, ini sangat tak adil, namun aku tak bisa menghujat angin.

Jika kau hendak berkirim pesan, mohonku sampaikanlah pada waktu, sehingga aku tidak perlu sibuk menggadaikan penasaranku untuk membuka pesanmu. Delapan Purnama ini sudah genap, kepastian ini tak sempat aku miliki. Aku juga tak ingin terlalu dalam mengetahui kedalaman perasaanmu. Aku masih punya lantai untuk bersujud, aku masih punya hujan untuk menyamarkan airmata, lepas Septembermu ini , Tuhan akan menunjukkan jalan baru dan kau tak perlu tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun