"Zaf, janji lo, ceritakan semuanya pada Bulek"
Sekar menggenggam erat tanganku menyebrangi jalan Wolter Monginsidi yang masih lengang. Aku tak bergeming, lampu -- lampu jalanan masih berpendar, kulirik jam tangan, 05 :27, udara fajar menusuk, tapi suasana di dalam stasiun Balapan mulai menggeliat. Kupilih KA Joglokerto yang berangkat pukul 06:00 pagi ini.
"Duduklah, habiskan susu hangat ini, biar aku yang pesan tiket" Sekar berlalu. Ku amati botol berisi susu sereal di pangkuanku yang disiapkan Sekar usai Subuh tadi. Sikap perempuan Solo itu mendadak dewasa, tepatnya sejak dua hari lalu.
"Nih.." Sekar mengulurkan tiket padaku.
"Aku nggak bisa nunggu sampai kereta berangkat, pagi ini kan aku menggantikanmu ngajar kelas tiga" Sekar pura -- pura merajuk.
"Zaf, ingat lo, ceritakan semua pada Bulek, semuanya..kalau tidak..nanti aku yang telpon Bulek!" gaya Sekar macam ibu tiri, aku menyeringai.
"Hati -- hati, salam untuk Bulek" Sekar merapatkan jilbabku lalu beranjak. Aku mengangguk, sejenak kugenggam erat tangannya. Kupandangi punggungnya sampai Batik Solo Trans membawanya pulang. Sesaat kutangkap raut cemas menggelayut di wajahnya, raut cemas yang sama seperti dua hari lalu.
***
"Ustadz Santoyib sudah masuk ruangan?" batinku gusar, kusambar jilbab segi empat warna putih di gantungan.
"Aku keluar duluan yo, nggak enak sama Ustadz Santoyib" Sekar meraih tas dan map berisi berkas di mejanya.