Tidak lengkap proses adaptasi budaya, tanpa mencicip dan meresapi kekayaan kulinernya. Baiklah, ini dia satu postingan dari kami, yang akan membuat kamu-kamu semua, pembaca setia Kompasiana, akan segera mencatat Konawe sebagai destinasi wisata kulinermu selanjutnya. Yihaaa...... Boleh bersantap.....
Well... Tidak terasa, tim Pencerah Nusantara Konawe telah melalui minggu pertama di Onembute. Kami pun sudah mulai terbiasa (baca : menerima) segala kondisi yang ada. Air yang tidak kunjung menyala, terik matahari yang menguras persediaan baju bersih di lemari, hingga sinyal hape yang tidak juga sanggup untuk menyampaikan selfie terkini untuk pujaan hati di sudut lain negeri ini.
Tapi inilah Indonesia, dan di sinilah kami berpijak. Dan inilah saatnya kami mulai beradaptasi dengan ragam kekayaan pangan lokal.
Berbicara masalah kuliner di Sulawesi Tenggara, khususnya kuliner ala Tolaki (Tolaki adalah suku/penduduk asli yang mendiami wilayah Kendari, Konawe, dan Kolaka), sejak awal kami mendapat bocoran tentang makanan misterius bernama sinonggi. Jika Maluku dan Papua punya papeda, dan Sulawesi Selatan punya kapurung, maka Sulawesi Tenggara punya sinonggi ! Ketiganya adalah ibarat saudara sekandung berbeda domisili. Nah...kebayang kan jenis makanan seperti apa sinonggi ini. Yup, sinonggi adalah salah satu kuliner pokok yang terbuat dari pati sari sagu yang dikentalkan dengan air panas, diaduk, diaduk, dan diaduk, hingga teksturnya menyerupai lem. Tumbuhan sagu ini sendiri konon katanya banyak tumbuh dengan sendirinya di berbagai desa-desa di daerah Konawe dan sekitarnya. Just in case tidak ada beras, sagu pun jadi di sini. Malahan, sagu ini sangat aman dikonsumsi bagi penderita diabetes mellitus sekalipun.
Di sore yang (lagi-lagi) basah itu, tim Pencerah Nusantara Konawe mendapatkan kesempatan emas untuk mencicipi sinonggi perdana kami di rumah Pak Husen, kepala puskesmas Onembute. Mosonggi, itulah istilah lokal untuk menyebut kegiatan makan-makan sinonggi. Di dalam mosonggi, tentu saja yang menjadi pemeran utama adalah sinonggi itu sendiri. Sinonggi yang kental dan masih panas diletakkan di dalam baskom, ditemani dengan posonggi, dua bilah kayu berukuran sedang dengan panjang tidak lebih dari 25 cm, menyerupai sumpit. Posonggi inilah yang kemudian digunakan untuk mengambil dan memotong sinonggi sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi. Fyi, sinonggi ini lengket.
Selain sinonggi, ada juga pendamping dan pelengkap mosonggi. Yang tersaji di meja Bapak Kapus saat itu adalah ikan tongkol kuah, sayur ubi, ikan bandeng goreng, sambal dabu-dabu, dan juga jeruk nipis (di sini biasa disebut jeruk Tolaki). Tata cara mosonggi yang disarankan, yaitu pertama tama tuangkan kuah ikan ke piring. Kenapa begitu, supaya sinonggi tidak lengket di piring. LoL. Nah, boleh setelah itu kita tambahkan perasan jeruk Tolaki, garam, dan juga sambal sesuai selera.
 Kalau kuah sudah siap, barulah kita ambil sinonggi dari baskom dengan menggunakan posonggi. Susah-susah gampang ! Sinonggi kita ambil dan putar-putar hingga membentuk bulatan, lalu kita taruh bulatan tersebut di piring. Setelah itu, masih dengan menggunakan posonggi, bulatan kita potong-potong menjadi bulatan-bulatan yang lebih kecil. Sinonggi yang sudah dipotong kecil-kecil biasanya langsung dimakan dengan cara sluuuuurp........ditelan, tanpa dikunyah. Sejatinya, orang-orang Tolaki pun biasa memakan sinonggi tanpa menggunakan sendok, tetapi langsung dengan tangan.
 Sebagai lauk, boleh tambahkan ikan kuah dan juga sayur ubi sesuka hati. Sinonggi ini dijamin nikmat, sehat, dan ngga bikin baper. Tapi hati-hati ya kalau makan sinonggi di malam hari. Bisa-bisa buang air kecil terus-terusan...hehehe.
Penasaran gimana rasanya sinonggi ? Kami tunggu kehadirannya di Konawe, dan....jangan lupa colek kami ya, Pencerah Nusantara Konawe di Puskemas Onembute !
Special thanks to Bapak Husen, Ibu Husen, dan ibu Nur (bidan koordinator) yang telah menemani kami bermosonggi ria. Beruntungnya kami bisa mencecap betapa kayanya cita rasa nusantara ini, khususnya kuliner khas Tolaki, Sulawesi Tenggara.
Â