Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keluar dari Jerat Pendidikan Regresif

29 Mei 2022   08:00 Diperbarui: 29 Mei 2022   08:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Don Bosco (1815-1888) mengembangkan suatu gaya pendidikan yang dinamakan sistem preventif.

Sistem preventif merupakan salah satu alternatif untuk menghindari gaya "represif" alias behavioristik. Gaya pendidikan "represif" sering menggunakan kekerasan atau hukuman secara berlebihan.

Sistem preventif terdiri atas tiga pilar, yakni iman (Religion), akal budi (Reason) dan cinta kasih (Loving-Kindness). Akan tetapi, unsur ketiga ini tidak luput dari sebuah dilema.

Dilema yang saya maksud adalah: "Bagaimana cara mempraktikkan cinta kasih sambil tetap mendidik"? Jika tidak diberi pendisiplinan, anak akan tetap pada watak buruknya. Jika terlalu keras, anak akan cenderung berontak dan semakin menjadi-jadi.

Untuk itu, pembahasan mengenai sistem regresif menjadi salah satu alternatif (usulan pandangan) untuk memahami sistem preventif.

Dalam pendidikan regresif, seorang anak diajarkan, bahkan didorong untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak ada lagi batas. Sistem ini berisiko menjadikan kondisi kemanusiaan seorang anak mundur (regress) menuju tataran "binatang" yang bertindak mengikuti naluri (insting alamiah).

Karena itu, dalam sistem preventif, unsur "tekanan, kewajiban, dan aturan" tidak diabaikan sama sekali. Hukum berikut ini berlaku: "Jika kebaikan ditekan, keburukan akan muncul. Jika keburukan ditekan, kebaikan akan muncul." Seorang guru akan salah (secara normatif) apabila tidak memberitahukan mana yang baik dan mana yang tidak/kurang baik.

Dengan demikian, "represi" masih dapat diterima sejauh tidak menggunakan kekerasan.

Lebih daripada itu, tujuan pendidikan bukanlah menciptakan para "penonton" (spectator), seperti yang diproyeksikan pada dunia virtual/visual, entah 2D, 3D, 4D, apapun. Sebaliknya, tujuan pendidikan adalah membentuk kreativitas, bukan hanya berdasarkan ilmu, tetapi didorong oleh Jiwa, Semangat, dan oleh Roh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun