Sebentar lagi tahun ajaran baru, itu artinya huru-hara pencarian sekolah buat anak-anak di mulai. Tapi sejak tiga tahun lalu tradisi mencari sekolah baru di keluarga kami menghilang. Sejak anak saya memilih sekolah dirumah alias homeschooling kami bisa lebih santai menghadapi ajaran baru. Apalagi sejak kakanya memilih sekolah dirumah adik-adiknya juga memilih bersekolah dirumah. Meskipun judulnya sekolah dirumah sebenarnya sekolah kami bisa dibilang jarang dirumah. Karena bagi anak-anak sekolah dirumah artinya pergi ke sawah, kebun tetangga, main di saluran irigasi, menangkap belut di sawah ikut ke pasar berbelanja dan aneka kegiatan yang ga ada bau-bau rumahnya.
Sejak anak-anak memilih untuk bersekolah dirumah otomatis saya dan suami yang jumpalitan belajar lebih keras. Kami memang sementara ini mengajar anak-anak secara mandiri tanpa bantuan guru les kecuali untuk pelajaran tambahan semisal memanah, bela diri dan robotic. Dulu sih awalnya saya sampai pusing, lemas dan kejang-kejang #eh ketika sulung memilih sekolah dirumah. Apalagi bayangan saya sekolah dirumah itu ya tidak sekolah. Mau jadi apa kau nak jika tidak sekolah. Tukang batu? (maaf ya pak tukang batu). Tetapi setelah melihat sulungku ternyata lebih menikmati belajar dan prosesnya aku jadi mengerti bahwa sekolah itu bukan masalah tempat tapi niat dan antusiasme.
Saya jadi mengerti bahwa anak-anak benar-benar pembelajar sejati. Mereka belajar karena dua hal: Keingintahuan dan ketidaktahuan. Rasanya benar-benar nikmat melihat anak-anak belajar karena mereka menginginkan sendiri belajar. Mereka memilih sendiri materi hari itu yang ingin mereka pelajari. Apakah tak ada kendala dalam sekolah rumah kami. Banyak pastinya tidak sekolah formal bukan berarti tidak belajar bukan?. Ada kalanya saya bingung menjawab pertanyaan banyak orang yang sebagian besar semacam menjudge bahwa saya tidak bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak kami. Tapi lama kelamaan saya mulai berpikir kenapa saya jadi fokus kepada pertanyaan orang bukan kepada anak-anak yang sebenarnya adalah pelaku. Bukankah orang-orang yang bertanya itu hanya penonton. Sekarang saya lebih rileks menghadapi sekolah rumah kami. Kadang muncul rasa minder ketika melihat anak kerabat atau tetangga yang ikut les ini, les itu, menang lomba ini- menang lomba itu. Tapi kemudian saya tersadar bahwa sesungguhnya anak-anak saya juga belajar tapi dengan cara mereka sendiri.
anak-anak belajar IPA secara langsung. Mereka mengumpulkan telur kodok dari sawah dan menyimpannya dalam toples dan mengamati perkembangannya setiap hari. Jadi jangan heran ketika menemukan anak katak berlompatan didalam kamar mereka. Mereka belajar berhitung bernegosiasi langsung ketika berbelanja di pasar. Mereka belajar menghitung dengan cermat ketika membuat adonan kue didapur. Menimbang dan menakar bahan secara teliti agar hasilnya sempurna. Mereka juga belajar matematika ketika menghitung kedalaman sebuah kolam dengan sebatang bambu yang mereka celupkan ke kolam. Dan jika nantinya di ukur dengan tanda basahnya bambu di atas tinggi badanmu itu artinya kau akan tenggelam jika nekat nyemplung ke kolam itu.
Saya juga belajar tentang banyak hal dari anak-anak tentang belajar yang sesungguhnya. Bahkan ketika Hari Ibu sulung saya pernah membuat kejutan yang sebenarnya ia sendiri tidak menyadari itu kejutan. Teman anak saya yang juga tetangga kami mendapat tugas dari sekolah membuat kartu ucapan selamat hari ibu yang akan di berikannya pada ibunya tepat di hari ibu. Dan anak saya tidak juga ngeh jika hari Ibu itu special semacam hari Kartini atau Hari Pendidikan Nasional. Tadinya saya berharap mendapatkan sepucuk kartu atau setangkai bunga seperti teman-teman saya yang lain. Tapi saya lalu tersadar saya tidak pernah mengembar-gemborkan tentang pentingnya hari ibu. Tapi tepat di hari ibu saya pusing berat sedari subuh tidak kuat beranjak dari tempat tidur. Saya sudah membayangkan betapa hancurnya penampakan rumah kami apalagi si ayah sedang tugas luar kota. Saya tetap memaksakan diri bangun karena khawatir anak-anak kelaparan butuh sarapan. Dengan terhuyung saya membuka pintu kamar dan menemukan lantai mengkilat sudah di sapu dan dip el. Si adik-adik sudah mendapat sarapan dengan lauk telur dadar. Mesin cuci berbunyi menandakan sedang bekerja. Wow. Ketika saya menanyakan pada si adik yang asyik menonton film di layar computer di mana abangnya si adik menjawab abang sedang main. Dan si adik juga bercerita ia sudah makan dan masih ada seiris telur dadar dan the panas untuk saya yang dibuatkan oleh abangnya. Sambil ke dapur saya merenung. Anak-anak saya memang tidak sekolah tapi mereka belajar bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H