Mohon tunggu...
Fariz Pratama
Fariz Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Real Akun

You Can Call Me Pockes

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pangan 2019, Persoalan Pangan Kapan Tuntas?

29 Oktober 2019   05:32 Diperbarui: 29 Oktober 2019   07:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketersediaan pangan menjadi sebuah kenyataan pahit yang dialami negeri ini. Bagaimana tidak, data dari badan pusat stastistik Indonesia terdapat 267 juta penduduk dan membutuhkan pangan setiap harinya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah permasalahan gaya hidup, jumlah produksi atau bahkan permainan politk dibelakang semua ini? Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor bahan pangan berupa beras, kedelai, gandum bahkan jagung. Bagaimana bisa indonesia sebagai negara dengan istilah surga dunia ini sebagai pengimpor bahan pangan. Subutan negara agraris mungkin sudah mulai terkikis seiring berjalannya waktu apabiila hal ini terus terjadi. Namun, apabila tidak adanya ekspor impor yang berlangsung, juga dapat mengganggu keseimbangan pintu keluar masuk ke berbagai negara dan pangan merupakan produk yang tidak dapat diprediksi kapan akan baik dan kapan akan buruk.

Indonesia sebagai negara tempat yang cocok sebagai penanam padi, kedelai dan jagung, mungkin sebuah hal yang ironis apabila negara ini mengimpor hasil pertanian tersebut. Konsumsi nasi, kedelai, roti dan jagung indonesia tergolong tinggi, hal ini karena sebagian besar makanan penduduk indonesia terbuat dari keempat bahan pangan tersebut. Bagaimana hal ini bisa terjadi, dilihat dari kebiasaan nampak penduduk Indonesia suka akan berlebih-lebih alias boros. Budaya tersebut membuat pangan tidak efektif dimanfataakan, bahkan hingga banyak sisa yang terbuang.         Budaya dimanjakan dalam artian "semua barang harus ada" merupakan langkah yang kurang terpat karena terdapat sisi buruk disamping hal itu.

Pertama, bagaimana jika kondisi barang yang disediakan tidak memenuhi dan kurang dari apa yang diharapkan? Peristiwa tersebut menjadi masalah apabila ada pergolakan dan ketidakseimbanagan, akan terjadi kemungkinan yang paling dekat seperti kenaikan harga karena masyarakat cenderung bergantung pada pangan yang hanya itu-itu saja. Coba dipikir jangka panjang, masyarakat perlu adanya diversifikasi pangan yang ideal untuk mencukupi kebutuhan agar tidak termanjakan. Kedua, terindikasi tingkat kualitas konsumsi pangan di Indonesia tergolong rendah. Rata-rata masyarkat Indonesia masih memilih kuantitas dibandingkan kualitas. Tebukti dengan grading dan penyortiran yang rendah dari produk lokal membuat kualitas bahan pangan yang diterima konsumen tidak terjaga.

Persoalan-persoalan yang berbagai macam tersebut dapat diselesaikan apabila melakukan berbagai perombakan yang kritis. Indonesia perlu tangan-tangan yang sesuai di bidang pangan dan pengubah pola pikir masyarakat dengan kebiasaanya. Tangan yang dimaksud mengartikan gambaran seseorang maupun lembaga yang sangat paham dengan kondisi saat ini tentang pangan. Negara ini sudah mempunyai berbagai macam teknologi untuk menangani tentang pangan dalam waktu belakangan ini. Namun kembali lagi dilihat bahwa tidak dapat dipungkiri, penentuan ketersediaan dan kebutuhan pangan berasal dari siklus yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Produsen tanaman pangan akan memproduksi dan atau menanam apabila permintaan konsumen dan daya jual yang baik menurut produsen dalam hal ini petani. Hal itu sangat lumrah, semisal saja harga padi, kedelai, jagung dan gandum lokal lebih menguntungkan dan dapat mengembalikkan ongkos produksi maka produsen akan secara berkelanjutan menanam tanaman tersebut.

Persoalan yang paling jelas dan lumrah bukan? Bagaiman hal ini bisa terjadi di negara kita, yang notabennya mempunyai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dengan optimal. Sekali lagi kembali ke gaya hidup masyarakat Indonesia yang serba kecukupan atau ingin selalu dicukupi, sehingga muncul sifat manja tersebut. Memang mengubah budaya atau kebiasaan masyarakat tidak mudah, akan tetapi bukan berarti tidak ada jalan lain yang dapat dicari.  Mulai dari sekarang berhentilah membuang makanan dengan sia-sia, mengambil makanan secukupnya, memperhitungkan dengan hati-hati kebutuhan yang diperlukan dan mulai mengonsumsi berbagai macam pangan pokok lainnya selain beras, jagung, gandum dan kedelai. Umbi-umbian terutama yang diunggulkan untuk diversifikasi pangan agar Indonesia memiliki penyelesaian persoalan pangan yang berlarut-larut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun