Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesalku di Seperempat Abad

27 Desember 2017   10:48 Diperbarui: 27 Desember 2017   11:50 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Aku tak suka basa -- basi. Namaku Nita Harani, kenapa? Terdengar pasaran? Ah..tak apa, itu nama pemberian orang tuaku yang harus kusyukuri. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Tapi, kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan orang tuaku, tidak bisa dibilang sederhana. Hanya saja, kepergian bapak yang tak kembali, menjadikan masa kecilku tak sepenuhnya manis, semua terjadi begitu cepat, saat aku belum mengerti benar apa itu perpisahan.

Pedang waktu terus menebas hariku tanpa jeda. Berbagai peristiwa menyenangkan, menyedihkan, pertemuan , perpisahan, derai tawa dan tak sedikit air mata telah kujalani dan kunikmati hingga mengantarkanku di seperempat abad batang kehidupan. Batang yang terus di tebas oleh waktu. Terang saja batang itu kian memendek, mungkin nyaris menyentuh akar.

Seperempat abad tidaklah singkat, tapi..kurasakan ia berlalu seperti kerjapan mata, dan penyesalan selalu menjadi cerita klasik yang berkelebat di akhir. Tak banyak hari -- hari yang kulewati bersama mamak, lantaran selepas SMP di pertengahan 2007 aku merantau meninggalkan mamak. Aku terpaksa merantau karena aku ingin melanjutkan sekolah, merantau di usia yang baru memasuki 15.

Ku akui, dulu aku menyimpan banyak kemarahan dan kekecewaan pada mamak. Tepatnya setelah 5 tahun kepergian bapak. Ya..kepergian bapak yang meninggalkan tiga orang anak perempuan yang masih kanak -- kanak. Aku tahu, itu pasti berat untuk mamak.

Ku akui pula, mamakku adalah perempuan tangguh. Bahkan ia tak meneteskan air mata saat pemakaman bapak, wajahnya pias tanpa ekspresi. Aku tahu, air matanya sudah habis di kamar, aku memergoki mamak duduk tertunduk di pojok kamar, bahunya berguncang. Mamak nyaris tak pernah menampakkan kesedihannya di depan kami bertiga. Ia menjadi mamak sekaligus bapak untuk kami, ia mampu menggenggam peran keduanya.

Pagi -- pagi benar mamak pergi dan pulang menjelang Maghrib. Mamak menjalaninya hampir tiap hari sebagai buruh tani. Saat pulang, setumpuk kayu bakar bertengger di kepalanya. Kaos panjangnya yang kumal sudah basah oleh keringat, terkadang bercampur dengan terpaan hujan. Namun, senyumnya tetap merekah kala aku membuka pintu dan berjingkrak -- jingkrak menyambutnya di mulut pintu.

Aku tak tahu, apakah lelahnya sudah padam saat mamak bangun pukul 4 dini hari untuk sholat lalu menyelesaikan semua urusan rumah. Dan yang pasti mamak nyaris tak pernah lupa mengisi kotak nasiku yang berwarna hijau pudar.

Tapi, ada satu hal yang mampu membuat mamak tak bisa berangkat kerja. Yakni, saat salah satu dari kami bertiga sakit. Tak hanya meninggalkan pekerjaan, sepanjang malam pun mamak tak bisa memejamkan mata. Bahkan, ia pernah berkata saat suhu badanku tinggi dan tak  kunjung turun. "Kalau bisa biar mamak yang menanggungnya". Tapi, jika mamak sendiri yang kurang sehat, ia akan tetap pergi kerja. "Kalau istirahat nambah sakit" jawab mamak saat aku memintanya untuk istirahat.

Sore itu, setelah 5 tahun kepergian bapak, kusembunyikan air mata di balik selimut. Mamak menikah lagi. Benih kekesalan bersemayam di sudut hatiku. Selang setahun mamak menikah, kekesalanku melebur bercampur kekecewaan yang dalam. Pasalnya, pulang sekolah siang itu, kudapati kabar aku akan segera punya adik. Seketika kakiku lemas, bergegas kuganti seragam sekolah. Tak kuhiraukan nasi mengepul di atas meja. Aku berlari kencang ke kebun belakang, kebun yang letaknya di dataran tinggi, kupanjat pohon belimbing tempat favoritku, lalu duduk di salah satu dahannya. Menatap nanar pada hamparan laut di seberang sana, debur ombaknya serasa menghujam hatiku.

"Mamak tak sanggup membiayaimu untuk melanjutkan ke SMA" jawab mamak datar dan dingin. Jawabannya benar -- benar menggenapkan rasa kecewaku. Beberapa ucapan kekesalan kumuntahkan, selebihnya aku bungkam, nyaris tak pernah bicara pada mamak.

"Mau nitip apa? Mamak mau kepasar" tanya mamak pagi itu, aku tak bergeming, membuang muka. Nyaris saban hari aku duduk menyendiri di belakang rumah, duduk bersandar di dinding dapur dengan perasaan tak karuan, persis macam orang tak waras. Karena aku tahan melihat teman -- temanku yang mengenakan seragam putih abu lewat depan rumah.

"Nih..mamak belikan baju tidur, waktu itu kamu minta dibelikan baju tidur to?" mamak menyodorkan bungkasan hitam padaku. Kubuka bungkusan, baju tidur lengan panjang, warna purple dengan gambar little cow, cukup manis, tapi..segera kulemparkan dengan keras baju itu ke pojok kamar, lalu aku bergegas kembali ke belakang rumah. Aku tak mau melihat ekspresi wajah mamak.

Aku terkejut bercampur senang, kakak keduaku yang baru lulus SMA datang. Ia bermaksud menjemputku untuk melanjutkan sekolah ke kota lain, kedua kakak perempuanku merantau dan bekerja paruh waktu demi melanjutkan sekolah. Tanpa ragu, kuterima ajakannya, karena aku tak punya pilihan. "Kalau kau mau lanjut sekolah, kau harus kerja" begitu katanya.

Dengan penuh semangat aku berkemas malam itu. Mamak duduk di dekatku. "Baju tidurnya dibawa" mamak mengingatkan, aku menoleh sesaat, kumasukkan baju tidur little cow kedalam ransel, tapi aku tetap bungkam. Entah kenapa, malam itu terasa panjang, aku tak sabar menanti pagi, ingin segera berangkat dan bertemu dengan sekolah.

"Aku berangkat" kataku datar sambil mencium punggung tangan mamak, sesaat ku usap kepala adikku yang baru berumur satu tahun, wajahnya teramat manis untuk kubenci.

 "Pulanglah saat libur sekolah" bapak tiriku mengingatkan saat aku menyalaminya, aku mengangguk. Kutinggalkan mamak dengan bermacam perasaan. Sambil menggendong adikku, mamak melepasku di mulut pintu, tersirat perasaan yang entah di wajah itu. Bergegas kutinggalkan pelataran rumah, aku tak mau menoleh walau sesaat.

Sejak itu, hari -- hariku melelahkan. Sekolah dan kerja paruh waktu di minimarket. Tapi,  lelah itu menjelma nikmat kala aku bertemu ritmenya. Untuk kali pertama aku merasakan, betapa sulitnya  bekerja mencari uang. Bagaimana dengan mamakku yang buruh tani? Saat libur sekolah, kusempatkan pulang meski dirumah hanya 2 atau 3 hari saja.

Kurasakan hari -- hariku berlari kencang. Selepas SMA, aku bertekad melanjutkan ke perguruan tinggi dan merantau lebih jauh. Kuliah sambil kerja paruh waktu kembali kugeluti. Meski sulit dan tertatih, Alhamdulillah kuliahku selesai.

Pertengahan 2007 hingga penghujung  2017, tak terasa 10 tahun sudah aku merantau. Kini, setelah aku jauh dari mamak, aku baru sadar, begitu banyak kasih sayang yang telah mamak berikan untukku . kasih sayang yang dulu tak kusadari, malah kulukai hatinya. Kenapa aku tak menyadari hal itu dulu? Barangkali, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya.

Aku benar -- benar penasaran, bagaimana perasaan mamak saat melepasku untuk kali pertama dulu. Sekarang, baju tidur little cow kerap kukenakan, aku baru sadar, baju itu benar -- benar manis, bagaimana mamak bisa tahu kalau aku suka warna purple? Aku teringat petuahnya dulu, saat mamak menemaniku berkemas.

"Nita, mungkin kau menyimpan kekesalan dan kekecewaan pada mamak, dan mungkin kau akan menyimpannya untuk waktu yang lama, tapi..jangan lakukan itu pada orang lain, kau boleh merajuk, marah, mengangkat suaramu bahkan memotong pembicaraan mamak, tapi..jangan lakukan itu pada orang lain, mamak bukanlah perempuan berpendidikan yang punya cukup ilmu untuk memberimu petuah yang hebat" ah..aku tak kuasa untuk  mengingat semua petuahnya, bulir -- bulir bening itu tak tertahan untuk jatuh. Tak ada yang bisa kukatakan selain "Maafkan aku mak"

Baru kusadari, mamak adalah milikku yang paling berharga, setelah kepergian bapak 18 tahun silam. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku harus kehilangannya. Entah dengan apa kan kubalas lautan kasih sayangnya yang tak bertepi itu, dan entah dengan apa kan kubayar sesalku yang menjalar. Tapi, aku masih punya harapan untuk bisa menjadi bunga dan matahari untuk bapak dan mamakku hingga ke janah-NYA. 

Aku tak sabar untuk segera mengakhiri masa perantauan ini. Ingin kukatakan padanya, bahwa kasih sayangnya yang tak bertepi dan tak bersyarat adalah hadiah terbaik darinya untukku, dan mengucap terimakasih untuk baju tidur little cow yang masih cocok kukenakan hingga kini. Aku ingin segera kembali padanya dan membersamai hari -- harinya, ingin kulunasi segenap sesal ini.

BataraNews.com
BataraNews.com
Palembang, 7 Rabiul Akhir 1439 H

Teruntuk mamak

With oceans of love

Anakmu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun