Pada bulan September, saya kembali ke rumah. Saya melihat sebatang pohon ditanam di dalam pot. Pohon itu berjuang melawan panasnya cuaca Tangerang. Karena kasihan, saya menyiram pohon itu secara teratur. Beberapa waktu berselang, seorang tetangga saya memberi saran agar pohon itu dipindahkan dari pot ke tanah di halaman depan rumah.
Setelah saya pindahkan, barulah saya sadar bahwa pohon itu bernama Tecomaria kuning. Sekarang, pohon itu sudah tumbuh besar dan mampu menahan teriknya matahari. Tingginya kini sudah hampir menyamai atap rumah. Meskipun cuacanya panas, pohon ini cukup tahan. Seorang tetangga lain melihat hijaunya pohon itu dan meminta beberapa batang pohon untuk ditanam di rumahnya.
Tidak seperti pohon, manusia seringkali tidak tahan dengan cuaca panas. Para pembaca yang budiman mungkin bisa merasakan sendiri perubahan suhu yang tidak biasa di bulan Mei 2024. Saya sendiri tidak mengukur suhu itu secara eksak, tetapi merasakan hawa panas yang lebih dari biasanya.
Saya lantas teringat seruan Paus Fransiskus sepuluh tahun lalu. Melalui dokumen Laudato Si (2015), Ia menyerukan sebuah langkah mendesak untuk menyelamatkan bumi ini dari kerusakan permanen akibat ulah manusia. Seruan itu bukan tanpa alasan, tetapi didukung oleh temuan ilmiah mutakhir mengenai perubahan iklim. Ia mendesak semua umat Katolik untuk terlibat aktif dalam upaya menjaga keutuhan ciptaan. Upaya itu harus nyata, partikular dan segera.
Setelah merasa bahwa dampak seruan itu belum maksimal, beliau mengeluarkan seruan serupa mengenai lingkungan hidup pada tanggal 4 Oktober 2023 dengan judul “Laudate Deum”. Seruan ini menyayangkan respon politik yang sangat lambat dalam menghadapi isu perubahan lingkungan. Melalui seruan Paus Fransiskus dan dengan mengikuti temuan-temuan ilmiah tentang perubahan iklim, kita disadarkan bahwa pemanasan global akibat ulah manusia tidak bisa diobati. Manusia hanya bisa menahan laju kenaikan suhu bumi dan laju kerusakan lingkungan.
Paus Fransiskus dikabarkan akan mengunjungi Indonesia pada 3 September 2024. Kunjungan ini tentu disambut baik oleh seluruh umat Katolik di Indonesia. Secara pribadi, saya lebih suka menyambut beliau dengan tangan yang penuh tanah setelah menanam pohon-pohon. Mungkin saja bunga Tecomaria kuning di halaman rumah saya akan berbicara lebih banyak bahwa seruan-seruannya mendapat sambutan yang pantas di Indonesia. Setelah ini, pohon apa lagi yang kiranya cocok untuk saya tanam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H