Seminggu yang lalu saya menyempatkan diri untuk membaca sebuah buku yang berjudul Meraba Indonesia (Ahmad Yunus, Serambi, 2011). Buku ini merupakan sekelumit rangkuman dari kisah perjalanan dua wartawan kawakan Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Ahmad Yunus adalah seorang jurnalis lepas yang kini aktif dalam sebuah organisasi yang berkonsentrasi dalam pembuatan film-film dokumenter. Watchdoc. Sedangkan Farid Gaban adalah wartawan senior yang pernah bekerja untuk beberapa media cetak nasional dan terakhir bekerja untuk majalah TEMPO.
Buku ini berkisah tentang perjalanan keduanya berkeliling Indonesia. Menyuguhkan sesuatu yang lain dari hanya sekedar cerita jalan-jalan. Menjamah pulau-pulau terluar, mencicipi pahit getirnya kehidupan masyarakat yang sangat jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Menuliskannya sebagai kisah perjalanan yang patut diberikan apresiasi setinggi-tingginya. Kejujuran menceritakan Indonesia yang wanginya banyak mengundang orang dari pelbagai negeri untuk berbondong-bondong belajar, meneliti atau sekadar ingin menikmati keindahan alam Indonesia yang terkenal elok. Membuktikan julukan yang lekat dari bisik orang Eropa. Mooi Indie.
Yunus dan Farid mengelilingi Indonesia dengan sepeda motor Win 100cc bekas yang mereka beli di Bandung. Mereka berdua memodifikasinya sedemikian rupa, agar mampu menerjang medan yang berat di berbagai penjuru Indonesia. Menaklukkan pegununngan. Melibas jalanan, menerjang derasnya sungai selama 1 tahun. Sejak tahun 2009 hingga 2010 setidaknya Yunus dan Farid menjalankan ekspedisi ini bak orang yang haus akan pengetahuannya tentang Indonesia secara utuh. Singgah dari satu pulau ke pulau lainnya. Naik sampan, perahu siput, dan transportasi apa adanya, yang merupakan kendaraan satu-satunya penghubung antar pulau. Mereka berdua merekam setiap detak kehidupan, dan mengumpulkan suara saudara kita yang lirih, menjahitnya secara apik, agar tak begitu saja hilang di telan gemuruh samudera. Perjalanan miskin ini mereka juluki Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Mencintai Indonesia dengan Sederhana.
Yunus dan Farid merangkum segenap hasil perjalanannya itu di dalam berbagai catatan, buku, koleksi foto, dan film dokumenter. Semuanya dimaksudkan agar dapat menggugah kesadaran, bahwa Indonesia sangatlah kaya. Kaya betul. Dan sebagian besar kekayaan itu tersimpan rapat. Terkunci di kedalaman laut yang belum terjamah. Dengan seksama Yunus menceritakan pula pengalamannya bertemu dengan saudara-saudara kita di perbatasan. Mereka seperti penjaga sebuah ideologi dan nasionalisme khayalan. Dibiarkan bertahan tanpa sedikitpun perhatian dari pemerintah.
Ketegaran penduduk di pulau-pulau kecil dilukis indah lewat tulisan dan digenapkan dengan jepretan Farid Gaban yang nyaris tanpa cacat. Mereka berupaya pula menceritakan bagaimana masyarakat Flores melupakan ingatan pahit mengenai pembantaian yang terjadi di tahun 1965. Juga kisah indah bangkitnya perekonomian yang dibangun dari akar rumput oleh sebuah organisasi Swisscontact, yang memberikan solusi kepada penduduk lokal agar berderak menuju kehidupan yang lebih baik dan bermutu.
Sejarah yang mengiringi berdirinya bangsa ini juga didedahkan Yunus dengan baik. Mengupas catatan-catatan lawas tentang Indonesia, meramu dan menyajikannya kepada kita seperti masakan Minang nan lezat. Jujur, dari sejak membeli seminggu yang lalu, tulisan-tulisan Yunus ini sudah saya bongkar pasang dan saya khatamkan tiga kali. Saya pun mengamini apa yang dirasakan oleh Yunus dan Farid selama ekspedisi ini mereka lakukan. Saya jatuh hati. Tak hanya sekali. Jatuh hati berkali-kali dengan Indonesia. “Tetapi kekayaan ini justru menjadi kutukan yang membuat kemiskinan terus merajalela, sebab salah urus. “ Demikian kira-kira Yunus mengguratkan emosi dalam diri pembaca, sebagai bentuk keheranannya. Mengapa negeri yang lautnya penuh berisi dan buminya subur tiada tara ini tak jua memberikan berkah bagi pemiliknya sendiri?. Siapa yang bertanggung jawab mengelola kekayaan alam ini?. Bagaimana dan apa yang bisa kita lakukan?. Semua akan anda temukan ketika mulai membaca lembar demi lembar kisah perjalanan keduanya.
Sebagai buatan manusia, tak ada gading yang tak retak. Meski kesalahan ketik terjadi di beberapa halaman, namun saya anggap hal itu wajar. Wajar bagi pejuang yang lelah ingin bercerita macam apalagi tentang Indonesa. Bagi anda yang belum membaca buku ini, maka saya sarankan untuk membacanya. Memperkaya wawasan kita tentang Indonesia toh tak ada salahnya bukan?.Bahkan bisa jadi wajib, apalagi dari perspektif yang lebih luas. Menerangkan jejak sejarah yang kabur, menempelkan satu persatu mozaik Indonesia yang tercecer. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas hingga Pulau Rote. Sekaligus merasakan denyut kehidupan mereka yang tinggal nun jauh disana, lebih dekat, lebih erat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H