Berjalan dengan kepala menengadah keatas seolah menantang langit dan berkata : "Siapa yang bisa menentang saya?" Lantas meninggalkan arena tanpa kata - kata, itulah faktanya. Ya, itulah fakta yang terjadi di lapangan perang antara Pandawa dan Kurawa di Padang Kurukshetra yang terjadi di era Mahabarata. Menyimak kejadian unik di dunia kita yang nyata ini agaknya perang kembali terjadi di negeri yang katanya sudah mengalami masa 'Reformasi' yang merupakan buah dari paduan keringat dan cucuran darah para pejuang yang menginginkan perubahan di negeri ini. Dan faktanya nafsu mengalahkan segalanya.
Ironis memang perang yang seyogyanya sudah cukup sampai di dunia perwayangan saja, sudah tamat ketika dalang memasukkan gunungan ke dalam kotaknya, sudah tak berbekas ketika layar 'keber' sudah di lipat. Namun pada kenyataannya di salah satu belahan di dunia nyata ini perang yang sesungguhnya baru saja di mulai. Seolah tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan, 'Sengkuni' ikut meramaikan suasana. Dengan kelihaiannya memainkan peran yang memang menjadi incarannya, dia berhasil merebut simpati dari bala 'Kurawa' yang akhirnya merebut kekuasaan melalui permainan 'pemungutan suara' nya. Tak ayal, kekuasaan menjadi ajang arisan diantara bala 'Kurawa.'
Jika dalam cerita pewayangan, perang Bharatayuddha telah ditentukan oleh para dewa dengan lokasi yang sudah di tentukan pula, maka dalam dunia kita perang 'Bharatayuddha' juga sudah direncanakan dengan lokasi di gedung megah yang selalu membuat hati jengah. Namun, dalam perang kali ini mandat rakyat yang menjadi taruhannya. Seolah tak mau mendengar apa yang dikumandangkan oleh rakyat, pembenaran demi pembenaran dilontarkan oleh pihak 'Kurawa' yang katanya mewakili suara rakyat.
Dalam babak cerita perselisihan antara Kurawa dan Pandawa, dikisahkan bahwa Sengkuni berhasil membantu pihak Kurawa menguasai istana Indraprasta melalui permainan dadunya. Sengkuni yang mewakili 'momongannya' melempar dadu dan dengan sedikit sihir yang dimilikinya menjadikan Kurawa menguasai Indraprasta termasuk didalamnya dewi Drupadi. Tak ayal Pandawa terlempar dari istana dan menjalani pengasingan di hutan belantara.
Memang mengadu domba adalah kepiawaian yang dimiliki oleh Sengkuni. Bedanya dalam cerita pewayangan tokoh per tokoh sudah digariskan demikian adanya. Dalang hanya menjalankan adegan demi adegan. Ya, dalang bertugas untuk membawakan cerita menjadi tontonan yang menarik untuk dilihat dan didengar. Sengkuni sudah digariskan untuk menjadi seperti itu, menjadi tokoh yang tamak dan menghalalkan segala cara demi tercapai cita-citanya.
Tapi apa yang terjadi di dunia kita? Hmmm... Tak bisa dipungkiri bahwa peranan dalang bukan hanya sebagai pentutur cerita, tetapi masuk didalam alur cerita sebagai salah satu tokoh yang mencoba untuk bersandiwara. Alih - alih membenarkan cerita, sang dalang malah memperkeruh suasana dengan perannya sebagai pendeta Durna. Bedanya dalam cerita pewayangan, sang Durna yang merupakan guru bagi kedua pihak yang berseteru, di dalam dunia kita dia mencoba untuk menjadi oportunis dengan seolah - olah memberi harapan pada kedua belah pihak. Kata-kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dipercaya.
Sebenarnya sang 'Durna' di dunia kita ini masih 'enjoy' dengan kekuasaannya sebagai tokoh yang berjasa, ingin dikenang oleh seluruh rakyatnya. Sang 'Durna' tega membiarkan kedaulatan rakyat di perkosa oleh pihak yang haus akan kekuasaan. Seolah - olah dalam tutur katanya sang 'Durna' ingin membela suara rakyatnya, seolah - olah kedua telinganya terbuka untuk mendengarkan keluh kesah rakyatnya dan seolah- olah tak ada pintu buat bala 'Kurawa'. Tapi apa yang terjadi, dengan membiarkan angkara murka menguasai para 'Kurawa' maka secara tidak langsung sang 'Durna' telah bersekutu dengan 'Sengkuni'. Sang 'Durna' telah sukses memainkan perannya sebagai dalang dan pemain sekaligus dalam lakon "Rekayasa Mahabarata - Reformasi Ala Pendeta Durna."
Jika dalam cerita pewayangan, Durna menggunakan anak didiknya untuk balas dendam kepada Drupada, teman sepermainan di masa kecil yang berjanji akan memberikan separuh wilayahnya, maka dalam dunia nyata, sang "Durna" juga menggunakan 'anak didiknya' untuk berpartisipasi dalam pembunuhan demokrasi langsung yang konon katanya diakui sebagai buah dari reformasi.
Baik dalam dunia pewayangan maupun dunia nyata, perebutan tahta adalah sumber dari segala bencana. Perang Bharatayuddha terjadi karena kecurangan yang dilakukan oleh Sengkuni dan ditutup dengan kepiawaian kubu Pandawa yang mengecoh sang pendeta Durna dengan testimoni kematian Aswatama anak dari sang pendeta Durna. Mendengar putranya tewas, sang Durna kehilangan gairah dan akhirnya peperangan dimenangkan oleh kubu Pandawa. Padahal yang terjadi adalah Aswatama yang mati adalah seekor gajah yang bernama sama dengan nama anaknya. Semoga dalam dunia nyata, "Aswatama" bisa melemahkan peran sang "Durna" sehingga perang "Bharatayuddha" dalam dunia nyata segera berakhir sehingga berakhir pula tragedi perkosaan demokrasi di negeri ini.
Regards,
Plux
Catatan kaki : cerita singkat ini adalah hasil imajinasi dari penulisnya yang sedang dilanda gundah gulana melihat kejadian-kejadian lucu yang membelokkan jalan cerita sejarah negeri. Mohon maaf jika tulisan ini dianggap membelokkan jalan cerita kisah Mahabarata, Jika ada kesamaan nama dan cerita, itu adalah kebetulan yang benar- benar betul. Semoga cerita ini tidak mengakibatkan pemungutan suara, karena dikawatirkan beberapa pihak bisa meninggalkan arena. Penulis turut berduka atas gugurnya demokrasi yang sempat membanggakan negeri.