[caption id="attachment_201728" align="aligncenter" width="300" caption="Iesus Hominum Salvator"][/caption] Enam dinamika formatio Yesuit: interiority, psychosexual integration, conversation, critical thinking, universal perspective, discerned action.
Pertanyaan renungan:
1.Dari keenam dinamika formatio yang saling terkait, mana yang dalam perjalanan formatio yang paling banyak mendapat perhatian dan/atau paling berkembang?
2.Dari keenam dinamika formatio yang saling terkait, mana yang dalam perjalanan formatio yang paling sedikit mendapat perhatian dan/atau paling tidak berkembang?
3.Dari profil, mana yang menurut Anda paling cocok, mengena, gue banget? Mana yang paling tidak relevan, out of context?
Renungan pribadi:
Identitas. Hal pertama yang muncul dalam batinku saat mengikuti puncta Rm. Deshi, SJ, dan merenungkan posisi diri (consideratio status)—29 September 2012 Kampung Ambon—adalah bahwa aku merasa Tuhan menjawab kerinduan hatiku selama tiga bulan aku hidup di Pulo Nangka. Sedikitnya selama dua minggu terakhir, aku mengalami kerinduan besar untuk Latihan Rohani. Berbagai pengalaman menjadi cara Tuhan untuk mengundangku membangun kerinduan berdoa. Berawal dari pengalaman studi komunitas tentang pembubaran Serikat. Saat membaca kembali catatan dan teks pembubaran Serikat, aku merasakan dorongan kuat untuk semakin mendalami dokumen Serikat. Pengalaman ini langsung menyentuh aspek identitasku sebagai seorang Yesuit. Pengalaman studi ini pada gilirannya memang mendorongku untuk membuka kembali dokumen Serikat ataupun buku-buku sprititualitas Ignatian. Pergulatanku selanjutnya adalah bagaimana aku mengatur waktu untuk membaca buku-buku keserikatan dengan buku-buku filsafat.
Pengalaman lain adalah edufair di Kolese Kanisius (21-22 September 2012). Sebagai yang diutus untuk membuka stand Serikat Yesus di antara universitas-universitas besar nasional dan internasional, aku mendapat kesempatan untuk mempromosikan Serikat Yesus kepada para orang muda. Jujur, pengalaman yang bagiku melelahkan ini ternyata tidak hanya mengingatkanku pada masa-masa seminari saat aku merenungkan jalan panggilanku menjadi Yesuit, tetapi juga menatapkanku pada kesungguhan Yesuit dalam menjalankan perutusannya, dalam hal ini karya pendidikan. Kunjungan ke ATMI Cikarang untuk menghadiri soft launching Gedung Loyola yang menggunakan teknologi hemat energi yang pertama di Indonesia (28 September 2012) pun mengkonfirmasi keberanian Yesuit untuk sungguh menjawab kebutuhan dunia dan sekaligus kesungguhannya menjalankan perutusan.
Berkaitan dengan motivasi panggilan, aku teringat pengalaman sederhana setelah pulang kuliah (27 September 2012). Saat itu aku bersama dengan kedua teman awam sedang ngopi di warung. Berawal dari pembicaraan ngalor-ngidul, ada teman awam yang tiba-tiba bertanya mengapa aku ingin menjadi Yesuit. Maka, aku ceritakanlah sejarah panggilan dan motivasiku menjadi Yesuit yang ternyata berawal dari hal yang sangat sederhana dan sehari-hari, yaitu pengalaman perjumpaan dengan para Yesuit di seminari. Aku ceritakan pula jatuh bangun dan krisis yang pernah aku alami saat di novisiat. Mendengar kisah panggilanku itu kedua teman awamku merasa sangat tertarik dan pada saat yang sama mengakrabkan relasi di antara kami. Bagiku pribadi pengalaman itu menjadi cara Tuhan meneguhkan panggilan dan mendorongku untuk lebih tekun nggula wentah hidupku sebagai seorang Yesuit. Selain itu, pengalaman pendalaman Kitab Suci (26 September 2012), bimbingan rohani (23 September 2012), dan Ratio Conscientiae dengan Rm. Rektor yang lalu (27 September 2012) aku refleksikan sebagai cara Tuhan mendorongku merawat kerinduan untuk selalu berdoa dalam karya.
Perutusan. Perutusan yang sedang aku hayati saat ini adalah studi filsafat. Dalam perjalanan selama tiga bulan ini, aku telah berusaha membangun komitmen untuk belajar filsafat bukan karena hukum kanonik yang mengharuskan setiap religius imam untuk belajar filsafat tetapi karena memang aku ingin belajar filsafat. Jatuh bangun aku menghayati komitmen itu dan dalam refleksi aku menemukan distraksi yang tidak jarang menghambat proses studiku itu.
Hobiku adalah membaca dan menulis. Saat ini aku sedang membaca buku Negara Paripurna dan telah menulis beberapa artikel yang aku kirimkan dalam kompetisi menulis di internet (tempo-institute dan kompasiana). Pengalaman membaca ternyata memberikan dorongan besar dalam diriku untuk menuangkan ide ke dalam tulisan. Awalnya sih aku menulis untuk sekedar mengisi waktu namun lama kelamaan aku malah keasyikan menulis dan mengabaikan tugas utamaku membaca buku-buku filsafat. Penemuan ini pada gilirannya mendorongku untuk lebih tekun mengatur waktu antara hobi dan tugas utamaku belajar filsafat. Jangan sampai hobi menulis malah mengganggu perutusan utamaku untuk belajar filsafat.
Komunitas. Hal pertama yang aku syukuri dari komunitas studi Pulo Nangka ini adalah suasana studi yang menurutku cukup kuat. Aku merasa masing-masing frater di komunitas ini mempunyai kesungguhan untuk membangun kebiasaan belajar yang kuat. Hal ini sangat nampak dari pengalaman sehari-hari ataupun saat studi komunitas. Aku merasa suasana studi itu cukup mempengaruhi minat studiku secara pribadi. Hal utama yang coba aku sadari adalah bahwa Serikat telah memberiku fasilitas, komunitas, dan kesempatan yang demikian besar dan melimpah untuk studi. Maka, senantiasa bertanya dalam diriku, apakah pilihan-pilihanku sudah sepadan dengan kebaikan hati Serikat ini?
***
Masuk ke pertanyaan renungan pertama: dari keenam dinamika formatio yang saling terkait, mana yang dalam perjalanan formatio yang paling banyak mendapat perhatian dan/atau paling berkembang?
Hal pertama yang paling banyak aku beri perhatian sejak di novisiat hingga tiga bulan di Jakarta ini adalah self-reflection. Melimpahnya waktu dan kesempatan untuk menuliskan refleksi saat di novisiat pada gilirannya menunjukkan kepadaku arti penting refleksi bagi identitas Yesuit. Keterampilan untuk berefleksi ini pula yang kemudian aku bawa ke Jakarta sebagai bekal untuk menjalani studi filsafat. Doa pribadi pun coba terus aku olah walaupun dengan tantangan yang lebih besar daripada di novisiat. Demikian pula ekaristi harian. Aku terus berusaha konsisten mengikuti ekaristi sambil terus bertanya apakah aku sudah mengintegrasikan ekaristi di kapel itu dengan “ekaristi” dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, hal pertama yang paling banyak aku beri perhatian adalah aspek interiority.
Selain interiority, aku pun merasa banyak memberi perhatian pada conversation, critical thinking, universal perspective dan discerned action. Dalam hal conversation, aku semakin terlatih untuk semakin luwes dan terbuka dalam bimbingan rohani. Aku pun membangun komitmen untuk konsisten dalam bimbingan rohani ini karena aku sadar bahwa melalui bimbingan rohani aku dapat semakin dalam merefleksikan panggilan dan lebih sungguh mempertanggungjawabkan pilihan. Dalam hal critical thinking, pengalaman studi filsafat selama dua bulan ini aku rasakan telah membantuku untuk lebih kritis dalam membaca dan menulis. Aku bisa merasakan bagaimana tulisan-tulisanku menjadi lebih sistematis dan lebih dalam.
Dalam hal universal perspective, aku bersyukur bahwa bisa mengalami living in a multicultural community bersama teman-teman dari Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Timor Leste. Aku pun terus berusaha melatih kemampuan berbahasa Inggris lewat dengan lebih banyak membaca buku-buku berbahasa Inggris. Dalam hal discerned action, pengalaman probasi di novisiat telah melatihku untuk lebih diskretif dalam memilih dan bertindak. Aku pun semakin menemukan minat dalam hal tulis menulis yang rencananya ingin aku tekuni lebih lanjut di Jakarta ini.
Pertanyaan kedua: dari keenam dinamika formatio yang saling terkait, mana yang dalam perjalanan formatio yang paling sedikit mendapat perhatian dan/atau paling tidak berkembang?
Yang ingin aku garis bawahi dari refleksi atas pertanyaan ini adalah keutamaan yang sudah ditanamkan di novisiat tetapi kurang aku pelihara selama tiga bulan di Jakarta ini. Selama di Jakarta ini aku merasa masih kurang memberi perhatian dalam bacaan rohani dari dokumen Serikat, seperti Konstitusi dan Autobiography of St. Ignatius. Pernah ada niat untuk melakukannya tetapi selama tiga bulan ini aku merasa belum sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk membaca dokumen Serikat itu. Jika demikian, barangkali aku perlu mengatur waktu untuk bacaan rohani di samping membaca buku filsafat dan sosial.
Pertanyaan ketiga: dari profil, mana yang menurut Anda paling cocok, mengena, gue banget? Mana yang paling tidak relevan, out of context?
Yang paling relevan saat ini adalah interiority dan critical thinking. Dengan pengolahan kedalaman batin melalui refleksi, ekaristi, examen dan bacaan rohani, aku berharap proses studi filsafatku dapat semakin mendalam. Aku berkomitmen untuk membangun kedalaman spiritual dan intelektual sebagai seorang Yesuit. Pengalaman probasi yang telah mengajarkan integrasi doa dalam karya, ingin aku lanjutkan dalam proses studi filsafat. Aku ingin belajar mengintegrasikan doa dalam proses membaca, menulis dan berdiskusi. Demikian pula, aku berniat menghayati bersepeda ke STFD, sport, sosialisasi sebagai pengalaman doa.
***
Untuk menutup refleksi Forming a contemplative in action: a profile of a formed Jesuit for Asia Pasific ini aku ingin mengungkapkan pemahamanku atas kontemplasi dalam aksi. Bagiku, kontemplasi dalam aksi berarti senantiasa memelihara kerinduan untuk berdoa di mana pun dan kapan pun. Aku bisa berdoa saat membaca, menulis, berdiskusi, bersepeda, sport, ataupun saat sosialisasi. Aku pun bisa berdoa di kapel, di kelas, di ruang makan, di warung, di jalan, di lapangan, ataupun di ruang komputer. Semoga aku bisa semakin setia untuk memelihara kerinduan untuk berdoa di mana pun dan kapan pun. AMDG!
Rekoleksi September 2012
Saat aku sedang berdoa sambil menulis di ruang komputer Pulo Nangka,
30 September 2012, 08.56
.pulungsj
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H