Mohon tunggu...
Christianto DM
Christianto DM Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya.. (Pkh 12:13a)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Ditetapkan sebagai Capres Moncong Putih?

8 Februari 2014   23:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan siapa balon Capres dari PDIP akhirnya terjawab juga manakala Jokowi ditetapkan oleh partai Nasionalis berlambang Si Moncong Putih itu sebagai Capres yang akan diusungnya dalam pilpres 2014

mendatang. Ya, banyak pihak yang menanti-nantikan keputusan tersebut. Bukan saja dari para fans baju kotak-kotak, tetapi juga dari kelompok-kelompok lain yang beberapa di antaranya kini hampir setiap hari menghiasi layar kaca kita dengan pakaian elegan “ala KPK”. Mengapa penetapan ini sangat ditunggu-tunggu dibandingkan balon-balon capres lain yang dipilih melalui konvensi dan/atau melalui lika-liku politik yang sangat ribet itu? Mengapa Jokowi, bahkan sebelum resmi ditetapkan oleh PDIP sebagai capres, paling popular sebagai capres dibandingkan tokoh-tokoh lainnya? Tentu saja hasil survey berbagai Lembaga Survey yang menunjukkan Jokowi unggul jauh di atas calon lainnya bukan karena DKI Jakarta masih macet atau kebanjiran lagi. Bukan juga karena iklan-iklan kampanye yang menghabiskan banyak biaya itu, yang menurut saya lebih baik disumbangkan kepada orang-orang yang butuh makan dan pakaian. Bukan juga manuver-manuver politik sekedar mendokrak popularitas demi Pilpres 2014 mendatang itu. Entah mengapa, namun Jokowi adalah Jokowi yang menurut saya tidak dikenal sebagai seorang pemimpin yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan hanya untuk menyenangkan pihak-pihak penguasa. Beliau lebih tepat disebut sebagai seorang bangsawan daripada negarawan. Bangsawan yang berdedikasi dan berintegritas tinggi. Bangsawan yang mengenal dan memahami kebutuhan dan keadaan bangsanya, yang selalu tampil apa adanya, dengan gaya khasnya, sebagaimana sikap anti korupsi yang ditunjukkan bukan dengan ngomong doang dengan gaya sok tegas, namun pembuktian nyata. Siapa yang bisa membantah itu dengan disertai bukti valid?

Namun, persoalan utama di sini bukanlah tentang keputusan PDIP akhirnya seperti disebutkan di atas, akan tetapi pertanyaan Pantaskah Jokowi Menjadi RI 01? Bukankah Beliau baru setahun dipercaya oleh warga DKI untuk membenahi Ibukota Negara itu? Bagaimana dengan janji-janji Jokowi untuk membangun DKI menjadi jauh lebih baik? Tentu saja masih banyak tanggungjawab yang mesti diselesaikannya sebagaimana yang ditunggu-tunggu oleh warganya, penduduk DKI Jakarta. Dan sangat pasti bahwa waktu setahun itu belumlah cukup.

Saya pikir, bila Jokowi menjadi Presiden, tidak lantas berarti program-program dan rencana kerja beliau atas DKI langsung terbengkalai. Memang, sebagai presiden, Jokowi akan memiliki jauh lebih banyak tugas yang akan membagi-bagi perhatiannya nantinya, yang bukan hanya pada ditujukan bagi DKI dan warganya saja. Akan tetapi, sebagai Ibukota Negara, DKI Jakarta sangat erat terkait dengan pemerintahan pusat. Sebagai contoh masalah kemacetan yang juga sangat ditentukan dengan kebijakan pemerintahan pusat, seperti menyangkut ruas-ruas jalan utama Negara yang merupakan tanggung jawab langsung pemerintah pusat dan kebijakan lain yang berhubungan seperti pajak kendaraan. Begitu pula dengan masalah banjir DKI yang melibatkan beberapa provinsi. Sebagai Presiden, Jokowi tentu saja akan lebih leluasa melaksanakan program-programnya mengatasi hal tersebut dengan kewenangan yang dimilikinya. Jangan juga melupakan bahwa Jokowi memiliki seorang wakil yang jelas dapat bekerjasama dengannya, yang juga sama jujur dan berdedikasi tinggi. Ya, Ahok bisa dan sangat pantas melanjutkan tugas yang ditinggal oleh Jokowi nantinya. Sebagai Presiden, seseorang seperti Jokowi tidak usah diragukan lagi untuk memimpin Negara ini dengan kejujuran dan etos kerjanya yang menakjubkan itu. Jokowi pasti mampu mengarahkan pun mengawasi bawahannya, termasuk siapapun yang nantinya terpilih menggantikan beliau sebagai Gubernur DKI pun orang-orang dalam pemerintahannya yang terkait dengan pembangunan seluruh provinsi di negara kita tercinta ini.

