Don Bosco (1815-1888) mengembangkan suatu gaya pendidikan yang dinamakan sistem preventif.
Sistem preventif merupakan salah satu alternatif untuk menghindari gaya "represif" alias behavioristik. Gaya pendidikan "represif" sering menggunakan kekerasan atau hukuman secara berlebihan.
Sistem preventif terdiri atas tiga pilar, yakni iman (Religion), akal budi (Reason) dan cinta kasih (Loving-Kindness). Akan tetapi, unsur ketiga ini tidak luput dari sebuah dilema.
Dilema yang saya maksud adalah: "Bagaimana cara mempraktikkan cinta kasih sambil tetap mendidik"? Jika tidak diberi pendisiplinan, anak akan tetap pada watak buruknya. Jika terlalu keras, anak akan cenderung berontak dan semakin menjadi-jadi.
Untuk itu, pembahasan mengenai sistem regresif menjadi salah satu alternatif (usulan pandangan) untuk memahami sistem preventif.
Dalam pendidikan regresif, seorang anak diajarkan, bahkan didorong untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak ada lagi batas. Sistem ini berisiko menjadikan kondisi kemanusiaan seorang anak mundur (regress) menuju tataran "binatang" yang bertindak mengikuti naluri (insting alamiah).
Karena itu, dalam sistem preventif, unsur "tekanan, kewajiban, dan aturan" tidak diabaikan sama sekali. Hukum berikut ini berlaku: "Jika kebaikan ditekan, keburukan akan muncul. Jika keburukan ditekan, kebaikan akan muncul." Seorang guru akan salah (secara normatif) apabila tidak memberitahukan mana yang baik dan mana yang tidak/kurang baik.
Dengan demikian, "represi" masih dapat diterima sejauh tidak menggunakan kekerasan.
Lebih daripada itu, tujuan pendidikan bukanlah menciptakan para "penonton" (spectator), seperti yang diproyeksikan pada dunia virtual/visual, entah 2D, 3D, 4D, apapun. Sebaliknya, tujuan pendidikan adalah membentuk kreativitas, bukan hanya berdasarkan ilmu, tetapi didorong oleh Jiwa, Semangat, dan oleh Roh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H