Sebelum UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 diberlakukan, saya lebih memilih menyelesaikan pelanggaran lalu lintas melalui jalur pengadilan, karena nominal dendanya relatif lebih murah ketimbang denda damai yang sulit ditawar di bawah Rp 50.000,00. Jerat yang biasa dikenakan pada saya adalah Pasal 59 UU No. 14/1992, karena memang saya tak pernah memiliki SIM. Mahaaaalll...... ngurusnya!!
Beberapa kali mengikuti sidang pelanggaran lalu lintas di berbagai pengadilan negeri di Jakarta, saya mengamati bahwa pilihan ini bukan pilihan yang final baik juga. Tak ada jaminan bahwa uang denda yang kita bayarkan masuk ke kas negara SEUTUHNYA.
Pada sidang pelanggaran lalu lintas, hakim memanggil terdakwa, membacakan kesalahan dan pasal yang dilanggar, lalu menuliskan nominal denda di balik berkas tilang. Setelah itu terdakwa menuju petugas, membayarkan nominal denda yang ditentukan PLUS EXTRA Rp 2.000,00... Anda tahulah, ini Indonesia... dan terdakwa menerima kembali SIM atau STNK-nya.
Sesederhana itu. Tak ada kwitansi, apalagi kwitansi dengan nomorator. Saya tak melihat bagaimana fungsi kontrol bisa dijalankan dengan pola seperti itu. Saya tak melihat bagaimana “negara” bisa memonitor nominal denda yang SEHARUSNYA masuk ke kas.
Hal lain, yang menggelitik rasa ingin tahu saya, uang denda tilang itu, BILA masuk ke kas negara, dipakai untuk apa? Ada rekan-rekan yang bisa memberi pencerahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H