Bila akhirnya PDIP menetapkan Jokowi sebagai capresnya, bukan berarti PDIP tidak mempunyai kader lain yang sama bagusnya. Tetapi, yang menjadi pertanyaan kali ini ialah mengapa Jokowi jauh mengungguli figur-figur lainnya, termasuk capres yang dari luar PDIP? Apa keunggulan Jokowi dibanding mereka?

Kita mungkin masih ingat masa-masa awal ketika republik ini memasuki era Reformasi. Kondisi politik dan ekonomi yang labil sebagai imbas runtuhnya pemerintahan Orba, yang dipimpin oleh Presiden Hampir Seumur Hidup, melalui replay pesta pemerosotan-demokrasi alias pemilu lumer (bukan luber), dengan embel-embel pencitraan diri yang berlebihan berkedok Pembangunan. Saya katakan berlebihan karena yang katanya Eyang Pembangunan itu menyisakan banyak bangunan keropos seperti belitan utang yang entah kapan lunasnya. Belum lagi bila dibandingkan dengan Negara tetangga yang merdekanya belakangan. Kok pembangunannya jauh lebih maju? Mungkin membangun dynasty para penguasa serakah yang dimaksudkan dengan istilah tersebut.

Teringat juga bagaimana kurangnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin berwajah lama sementara kepada mereka disodorkan muka-muka yang itu-itu juga. Wajar saja, di tengah kegalauan yang tidak terkatakan itu, ketika dimunculkan satu tokoh antah berantah, yang tidak ketahuan wajah lamanya, rakyat seakan memiliki secercah harapan akan Indonesia yang lebih baik. Sedikit polesan bedak untuk plek-plek hitam di sekitar pelipis cukup untuk imej yang dibutuhkan. Sayangnya, riasan itu kini seakan lumer oleh rintik tangis rakyat yang perih karena isi lemari mereka nyaris habis digerogoti tikus-tikus buncit yang tidak mengenal siang pun malam itu. Wajah lamanya kini mulai nampak sebagaimana wajah muda yang selalu aku lihat setiap kali membuka Facebook. Ya, foto-foto lama itu mulai menampakkan diri entah untuk apa. Pencitraan gaya barukah? Yang jelas itu sangat berbeda dengan blusukan ala Jokowi. Di mataku, itu blusukan lebay ala Selfie, yang kehilangan “L”, mengunjungi para pesbukers.

Singkatnya, persaingan para capres pada masa lalu tidak seperti kini yang diramaikan dengan wajah-wajah baru. Pilihan yang disodorkan kini jauh lebih kompetitif dibandingkan masa-masa awal era Reformasi. Tapi mengapa sampai hari ini “Jokowi still the best”? Jelas figur-figur lain juga berbobot, namun Jokowi jauh lebih berbobot dibanding yang lain meski di layar kaca tampak agak ramping. Bobot yang dimilikinya bukan karena “Say NO pada hal Korupsi”, tetapi “NO comment. Saya mau KERJA (=bukan ngomong doang, apalagi curhat di media).”

Satu jawaban singkat lain Jokowi atas tantangan debat si gentong kosong, “Saya nggak pintar debat…” mengingatkanku pada wejangan Raja Salomo (Sulaiman) yang tercatat dalam kitab AMSAL,

Ams 26:4 - Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri

menjadi sama dengan dia.

Ams 26:5 - Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak.

Ya, selain memiliki karakter yang berhikmat, saya pikir Jokowi pantas menjadi RI 01 karena juga didukung oleh Partai Nasionalis yang kuat seperti PDIP. Karena itulah saya pribadi sangat berharap agar nanti, akhirnya PDIP menetapkan Jokowi sebagai capres yang akan diusungnya dalam Pilpres 2014 mendatang.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun