Perahu Kertas : Narasi Perlawanan Hati, Impian dan Realita
Secara garis besar film Perahu Kertas bercerita tentang Kugi (Maudy Ayunda), yang sedang
menempuh kehidupan barunya menjadi mahasiswa jurusan Sastra di Bandung.
Karakter Kugy cukup unik, dia dipandang orang disekitarnya sebagai pengkhayal dan memiliki kebiasaan aneh. Kugy senang melayarkan perahu kertas yang berisi isi hatinya, yang ia harapkan sampai kepada Neptunus. Dia menjadikan dirinya sebagai agen Neptunus dengan menempelkan dua jemari di kepalanya seolah menjadi radar untuk menentukan langkahnya.
Perahu Kertas mengisahkan perjuangan mengejar mimpi anak muda lewat impian Kugy, harus bertabrakan dengan realitas keadaan. Hal ini bisa dilihat pada dialog Keenan (Adipati Dolken) dan Kugy.
Salah satu dialog yang menarik terjadi ketika Kugy bercerita mengenai rencana hidupnya setelah selesai kuliah di jurusan Sastra. "Aku kuliah di Sastra. Kemudian lulus dan kerja sampai mapan. Setelah itu aku baru bisa menjadi penulis dongeng".
Tanggapan dari Keenan, "Oh kalau begitu kamu berputar dulu jadi orang lain, baru kamu kembali jadi diri kamu sendiri, begitu?"
Bagi Kugy, impian harus dikejar. Tapi ia juga realistis bahwa impiannya yang tak lazim bisa jadi akan membuat hidupnya sulit. Hal itu dianggap sangat relevan dengan kenyataan di Indonesia.
Perahu Kertas menampilkan mindset yang berkembang di masyarakat Indonesia bahwa kesuksesan identik dengan menjadi pekerja kantor, gaji tetap dan memakai jas. Seperti yang digambarkan Kugy dan bosnya, Remi (Reza Rahardian). Stereotip seperti ini tentu lebih dianggap sukses daripada Keenan dengan pakaian ala kadarnya walaupun berhasil menjadi pelukis yang sesuai passion dan impiannya.
Film ini juga menyajikan drama tentang kisah cinta yang menjadi daya tarik penonton. Baik Keenan maupun Kugy sudah memiliki pacar, tapi terlihat bahwa keduanya memiliki rasa yang sama. Berusaha untuk tidak menyakiti pasangan menjadikan bumbu yang menyedapkan alur film ini.
Namun, sayangnya film ini kurang menampilkan pergulatan Kugy dalam menjalani perkuliahan di Bidang Sastra. Literasi dunia sastra yang sebenarnya bisa dieksplorasi terasa kurang disini. Tentu akan menjadi nilai tambah tersendiri kepada penonton terkait pengetahuan baru tentang filosofi sastra.
Selain cerita, dari aspek penyutradaraan Hanung Bramantyo mampu menjawab kekhawatiran penonton bahwa isi novel akan berbeda dengan filmnya. Ternyata Hanung tak banyak melakukan interpretasi terhadap isi novelnya yang membuat isi film mengalir seperti teks aslinya.
Sinematografi dalam film ini juga "apik".Â
Adegan pembuka cukup memanjakan mata penonton. Seorang gadis sedang berada di laut dengan menumpang sebuah perahu dan gadis itu melepaskan sebuah perahu kertas. Narasi oleh gadis tersebut pun mendominasi di awal. Ditambah deburan ombak dan keindahan bawah laut yang memikat penonton.