Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fatalisme dan Kehendak Bebas: Sebuah Sketsa Singkat

27 April 2022   08:00 Diperbarui: 27 April 2022   08:07 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fatalisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam teologi, fatalisme dikenal sebagai predestinasi. Dalam filsafat, fatalisme dikenal sebagai determinisme.

Ada dua doktrin teologi monoteisme yang dianggap membawa kita pada fatalisme. Pertama, doktrin yang mengatakan bahwa Allah sudah tahu semua hal yang akan terjadi di masa depan. Kedua, Allah itu mahabaik, dalam arti menyelenggarakan hidup segala makhluk. Kemampuan Allah untuk mengetahui semua yang akan terjadi di masa depan dianggap menyebabkan fatalisme karena: jika Tuhan tahu segalanya tentang masa depan dan pengetahuan itu tidak dapat salah, maka "Apa yang terjadi, pasti terjadi". Seandainya manusia bebas dalam arti bisa menghendaki yang sebaliknya, maka sekarang nyatalah bagi kita bahwa manusia itu tidak bebas.

Doktrin penyelengaraan ilahi dianggap sebagai ancaman bagi kebebasan manusia karena alasan berikut ini. Jika semua yang terjadi di muka bumi ini ada di bawah kendali kehendak ilahi, maka semua hal yang terjadi niscaya sesuai dengan kehendak Tuhan. Manusia tidak bisa bertindak melawan kehendak itu. Maka, manusia tidak bebas.

Kedua doktrin itu dapat dikatakan berakar pada filsafat Stoikisme. Kaum Stoik mengajarkan bahwa nasib yang tidak dapat ditawar-tawar menguasai alam semesta. Menurut etika kaum Stoa, manusia bisa hidup bahagia jika ia hidup selaras dengan alam. Dalam filsafat Kristiani, kedua doktrin itu berakar pada Kitab suci meskipun dalam bentuk-bentuk yang ambigu (bdk. Ams 16:33 "Undi dibuang ... tetapi setiap keputusannya berasal dari pada Tuhan"). Meskipun demikian, sebagian besar isi kitab suci tidaklah fatalistik.

Hingga saat ini, para ahli filsafat agama menganggap fatalisme sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Jika kedua doktrin di atas membawa kita pada fatalisme, keduanya harus ditolak atau paling tidak dimodifikasi. Kedua doktrin di atas membawa kita pada dilema kebebasan.

Kemahakuasaan Allah dan penyelenggaraan ilahi seringkali bertalian. Beberapa filsuf menganggap bahwa yang satu dibutuhkan untuk yang lain. Misalnya, Allah pasti telah mengetahui apa yang kita butuhkan, bahkan sebelum kita memintanya. Versi lain dari hubungan antara keduanya adalah kebalikannya: Allah mengetahui masa depan manusia melalui pengetahuannya tentang kehendak kreatifnya sendiri (Aquinas, ST, 1.14.8). Dengan kata lain, kehendak Allah tidak mengekang kebebasan manusia, tetapi malah membawa kebebasan itu pada tingkat yang semakin sempurna. 

Paham predestinasi menempatkan kehendak ilahi lebih tinggi daripada kemahatahuan Allah. Bagi mereka, Allah telah menentukan sejak semula keadaan setiap orang di dalam keabadian: atau selamat atau dihukum selamanya. Di masa sekarang, sulit menemukan pemikiran filosofis yang mempertahankan doktrin ini secara memadai. Sementara itu, masalah predestinasi sudah jarang dibicarakan.

Sumber:

Linda Trinkaus Zagzebski, "Recent Work on Divine Foreknowledge and Free Will", dalam Robert Kane (ed), The Oxford Handbook of Free Will, New York: Oxford University, 2002

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun