Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Menggali Makna Puasa bersama Mahatma Gandhi: Serial Peace Values

9 April 2022   10:49 Diperbarui: 9 April 2022   10:50 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Tokoh publik di abad ke-21 yang menghayati puasa dengan cara yang luar biasa tidak berasal dari kalangan Islam maupun Kristen. Dia adalah seorang Hindu, yaitu Mahatma Gandhi (1869-1948). Ia menghayati puasa dalam kesatuannya dengan doa demi tujuan yang lebih besar, yaitu pembebasan rakyat India dari penjajahan.

Gandhi berusaha melawan penjajahan tanpa kekerasan. Ia menghayati sebuah nilai yakni: kekerasan hanya pada diri sendiri dan bukan pada orang lain. Menurut Gandhi, perang di dunia ini terjadi saat manusia tidak berperang melawan dirinya sendiri. Karena itu, sebelum mengajarkan nilai non-violence, ia mulai berperang melawan egotisme yaitu perhatian berlebih pada diri sendiri secara sempit. Pada usia 38 tahun, Gandhi mengambil sumpah pertarakan (selibat, tidak menikah) sampai saat terakhir hidupnya.

Bagi Gandhi, puasa dan doa berkaitan satu sama lain. Doa mendekatkan (attach, mengikat, membawa kita lebih dekat, menyatu dalam relasi yang mutlak) dengan Allah, sementara puasa menjauhkan (detach, melepas ikatan, membuat relasi menjadi relatif) kita dari ciptaan.

Ia mengajarkan bahwa puasa membawa pengaruh yang besar pada siapapun yang kita cintai.  Karena itu, efek puasa bukan pertama-tama diintensikan untuk mengubah hati para penguasa, tetapi orang lain yang kita cintai (keluarga, sahabat, orang yang kita layani). Dalam puasa, hal pertama yang ingin ia wujudkan adalah berbagi rasa lapar (supaya satu rasa, satu hati) agar ia ikut menderita bersama rakyatnya yang menderita.

Setelah berpuasa barulah ia mengajarkan nilai non-violence. Alasan ia mengajar tentu bukan untuk gaya-gayaan, posting di medsos atau berkoar-koar di mimbar. Ia memperjuangkan nilai tersebut demi kemerdekaan negara India dari penguasa Inggris pada saat itu. Ia menyebut orang India sebagai orang-orang yang untouchable, orang-orang yang tidak diperhatikan, diabaikan, bahkan tidak sudi "disentuh" peradaban. Dengan demikian, ia berpuasa untuk membebaskan mereka semua, dan ia berhasil!

Kira-kira, apa yang menjadi pendorong dari semangat non-violence Gandhi? Menurut sebuah versi, Gandhi pernah membaca Khotbah di Atas Bukit yang tertulis dalam Injil Matius bab 5. Ia mengatakan, "Sejak saat itu, saya adalah seorang Kristiani". Ini lebih dari penghayatan formal-institusional, melainkan sebuah penghayatan spiritual.  Gandhi mampu menghayati nilai spiritual dalam Khotbah di Bukit. Nilai itu dapat diringkas dengan kalimat: "Hancurkan egomu, maka kamu akan mampu memberi kontribusi bagi masyarakat." Tak ada kemenangan tanpa pengorbanan diri. Selamat menunaikan ibadah puasa.

Sumber: 

Fulton J. Sheen, Come Come, Go Go. https://youtu.be/nrbF2Y1wEdE?list=PLxJrpK3mAms0_lcU1BZizEOajkq3Cyy8w 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun