Oleh : Bunga Ramadani, S.I.P.*
Undang-Undang Desa No.6 tahun 2014 memberikan angin perubahan bagi tata kelola pemerintahan desa, sekaligus membuka peluang bagi desa untuk mandiri serta memampukan diri dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia serta modalitas yang ada. Meskipun demikian, peluang ini tidak serta merta menjadi jalan pintas bagi desa untuk menggerakkan pembangunan secara masif dengan daya dukung yang tinggi.Â
Justru, adanya alokasi dana desa menuntut terbangunnya mekanisme pengelolaan keuangan desa yang jauh lebih akuntabel, proporsional, efektif, efisien, dan tentu saja profesional. Bisa jadi sebuah hal administratif yang kompleks, jika tidak ingin dinilai, meminjam istilah Max Weber, sebagai kecenderungan menguatnya model birokrasi di desa, di mana sistem berjalan dengan kalkulasi rasional dan juga kontrol yang kuat.
Saat ini, dana desa telah cair meskipun belum sepenuhnya. Seberapa siapkah desa memahami pola-pola penggunaan dana desa ? Lantas, bagaimana porsi untuk pembangunan kesehatan sendiri ? Tim Pencerah Nusantara kabupaten Konawe berkesempatan untuk menengok dan mempelajari langsung situasi di lapangan, khususnya di desa Kasumeia, kecamatan Onembute, dari kacamata penggerak lokalnya.
Kasumeia dari Titik Nol
Adalah Bapak Taryono Sigit, sosok yang progresif namun tetap bersahaja itu. Memiliki latar belakang keluarga transmigran asal Ciamis, Jawa Barat, Taryono merasakan betul bagaimana perjuangan meniti hidup dari bawah sebagai anak petani. Wajar adanya, mengingat transmigran pada awalnya mendapatkan ‘jatah’ bantuan hidup dari pemerintah. Namun seiring berjalannya waktu, kemandirian adalah sebuah keniscayaan. Pertanian dan usaha cetak batu bata merah, adalah dua sumber utama penghasilan warga di kemudian hari.
Pada mulanya desa transmigran itu bernama Trimulya. Taryono yang menghabiskan sekolah menengah pertama dan atas di Unaaha, ibukota kabupaten Konawe, mulai mahir berorganisasi ketika menjabat sebagai ketua OSIS. Selepas menamatkan SMA di tahun 1990, Taryono memutuskan untuk menikah dan kembali ke desa Trimulya.
Kepemimpinannya di desa dirintis mulai dari menjabat sebagai ketua RT, kepala dusun, hingga secara aklamasi terpilih menjadi kepala desa Kasumeia di tahun 2007. Kasumeia adalah desa pemekaran dari desa Trimulya. Kasu berarti kayu, dan meia berarti nyaring. Kayu yang nyaring. Nama desa ini diambil dari sebuah cerita yang hidup di masyarakat mengenai seorang penduduk yang tersesat di hutan dan menemukan jalan keluar lantaran mendengar suara gesekan yang nyaring antar pepohonan. Wilayah hutan belantara itulah yang kini menjadi wilayah Kasumeia.
Kasumeia dibangun dari kohesivitas modal sosial yang begitu kuat. Balai desa Kasumeia yang berdiri saat ini, dibangun secara gotong royong dengan swadaya masyarakat, patungan tenaga, dan juga patungan biaya. Dengan percaya diri, Taryono pun mengajukan kepada Lukman Abunawas yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Konawe, untuk bertandang ke Kasumeia dan meresmikan balai desa.
Tidak main-main, kerja keras Taryono dan perangkat desa Kasumeia pun memperoleh apresiasi luar biasa dari pejabat daerah, bahkan dari pejabat di level provinsi. Sepak terjang pria berusia 44 tahun ini di bidang kesehatan pun begitu lincah. Di belakang balai desa kemudian dibangun poskesdes yang sekaligus menjadi tempat tinggal bagi bidan desa. Masyarakat pun menjadi semakin dekat dengan tenaga kesehatan. Taryono bersama dengan istri, yang sekaligus menjadi penggerak PKK, aktif melakukan pemantauan di posyandu, juga pendekatan langsung ke ibu yang tidak hadir di posyandu.
Kasumeia saat ini terdiri dari 186 KK, dan didominasi oleh warga eks-transmigran. Jangan heran apabila berkunjung ke desa ini, justru telinga akan lebih sering akrab dengan bahasa Jawa ngapak. Kasumeia yang dikenal dengan industri batubata merah, menyadari betul dampak lingkungan hidup dari usaha rumahan ini. Terlebih juga dampak negatifnya ke anak-anak Kasumeia sendiri, yang berpotensi tidak melanjutkan pendidikan lantaran sibuk membantu orangtua di bangsal, lokasi untuk mencetak batu bata. Akhirnya, kebijakan baru pun dihasilkan. Penggalian tanah untuk cetak batu bata pun dibatasi. Tanah merah justru didatangkan dari luar desa. Dari sini, warga Kasumeia pun banyak yang akhirnya beralih menjadi petani. Tentu saja, pemerintah desa Kasumeia pun memberikan dukungan besar, mulai dari penyediaan lahan, hingga peralatan pertanian yang modern.