Kebenaran merupakan sebuah nilai yang mampu membawa perdamaian maupun perpecahan. Michael Lynch dalam karyanya yang berjudul True to Life (2004) membahas tentang kebenaran yang wajar secara umum. Dalam konteks manusia di era digital, kebenaran objektif perlu tetap diraih tanpa jatuh ke dalam dua ekstrem: tidak ada kebenaran sama sekali (skeptisisme) atau hanya mengakui satu kebenaran mutlak (dogmatisme).Â
Michael Lynch menganut truisme wajar, yaitu klaim yang membela pentingnya kebenaran dalam arti yang wajar. Hal ini tidak berarti bahwa semua orang harus setuju pada satu kebenaran. Paling tidak, Lynch ingin menyatakan bahwa kita seharusnya yakin bahwa kebenaran itu memang penting.
Menurut Lynch, ada empat asumsi mendasar mengenai kebenaran dalam arti yang wajar: Â
Kebenaran itu Objektif
Rene Descartes telah menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui. Fakta akan adanya kekeliruan tidak menghapus adanya kebenaran objektif. Revolusi sains menunjukkan kepada kita bahwa para pakar sekalipun pernah meyakini hal yang keliru (misalnya: bumi itu datar).Â
Percaya pada sesuatu tidak berarti apa yang kita yakini itu benar. Sebaliknya, benarnya suatu hal juga tidak berarti kita selalu percaya padanya. Realitas merupakan alasan mengapa kebenaran itu penting. Keyakinan kita harus menyesuaikan diri dengan realitas dan bukan sebaliknya.Â
Manusia tidak bisa mengetahui segala-galanya. Manusia juga bisa keliru. Dalam arti ini, objektivitas kebenaran merupakan sesuatu yang sudah jelas ada.
Teori korespondensi merupakan suatu teori yang menyatakan objektivitas kebenaran secara sangat radikal. Sebab, tolak ukur keyakinan kita adalah relasi pikiran kita dengan objek-objek bendawi. Selain itu, kita tidak pernah bisa mengetahui secara penuh mengenai objek apapun, misalnya Hard Drive (ingat pembedaan Noumena dan Fenomena pada Kant).Â
Kita tidak tahu segalanya tentang HD. Namun, keyakinan kita pada kinerja HD bisa menjadi ilustrasi bagi keyakinan akan adanya objektivitas kebenaran. Keyakinan kita yang benar bisa "menjadi potret" dunia sebagaimana adanya dan bukan dunia yang kita harapkan, takutkan, atau angan-angankan. Karena itu, objektivitas kebenaran menurut Lynch mengambil jalan tengah antara subjektivisme dan teori korespondensi.
Kebenaran itu Baik
Kita membedakan apa yang benar dari apa yang keliru karena kita membutuhkan suatu dasar untuk memberi penilaian benar-salah. Penilaian itu sesungguhnya hanya bisa terjadi karena adanya dorongan yang lebih mendasar. Misalnya, kita perlu bukti yang memadai untuk keyakinan kita karena kita yakin bahwa kadar kebenaran pada keyakinan yang mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai itu lebih terjamin.
Karena itu, "kebenaran" memiliki ciri evaluatif. Kaitan antara keyakinan kita dengan kebenaran itu sangat erat. Kita hampir tidak bisa menyatakan sesuatu sebagai benar tanpa meyakini bahwa itu memang benar. "Meyakini sesuatu itu sama dengan menganggapnya benar." Atau dengan cara yang lebih longgar: "Lebih baik meyakini sesuatu yang benar daripada sesuatu yang salah". Baik-buruk di sini bukan melulu dalam arti moral, sebab menyangkut juga berbagai jenis kebaikan.
Kebenaran Merupakan Nilai yang Pantas Dikejar
Sama seperti menepati janji itu lebih baik daripada ingkar janji, demikian pula kebenaran layak untuk dicari. Namun, tidak berarti kita akan menempuh jalan lurus yang langsung membawa kita pada kebenaran. Menurut Lynch, pencarian kebenaran itu selalu berciri tidak langsung. Kita memiliki kendali tidak langsung atas apa yang kita yakini. Metode kerja ilmiah merupakan salah satu jalan yang dapat membawa kita pada kebenaran. Jika tidak ada keyakinan bahwa kebenaran ilmiah itu mungkin diperoleh, tidak usah kita bersusah-susah mencarinya.