Mohon tunggu...
Yustinus Pulung Wismantyoko
Yustinus Pulung Wismantyoko Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa yang sedang belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menggali Roh Membaca dari Bung Hatta

11 September 2012   17:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:36 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Oktober merupakan bulan yang memiliki makna sejarah yang sangat besar bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal 28 Oktober 1928 telah tercetus sebuah komitmen para pemuda Indonesia yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Salah satu bunyi butir sumpah yang disepakati pemuda saat itu adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bertolak dari latar belakang itu, Bulan Oktober dikukuhkan sebagai Bulan Bahasa (dan Sastra). Dengan demikian, Bulan Bahasa sebenarnya dapat dijadikan momentum tidak hanya untuk meningkatkan kualitas berbahasa Indonesia tetapi juga merefleksikan roh berbahasa dari generasi para pemuda.

Jika kita lihat para pendiri bangsa adalah orang-orang yang gemar membaca, berdiskusi, dan menulis. Di antara para pemuda yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia itu, saya tertarik untuk menggali roh berbahasa dari Bung Hatta. Meski tidak terlibat langsung dalam perumusan Sumpah Pemuda, Bung Hatta mempunyai peran besar dalam menanamkan bibit persatuan melalui tulisan-tulisannya yang menjadi referensi para pemuda, terutama Manifesto Poltik 1925. Beliau jugalah yang menjadi rekan diskusi Mohammad Yamin saat di Jong Sumatranen Bond dan yang menyetujui Sunario Sastrowardoyo sebagai ketua Kongres Pemuda II 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Sebagai tokoh yang dikenal sebagai seorang yang sangat mencintai buku dan mempunyai kebiasaan membaca yang kuat, Bung Hatta dapat menjadi titik refleksi tentang roh membaca buku yang sejati. Atas dasar alasan itulah, saya tertarik untuk menggali roh membaca dari Bung Hatta.

Kebiasaan Membaca Bung Hatta

[caption id="attachment_200703" align="alignright" width="168" caption="sumber: www.goodreads.com"][/caption] Bung Hatta adalah seorang pecinta buku yang sejati. Sejak kecil Bung Hatta tidak pernah dapat dilepaskan dari buku, tiada hari tanpa membaca. Bahkan ketika ia diasingkan oleh Belanda, buku selalu menjadi perhatiannya. Ketika ia diasingkan, ia selalu membawa koper yang berisi buku-buku. Dalam sehari Bung Hatta menghabiskan waktu dengan buku antara 6 sampai 8 jam sehari. Ketika di pengasingan, Bung Hatta memiliki waktu lebih leluasa untuk melahab buku-buku koleksinya. Pun setelah beliau berhenti sebagai wakil presiden, Bung Hatta semakin mencintai hari-harinya bersama buku-buku.

Ada satu cerita yang menunjukkan betapa dekatnya Bung Hatta dengan buku. Ketika menikah, Bung Hatta menjadikan buku yang ditulisnya saat di pengasingan sebagai mas kawin. Sempat ibunda Bung Hatta gusar karena Bung Hatta memberikan buku karangannya itu untuk Sang Istri. Bung Hatta tetap pada pendiriannya, akhirnya buku berjudul Alam Pikiran Yunani itu menjadi mas kawin pernikahan Bung Hatta kepada Rahmi Rachim.

Yang penting disimak dari kebiasaan membaca Bung Hatta adalah bagaimana kebiasaan itu membentuk karakteristik perjuangan yang terus diyakininya, sebelum dan setelah Indonesia merdeka. Karakter perjuangan Bung Hatta adalah dengan mendorong terbentuknya generasi terpelajar yang mampu menghadirkan organisasi perjuangan dan serangan intelektual terhadap rezim penindas. Melalui organisasi pergerakannya, Pendidikan Nasional Indonesia, Bung Hatta mengarahkan para kader pada analisa serta memecahkan masalah nyata. Para kader Pendidikan Nasional Indonesia pun dianjurkan membaca bacaan wajib seperti buku Indonesia Vrij dan Tujuan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia karanagan Bung Hatta sendiri, buku Indonesia Menggugat karya Bung Karno, serta majalah Daulat Rakyat.

Potongan kisah dan perjuangan Bung Hatta yang dapat kita baca dalam Memoir Mohammad Hatta (Hatta, 1979) itu menunjukkan bahwa membaca tidak sekedar menyerap informasi ataupun memperluas wawasan tetapi juga mendorong orang pada aksi nyata. Kebiasaan membaca Bung Hatta telah membuka cakrawala berpikirnya dan pada gilirannya membentuk karakter hidup dan perjuangannya. Dengan demikian, kebiasaan membaca sungguh menjadi proses pembentukan karakter yang mewarnai pilihan hidup sehari-hari yang konkret.

Saya dan Kebiasaan Membaca

Hobi saya adalah membaca, menulis, dan berdiskusi. Saya membaca apa saja, mulai dari jurnal ilmiah, buku-buku filsafat, novel, cerpen, puisi, koran, dan majalah. Berkaitan dengan kebiasaan membaca, saya tidak pernah lupa membawa buku ke mana pun saya pergi. Setiap kali ada kesempatan, saya selalu menggunakan waktu untuk membaca. Saya membaca saat sedang menunggu proses pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di kelurahan, saat sedang istirahat kuliah, saat sedang menunggu angkutan umum, ataupun saat di kelas. Saya tidak hanya membaca ketika di perpustakaan, tetapi juga ketika di terminal, di bengkel, di kelas. Saya terbiasa membaca di mana pun dan kapan pun. Saya merasa ada yang kurang jika melewatkan hari tanpa membaca buku. Dalam sehari saya menghabiskan waktu dengan buku antara 5 sampai 7 jam sehari.

Pendapat saya, tujuan terpenting membaca adalah mengobarkan gagasan dan upaya kreatif. Saat sedang membaca, saya merasa sedang berdialog dengan pengarang dan membiarkan ide pengarang mengalir ke dalam diri saya, dan pada gilirannya ide saya mengalir ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda yang saya hasilkan, karangan yang saya tulis, dan pembicaraan yang saya lakukan. Dengan membaca, saya mampu menyelami pikiran orang lain dan menambahkan pemikiran serta pengalaman orang lain ke dalam pemikiran dan pengalaman saya sendiri.

Pelajaran berharga yang saya terima dari pengalaman belajar filsafat adalah membaca dengan dinamika tesis-antitesis-sintesis. Saat membaca, saya berusaha menangkap ide utama atau tesis pengarang dalam buku, kemudian saya melakukan sedikit analisis, menguraikan ide utama pengarang, menatapkannya dengan realitas dan menarik antitesis dari tesis pengarang. Pada tahap ketiga, saya merajut simbol, tanda nuansa, suasana, atau bagian-bagian realitas yang belum sempat atau tak mampu dirumuskan secara logis. Proses merajut, menenun, dan mengutuhkan ini adalah proses sintesis dari membaca. Dengan demikian, proses membaca buku sungguh menjadi pengalaman yang kaya dan mempengaruhi keseluruhan hidup saya.

Berawal dari membaca itu, diskusi dalam kelas ataupun dalam kelompok studi pun menjadi lebih hidup dan berbobot. Diskusi menjadi kesempatan untuk membagikan inspirasi ataupun kegelisahan dari proses membaca buku sehingga semakin memperkaya dan memperdalam pemahaman saya tentang topik tertentu. Demikian pula, kebiasaan membaca itu mendorong saya untuk menulis. Kebiasaan membaca saya sadari menambah dan memperkaya kosakata saya dalam berbahasa. Pengalaman menulis menjadi saat di mana saya mengendapkan dan merajut kembali ide pengarang dan menatapkannya dengan kenyataan dalam diri ataupun dalam masyarakat. Dinamika membaca, berdiskusi, dan menulis itu saya lakukan sebagai satu kesatuan proses belajar yang terus menerus (ongoing self-formation).

Dalam hal ini, Bung Hatta menginspirasi saya untuk mengintegrasikan kebiasaan membaca dengan proses membangun karakter. Roh dari membaca buku itu tidak sekedar untuk menambah pengetahuan tetapi juga untuk membangun sikap dan pilihan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Bung Hatta yang mencintai buku sebagai cara untuk mencintai Indonesia, saya pun meletakkan kebiasaan membaca saya dalam kerangka mencintai Indonesia, terutama bahasa Indonesia. Jika tindakan mencintai bahasa Indonesia dapat dimulai dengan sebuah pilihan sederhana, saya memilih mencintai buku dan membangun kebiasaan membaca seperti yang telah diajarkan oleh Bung Hatta. Buku adalah simbol kecerdasan dan kemajuan sebuah peradaban manusia.

Kesimpulan: Menggali Roh Membaca dari Bung Hatta

Bulan Bahasa merupakan bulan yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Bentuk konkret praktik berbahasa itu adalah kebiasaan membaca. Generasi para Bung, terutama Bung Hatta telah mengajarkan kepada kita semangat membaca yang memberi warna perjuangan mencapai Indonesia merdeka. Bung Hatta mengajarkan kepada kita roh membaca yang sejati, yaitu membaca tidak sekedar untuk menambah informasi dan memperluas cakrawala berpikir tetapi juga membaca sebagai proses perjuangan membangun karakter dan nasionalisme Indonesia. Roh dari kebiasan membaca yang sejati adalah bagaimana kebiasaan membaca itu turut mewarnai kosakata kita dalam pembicaraan dan mempengaruhi pilihan hidup sehari-hari.

Bulan Bahasa menjadi momentum berharga bagi kita untuk merefleksikan kualitas berbahasa kita, dalam hal ini kualitas membaca, dan sekaligus menggali roh berbahasa yang sejati dari Bung Hatta dan para pemuda dalam mewujudkan Indonesia yang berbahasa satu bahasa Indonesia. Kecintaan Bung Hatta terhadap buku adalah pengejawantahan cintanya terhadap negeri ini. Kecintaan pada buku ini dalam arti tertentu merefleksikan sebuah harapan dan keinginan besar Bung Hatta agar tujuan adanya negeri ini tercapai; mencerdaskan kehidupan bangsa dan buku adalah gerbang menuju kecerdasan itu. Semoga kebiasaan membaca buku dapat menjadi kesempatan membangun karakter kita sebagai orang muda yang mencintai Indonesia.Tabik!

Daftar Referensi:

1.Hatta, Mohammad. 1979. Mohammad Hatta Memoir. Jakarta: Tinta Mas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun