Memperdebatkan mengenai dinamika demokrasi lokal Maluku Utara (Malut) memiliki hubungan signifikan yang terbangun dengan keberadaan industri tambang. Industri tambang tidak saja sekedar aktivitas ekonomi dan bisnis juga menjadi instrumen persekongkolan para aktor lokal dan nasional. Relasi kuasa antara politik dan bisnis sudah lama terbangun tidak saja terjadi di Maluku Utara, tetapi sudah menjadi fenomena umum dalam peta bumi perpolitikan nasional.
Fenomena relasi politik dan bisnis di negeri ini telah terjalin sejak rezim Orde Baru sampai rezim Reformasi saat. Di era demokrasi saat ini perselingkuhan antara politik (politisi) dan kelompok bisnis semakin terstruktur dan terdesentralisasi.
Isu demokratisasi, desentralisasi atau kebijakan otonomi daerah menjadi ruang terbuka dan struktur kesempatan terjadinya perselingkuhan itu. Perselingkuhan terstruktur itu semakin telanjang disaat ritual demokrasi (Pilpres, Pilkada, dan Pileg). Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam seperti tambang, kelapa sawit perselingkuhan itu tidak saja sebatas relasi ekonomi-bisnis, tetapi merambah pada penguasaan wilayah kekuasaan politik. Sumber daya alam, industri tambang jadi instrumen relasi kuasa para aktor politik.Â
Kasus Maluku Utara misalnya, sebagai salah satu penghasil tambang Nikel terbesar di negeri ini, sudah menjadi pengetahuan publik bahwa para aktor lokal, politisi, dan kelompok bisnis telah menyandera demokrasi lokal, khususnya saat pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pilkada tidak saja sebagai ajang pesta demokrasi, tetapi juga menjadi arena penguatan jaringan patronase politik dan bisnis. Keterlibatan sejumlah aktor bisnis menjadi bandar politik atau cukong Pilkada. Tidak mengherankan bila Pilkada lebih beraroma tambang dari pada mencitrakan political citizen. Di tengah mahalnya biaya demokrasi (hight cost democracy), keterlibatan sejumlah big-bos tambang dalam pesta demokrasi lokal tidak terhindari.
Pilkada beraroma mineral isi perut bumi itu semakin sempurna karena mayoritas elite-elite partai politik berlatar belakang sebagai pengusaha tambang atau memiliki hubungan dengan orang-orang tambang. Wajar saja bila sejumlah warga menyebut Pilkada di Maluku Utara sebagai pestanya para oligarki atau para bos tambang. Inilah wajah demokrasi yang tersandera para oligarki. Pilkada pun terbiaskan cita rasa demokrasi oligarki atau pasar gelap demokrasi (black market of democracy) dalam kemasan euphoria demokrasi.Â
Menguatnya fenomena pasar gelap demokrasi saat ini sesungguhnya dampak dari sistem perpolitikan berbiaya tinggi dan perilaku partai politik atau instrumen demokrasi lainnya. Partai Politik mestinya menjadi penghubung masyarakat (People) dan Negara (state), agar nasib warga negara diperbincangkan secara tajam dalam rangka melahirkan kebijakan publik pro terhadap keberlanjutan lingkungan dan pelayanan public yang sesuaidengan cita cita negara dalam UUD 1945. Namun, Partai politik justru melembagakan feodalisme politik dan peternakan Oligarki.Â
Sementara instrumen demokrasi lainnya sudah diintervensi kekuatan modal sebagai penumpang gelap dan membonceng masuk kedalam struktur kekuasaan. Kekuatan oligarki telah membajak demokrasi demikian pula struktur ekonomi. Menguasai struktur ekonomi secara otomatis akan mendikte kekuasaan politik. Ini realitas sosio-politik saat ini.
Seperti disebutkan diatas, daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, keterlibatan oligarki lokal menjadi kekuatan yang bisa menghitam-putih kan dinamika demokrasi lokal sebagai local bossism atau local strongman. Para bos-bos lokal tidak saja memiliki kepentingan bisnis, tetapi memiliki kepentingan politik. Sumber daya alam menjadi barter kepentingan dan menyandera selama patronase politik (sang patron) berkuasa. Regulasi atau kebijakan terkait industri tambang yang lahir dari tangan penguasa lokal akan membelikan kelompok bisnis atau kroni bisnis.
Fakta di Maluku Utara memperkuat argumentasi ini. Eksploitasi tambang besar-besaran selama ini telah melahirkan kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, banjir dan sejumlah penyakit sosial lainnya. Regulasi dan aturan main yang lahir dari tangan para politisi (lembaga legislatif dan eksekutif) yang menjadi instrumen justifikasi tehadap perilaku keserakahan. Posisi Negara sudah menjadi komperador dan predator bagi kepentingan pasar melalui sejumlah regulasi dan kebijakan yang dibuat.
Pasal 33 UUD seperti tertulis dalam konstitusi negara sebatas ilusi bagi rakyat dan negara. Kekuatan kelompok oligarki tidak saja mempreteli sumber daya ekonomi negara juga menyandera kekuasaan. Situasi negeri ini semakin memperjelas tesis Prof Noreena Herzt dalam bukunya Pengambilan Diam Atas Matinya Demokrasi, bahwa dominasi pasar akan membunuh demokrasi. Ya, Pilpres, Pilkada, dan Pileg didominasi kekuatan pasar. Pasar telah mendikte kebijakan negara. Negara tidak berdaya menghadapi kekuatan pasar.
Pasar menjadi negara bayangan dan berhasil mengamputasi dan membuat impotensi lembaga-lembaga demokrasi. Oleh karena itu, Pilkada 2024 Maluku Utara ini bukan tidak mungkin akan melahirkan kembali penguasa lokal yang tersandera oleh kekuatan oligarki atau sekedar jadi komprador pasar atau hanya elit lama yang berkamuflase lewat payung partai politik yang berbeda. Maka selama itu pula sumber daya alam hanya diperuntukkan bagi kepentingan oligarki dan para mafia tambang.
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pembangunan ekonomi cenderung menitikberatkan pada eksploitasi sumber daya alam seperti yang terjadi di Provinsi Maluku Utara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tanpa melakukan tindakan nyata dalam melakukan konservasi bahan baku tersebut. Eksploitasi yang tidak terkendali ini telah mengaburkan lingkungan dan pemiskinan tidak disadari oleh para pemangku kepentingan yang menggunakan dan memiliki akses ke sumber daya alam tersebut.
Rezim Kepemilikan Bersama disini haruslah semua sumber daya alam yang digunakan oleh publik dan open source dimana setiap orang berhak menggunakannya untuk menjamin kelangsungan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ini sering kali bersifat terbuka, dimana setiap orang bebas untuk menggunakannya atau akses terbuka dimana alam tidak ada dan seolah-olah tidak dapat habis.
Akibat keterbukaan akses tersebut, setiap individu yang memanfaatkan sumber daya tersebut cenderung mengabdikan dirinya semaksimal mungkin terlepas dari keberlanjutannya. Di sisi lain, masing-masing individu enggan untuk menjaga kelestarian sumber daya dengan alasan tidak ada gunanya menjaga kelestarian jika orang lain tidak atau sebaliknya, dan malah memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri.
Lingkungan yang rusak akibat pengaruh pengerukan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali. Perkembangan penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan sumber daya alam akan membuat bumi semakin parah menjadi bencana lingkungan global. Ini merupakan beban sosial karena pada akhirnya akan ditanggung oleh semua lapisan masyarakat dan generasi dimasa depan. Terjadi pergeseran paradigma dalam pengelolaan ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan dimana ketiga hal tersebut diintegrasikan ke dalam satu sistem bersama.
Dalam lingkungan ini, lingkungan hidup dipandang sebagai aset utama dalam proses ekonomi. Lingkungan menyediakan sistem penyangga kehidupan untuk menjaga eksistensi manusia. Mengatasi proses penyusutan aset lingkungan tidak hanya untuk kepentingan pelestarian dan pelestarian lingkungan tetapi untuk kepentingan kegiatan ekonomi jangka panjang guna memenuhi kebutuhan manusia baik generasi sekarang maupun yang akan datang ini yang di takutkan oleh Alec Ross dalam Industri-Industri Masa Depan: Beradaptasi atau Menyerah.
Provinsi Maluku Utara juga dikenal sebagai penghasil Nikel terbesar kedua di Indonesia. Namun pengelolaan sumber daya yang kaya ini berlangsung dengan cara yang tidak sesuai dengan praktik tata kelola yang baik. Peraturan daerah yang dihasilkan untuk mengatur industri cenderung mencerminkan kepentingan elit ekonomi dan politik lokal. Jika peraturan tersebut kemudian diterapkan, penerima manfaatnya adalah investor, bukan masyarakat sekitar tambang atau masyarakat luas. Sumber daya provinsi yang kaya belum mengarah pada peningkatan standar hidup atau kesejahteraan penduduk provinsi. Justru sebaliknya, mereka telah menyebabkan masyarakat terpinggirkan dari mata pencaharian tradisional mereka, dan kerusakan lingkungan yang masif.
Jika sumber daya ini dikelola dengan lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, mereka harus dapat menghasilkan kesejahteraan dalam hal pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Namun evaluasi yang dilakukan oleh para aktivis  lingkungan bahwa: Dengan tambang Nikel yang masih menjadi primadona perekonomian Maluku Utara, ekstraksi Nikel di provinsi tersebut dapat dibandingkan dengan orang-orang yang menggali kuburan mereka sendiri.
Masuknya kepentingan politik dan ekonomi ke dalam pengelolaan sektor tersebut, misalnya terlihat pada peran yang dimainkan oleh tawar-menawar antara elit ekonomi dan politik sekitar saat pemilihan kepala daerah langsung (pilkada). Pemilik tambang secara teratur menjadi donor utama bagi kandidat yang mencalonkan diri untuk jabatan politik di provinsi tercinta ini. Fenomena ini bisa dibilang menjadi ciri paling mencolok dari politik lokal di Maluku Utara sejak proses reformasi dan kebijakan desentralisasi dimulai di Indonesia lebih dari satu dekade lalu. Sementara itu, masyarakat setempat menghadapi situasi relasi kekuasaan yang sangat asimetris, kurangnya kapasitas atau akses politik untuk terlibat dalam pengelolaan sektor sumber daya alam. Akibatnya, seringkali muncul episode perlawanan masyarakat terhadap operasi pertambangan, termasuk dalam bentuk demonstrasi. Bentuk-bentuk perlawanan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa ketidakadilan masyarakat sekitar, baik terkait hubungannya dengan perusahaan maupun kegagalan tanggung jawab korporasi, maupun tentang pembagian royalti antara Jakarta dan daerah Hubungan bisnis dan politik dalam industri pertambangan di Provinsi Maluku Utara tidak dapat dipisahkan sebagai dua sisi mata uang. Persoalan pertambangan selalu menjadi politik pemasaran sebagai strategi untuk melakukan bergaining posisi atau jaringan bisnis dan patronase politik. Hal ini tidak dapat dihindari karena pasca pemerintahan Soeharto, dinamika politik nasional semakin liberal, pragmatis, dan proses demokrasi yang lebih kapitalistik yang tentunya membutuhkan biaya yang tinggi.
Adapun pola jaringan persekongkolan antara aparat daerah dan pengusaha pertambangan melalui pengeluaran izin usaha pertambangan: Pertama, perizinan yang diterbitkan tanpa mempertimbangkan tata ruang atau daya dukung lingkungan alam menyebabkan banyaknya konflik antara warga dengan perusahaan tambang dan pembukaan lahan secara masif. kawasan hutan lindung. Kedua, biasanya pemberian izin dikeluarkan menjelang pemilihan kepala daerah (bupati dan gobernur) sebagai strategi untuk memperkuat jaringan patronase bisnis dan politik transaksional yang saling menguntungkan. Ketiga, tumpang tindih izin yang mencapai ribuan dibiarkan berlangsung berlarut-larut dan berpotensi menjadi ajang tawar-menawar antara penguasa dan pengusaha. Keempat, pelanggaran hukum dalam kasus-kasus besar kepentingan umum yang mengakibatkan kerugian negara akibat korupsi dan praktek mafia di sektor pertambangan.
Dalam pengeluaran izin usaha pertambangan membutuhkan dana sangat Fantastis. Kesempatan tersebutpun tidak disia-siakan oleh pejabat daerah yang berwenang menerbitkan izin pertambangan untuk mendapatkan dana. Provinsi Maluku Utara terkenal dengan banyaknya izin pertambangan yang dikeluarkan oleh beberapa kepala daerah. Praktik-praktik tersebut telah berlangsung lama, terutama sejak pemerintah daerah memiliki kewenangan sangat luas dan nyaris tidak dapat dikontrol oleh publik karena sifatnya ekslusif. Bukti kongkrit kasus yang menyeret Gubernur Maluku Utara Non Aktif dalam pusaran kasus jual beli izin pertambangan di Maluku Utara. Pengelolaan sumber daya alam yang berlangsung sekian lama dikelola ala mafia dan serampangan tidak mengedepankan asas akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta berkelanjutan. Tidak menerapkan tata kelola penambangan yang baik. Namun sebaliknya yang terlihat adalah tata kelola buruk tata kelola praktik pertambangan yang tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, praktik korupsi, mafia pertambangan, dan penyalahgunaan kekuasaan telah menimbulkan korban kebijakan bagi masyarakat lokal dan degradasi lingkungan. dan telah menjadi lingkaran setan yang sulit diurai karena tidak adanya kemauan politik dari pemangku kepentingan untuk melaksanakan kebijakan pertambangan yang transparan dan akuntabel, namun yang terjadi As'ad dalam Kapitalisme Demokrasi dan Jaringan Patronase Politk disebutkan sebagai konspirasi dan keserakahan elit lokal.
Dalam desentralisasi, modus persekongkolan antara pejabat pemerintah daerah dan korporasi terlihat dari proses penerbitan ratusan izin pertambangan. Indikasinya terlihat dari beberapa hal: Pertama, izin yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan tata ruang wilayah, atau daya dukung lingkungan alam yang menyebabkan banyaknya konflik antara warga dengan perusahaan tambang dan pembukaan kawasan hutan lindung secara masif. Kedua, perizinan yang dikeluarkan jelang Pilkada, serta Pilgub, seperti yang terjadi pada bebarapa tahun terakhir di Maluku Utara. Ketiga, tumpang tindih izin yang mencapai ribuan dibiarkan berlarut-larut dan berpotensi menjadi ajang tawar menawar uang antara penguasa dan pengusaha. Keempat, pelanggaran hukum dalam kasus-kasus besar kepentingan umum yang mengakibatkan kerugian negara akibat korupsi dan mafia pertambangan di Maluku Utara akan terus terus berlanjut seiring bergantinya rezim penguasa Nasional dan Lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H