Globalisasi seakan membuat mesin-mesin canggih menjadi bak pahlawan yang membantu pekerjaan manusia. Namun berbeda dengan Tjipto Setiyono (82) yang tetap menggunakan proses manual dalam setiap karya ceritanya.
Seorang pria berusia senja ini memiliki semangat dan kepercayaan tinggi bahwa sebuah karya yang berasal dari pembuatan manual hasilnya jauh lebih menggetarkan jiwa. Di antara kinerja mesin-mesin hebat tersebut ternyata karyanya tetap mendapat banyak lirikan dan sentuhan lain. Siapa yang tak kenal dengan dia? Dia adalah seorang pelukis slebor becak termasyur di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Untuk sampai pada profesinya tersebut, rupanya berawal dari ketidakkesengajaan. Saat muda ia merantau dari Magelang ke kota Yogyakarta. Saat berada di Yogyakarta dengan alih-alih mencari rezeki ia bekerja pada sebuah pabrik es batu di daerah Gondomanan. Pemilik pabrik es batu tersebut adalah seorang tionghoa yang juga memiliki 30 buah becak untuk disewakan.
Untuk sampai pada profesinya tersebut, rupanya berawal dari ketidakkesengajaan. Saat muda ia merantau dari Magelang ke kota Yogyakarta. Saat berada di Yogyakarta dengan alih-alih mencari rezeki ia bekerja pada sebuah pabrik es batu di daerah Gondomanan. Pemilik pabrik es batu tersebut adalah seorang tionghoa yang juga memiliki 30 buah becak untuk disewakan.
Namun, pada suatu ketika mbah Tjipto melihat ada beberapa becak yang rusak dan kusut kemudian ia menawarkan bantuan pada bosnya. Cat dan kuas yang diberikan bosnya pun menjadi modal pertama untuk mbah Tjipto.
"Tahun 1954 saat usia 19 tahun saya sudah memulai peruntungan ini" ujarnya sambil tertawa kecil.
Mulai dari situ goresan-goresan tangannya mulai memadati kota Yogyakarta. Ia melukis hanyalah belajar secara otodidak tanpa mengikuti kursus apapun. Hanya dengan mengamati objek ia sudah dapat menggambarkan sesuatu pada sebuah media gambar.
Kian lama permintaan makin banyak akan tetapi merasa tak dihargai karena hanya dibayar sama dengan tukang es, kemudian ia memutuskan untuk berhenti. Tak berhenti di situ karena semangat jiwa mudanya, ia mulai merintis bisnisnya secara independen.
Setelah enam puluh tahun berlalu, mbah Tjipto tinggal seorang diri di Jalan Arjuna Wirobrajan No. 28 Yogyakarta. Sebelum menempati rumah kontrakan yang usang tersebut ia telah berpindah-pindah sebanyak 12 kali.
Saat pertama kali masuk menuju rumahnya akan disambut oleh kitiran berbentuk wayang bermotif batik. Hampir tiap hari ia menantikan tukang becak yang sudah terlebih dahulu berjanji untuk melukiskan slebornya. Untuk sepasang slebor biasa dikenakan biyaya 150 hingga 200 ribu rupiah per pasangnya. Pekerjaannya pun terbilang tak lama hanya cukup dua setengah jam saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H