Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesalku di Seperempat Abad

27 Desember 2017   10:48 Diperbarui: 27 Desember 2017   11:50 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau nitip apa? Mamak mau kepasar" tanya mamak pagi itu, aku tak bergeming, membuang muka. Nyaris saban hari aku duduk menyendiri di belakang rumah, duduk bersandar di dinding dapur dengan perasaan tak karuan, persis macam orang tak waras. Karena aku tahan melihat teman -- temanku yang mengenakan seragam putih abu lewat depan rumah.

"Nih..mamak belikan baju tidur, waktu itu kamu minta dibelikan baju tidur to?" mamak menyodorkan bungkasan hitam padaku. Kubuka bungkusan, baju tidur lengan panjang, warna purple dengan gambar little cow, cukup manis, tapi..segera kulemparkan dengan keras baju itu ke pojok kamar, lalu aku bergegas kembali ke belakang rumah. Aku tak mau melihat ekspresi wajah mamak.

Aku terkejut bercampur senang, kakak keduaku yang baru lulus SMA datang. Ia bermaksud menjemputku untuk melanjutkan sekolah ke kota lain, kedua kakak perempuanku merantau dan bekerja paruh waktu demi melanjutkan sekolah. Tanpa ragu, kuterima ajakannya, karena aku tak punya pilihan. "Kalau kau mau lanjut sekolah, kau harus kerja" begitu katanya.

Dengan penuh semangat aku berkemas malam itu. Mamak duduk di dekatku. "Baju tidurnya dibawa" mamak mengingatkan, aku menoleh sesaat, kumasukkan baju tidur little cow kedalam ransel, tapi aku tetap bungkam. Entah kenapa, malam itu terasa panjang, aku tak sabar menanti pagi, ingin segera berangkat dan bertemu dengan sekolah.

"Aku berangkat" kataku datar sambil mencium punggung tangan mamak, sesaat ku usap kepala adikku yang baru berumur satu tahun, wajahnya teramat manis untuk kubenci.

 "Pulanglah saat libur sekolah" bapak tiriku mengingatkan saat aku menyalaminya, aku mengangguk. Kutinggalkan mamak dengan bermacam perasaan. Sambil menggendong adikku, mamak melepasku di mulut pintu, tersirat perasaan yang entah di wajah itu. Bergegas kutinggalkan pelataran rumah, aku tak mau menoleh walau sesaat.

Sejak itu, hari -- hariku melelahkan. Sekolah dan kerja paruh waktu di minimarket. Tapi,  lelah itu menjelma nikmat kala aku bertemu ritmenya. Untuk kali pertama aku merasakan, betapa sulitnya  bekerja mencari uang. Bagaimana dengan mamakku yang buruh tani? Saat libur sekolah, kusempatkan pulang meski dirumah hanya 2 atau 3 hari saja.

Kurasakan hari -- hariku berlari kencang. Selepas SMA, aku bertekad melanjutkan ke perguruan tinggi dan merantau lebih jauh. Kuliah sambil kerja paruh waktu kembali kugeluti. Meski sulit dan tertatih, Alhamdulillah kuliahku selesai.

Pertengahan 2007 hingga penghujung  2017, tak terasa 10 tahun sudah aku merantau. Kini, setelah aku jauh dari mamak, aku baru sadar, begitu banyak kasih sayang yang telah mamak berikan untukku . kasih sayang yang dulu tak kusadari, malah kulukai hatinya. Kenapa aku tak menyadari hal itu dulu? Barangkali, saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya.

Aku benar -- benar penasaran, bagaimana perasaan mamak saat melepasku untuk kali pertama dulu. Sekarang, baju tidur little cow kerap kukenakan, aku baru sadar, baju itu benar -- benar manis, bagaimana mamak bisa tahu kalau aku suka warna purple? Aku teringat petuahnya dulu, saat mamak menemaniku berkemas.

"Nita, mungkin kau menyimpan kekesalan dan kekecewaan pada mamak, dan mungkin kau akan menyimpannya untuk waktu yang lama, tapi..jangan lakukan itu pada orang lain, kau boleh merajuk, marah, mengangkat suaramu bahkan memotong pembicaraan mamak, tapi..jangan lakukan itu pada orang lain, mamak bukanlah perempuan berpendidikan yang punya cukup ilmu untuk memberimu petuah yang hebat" ah..aku tak kuasa untuk  mengingat semua petuahnya, bulir -- bulir bening itu tak tertahan untuk jatuh. Tak ada yang bisa kukatakan selain "Maafkan aku mak"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun