Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menggali Makna Traveling dalam Kehidupan Sehari-Hari

15 April 2022   08:00 Diperbarui: 15 April 2022   19:24 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Yanagita Kunio (1875-1962), perjalanan (traveling) bukan sekadar jalan-jalan. Sebaliknya, perjalanan merupakan cara manusia mengikat kembali tali yang menghubungkan saat ini dan masa lalu. Hal ini didukung pepatah lama yang mengatakan bahwa bertualang seribu mil lebih baik daripada membaca sepuluh ribu buku.

Diceritakan bahwa seorang bikhu Zen pernah berziarah bersama tujuh orang temannya untuk mengunjungi sebuah danau di dekat Gunung Fuji yang bernama Danau Barat (West Lake). Keindahan di tempat  itu sangat menakjubkan, sampai ia bersama teman-temannya merasa bahwa mereka sedang berada di “dunia para Dao” (antah berantah). Mereka menyewa suatu perahu nelayan di situ untuk membawa mereka ke tengah danau. 

Mereka mulai bertolak ke tempat yang lebih dalam. Semakin mereka menuju ke tengah danau, keindahan alam yang mereka lihat semakin menawan, semakin asing dan semakin indah. Karena tidak bisa menahan haru, para bikhu mulai menangis bahagia. Sementara itu, sang nelayan terheran-heran melihat tingkah para bikhu tersebut.

 Nelayan itu sudah tinggal di sekitar danau itu sejak kecil. Ia sudah melihat pemandangan itu dari pagi hingga malam. Karena itu, ia sulit memahami dan merasakan sukacita yang meliputi para bikhu. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat kalian menangis begitu hebat?” Mereka menjawab, “Kami terpesona oleh keindahan gunung dan pemandangan danau ini”. Nelayan itu tidak dapat memahaminya dan suatu ekspresi skeptis tampak di wajahnya. Ia membalas, “Jadi, kalian berjalan sejauh ini hanya untuk melihat pemandangan ini?”

 Para bikhu Zen itu berujar di antara mereka, “Jika nelayan itu minta kita untuk menjelaskan apa yang mendorong rasa kagum kita, apa yang harus kita katakan? Jika kita menunjuk dengan jari pada pemandangan itu, pasti nelayan itu tidak akan menangkapnya, sebab ia sudah berada di sini seumur hidupnya. Akan tetapi, jika kita mengatakan bahwa apa yang mendorong kita adalah sesuatu yang berbeda, maka ia bisa menyangka bahwa kita menipu dirinya, sebab yang kita lihat adalah suatu pemandangan lain, nun jauh dari danau itu”.

 Kurang lebih, inilah kesulitan para guru Zen menjelaskan ajaran-ajaran Buddha pada murid-murid yang terkadang gagal paham. Ajaran-ajaran mereka tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan prinsip-prinsip misterius. Para murid bisa saja menyangka bahwa “misteri” atau “pencerahan” itu ada di suatu tempat nun jauh di sana. Padahal, misteri itu dekat di dalam kehidupan sehari-hari.

 Pengalaman bencana bisa membuat suatu tempat yang pada mulanya akrab dengan diri kita dalam waktu seketika berubah menjadi tempat yang benar-benar asing. Pengalaman meratapi rumah yang hancur dan kehilangan orang yang dicintai membuat manusia semakin menghargai pengalaman sehari-hari yang seringkali terabaikan dan dianggap biasa.

*Cerita ini diambil dari Nanzan Japanesse Philosophy Sourcebook, bagian “Buddhist Tradition: Zen”, hlm 169-170

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun