Â
Aku tak suka basa -- basi. Namaku Nita Harani, kenapa? Terdengar pasaran? Ah..tak apa, itu nama pemberian orang tuaku yang harus kusyukuri. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Tapi, kasih sayang dan perhatian yang dicurahkan orang tuaku, tidak bisa dibilang sederhana. Hanya saja, kepergian bapak yang tak kembali, menjadikan masa kecilku tak sepenuhnya manis, semua terjadi begitu cepat, saat aku belum mengerti benar apa itu perpisahan.
Pedang waktu terus menebas hariku tanpa jeda. Berbagai peristiwa menyenangkan, menyedihkan, pertemuan , perpisahan, derai tawa dan tak sedikit air mata telah kujalani dan kunikmati hingga mengantarkanku di seperempat abad batang kehidupan. Batang yang terus di tebas oleh waktu. Terang saja batang itu kian memendek, mungkin nyaris menyentuh akar.
Seperempat abad tidaklah singkat, tapi..kurasakan ia berlalu seperti kerjapan mata, dan penyesalan selalu menjadi cerita klasik yang berkelebat di akhir. Tak banyak hari -- hari yang kulewati bersama mamak, lantaran selepas SMP di pertengahan 2007 aku merantau meninggalkan mamak. Aku terpaksa merantau karena aku ingin melanjutkan sekolah, merantau di usia yang baru memasuki 15.
Ku akui, dulu aku menyimpan banyak kemarahan dan kekecewaan pada mamak. Tepatnya setelah 5 tahun kepergian bapak. Ya..kepergian bapak yang meninggalkan tiga orang anak perempuan yang masih kanak -- kanak. Aku tahu, itu pasti berat untuk mamak.
Ku akui pula, mamakku adalah perempuan tangguh. Bahkan ia tak meneteskan air mata saat pemakaman bapak, wajahnya pias tanpa ekspresi. Aku tahu, air matanya sudah habis di kamar, aku memergoki mamak duduk tertunduk di pojok kamar, bahunya berguncang. Mamak nyaris tak pernah menampakkan kesedihannya di depan kami bertiga. Ia menjadi mamak sekaligus bapak untuk kami, ia mampu menggenggam peran keduanya.
Pagi -- pagi benar mamak pergi dan pulang menjelang Maghrib. Mamak menjalaninya hampir tiap hari sebagai buruh tani. Saat pulang, setumpuk kayu bakar bertengger di kepalanya. Kaos panjangnya yang kumal sudah basah oleh keringat, terkadang bercampur dengan terpaan hujan. Namun, senyumnya tetap merekah kala aku membuka pintu dan berjingkrak -- jingkrak menyambutnya di mulut pintu.
Aku tak tahu, apakah lelahnya sudah padam saat mamak bangun pukul 4 dini hari untuk sholat lalu menyelesaikan semua urusan rumah. Dan yang pasti mamak nyaris tak pernah lupa mengisi kotak nasiku yang berwarna hijau pudar.
Tapi, ada satu hal yang mampu membuat mamak tak bisa berangkat kerja. Yakni, saat salah satu dari kami bertiga sakit. Tak hanya meninggalkan pekerjaan, sepanjang malam pun mamak tak bisa memejamkan mata. Bahkan, ia pernah berkata saat suhu badanku tinggi dan tak  kunjung turun. "Kalau bisa biar mamak yang menanggungnya". Tapi, jika mamak sendiri yang kurang sehat, ia akan tetap pergi kerja. "Kalau istirahat nambah sakit" jawab mamak saat aku memintanya untuk istirahat.
Sore itu, setelah 5 tahun kepergian bapak, kusembunyikan air mata di balik selimut. Mamak menikah lagi. Benih kekesalan bersemayam di sudut hatiku. Selang setahun mamak menikah, kekesalanku melebur bercampur kekecewaan yang dalam. Pasalnya, pulang sekolah siang itu, kudapati kabar aku akan segera punya adik. Seketika kakiku lemas, bergegas kuganti seragam sekolah. Tak kuhiraukan nasi mengepul di atas meja. Aku berlari kencang ke kebun belakang, kebun yang letaknya di dataran tinggi, kupanjat pohon belimbing tempat favoritku, lalu duduk di salah satu dahannya. Menatap nanar pada hamparan laut di seberang sana, debur ombaknya serasa menghujam hatiku.
"Mamak tak sanggup membiayaimu untuk melanjutkan ke SMA" jawab mamak datar dan dingin. Jawabannya benar -- benar menggenapkan rasa kecewaku. Beberapa ucapan kekesalan kumuntahkan, selebihnya aku bungkam, nyaris tak pernah bicara pada mamak.