Beberapa waktu yang lalu, ketika memposting poster tulisan berjudul "Filsuf Terbesar Sepanjang Sejarah", saya diberi sinyal oleh seorang teman Muslimah agar tidak melupakan Jalaluddin Rumi. Saya turuti permintaan teman baik saya itu.
Jalaluddin Rumi merupakan Sufi terbesar meskipun ia tidak menulis syair-syairnya. Ia diperingati setiap tanggal 30 September (Rumi's Day). Syair-syair dan ajaran cinta Rumi telah menjadi inspirasi bagi para penyair dan kritikus sastra di seluruh penjuru dunia karena nilai estetis, intelektual dan spiritual yang tinggi. Tidak heran jika ada yang menyebutnya mistikus, pujangga, bahkan seorang kudus. Meskipun ada begitu banyak pandangan tentang Rumi, bukan berarti bahwa kita tidak bisa menangkap inti dari ajaran-ajarannya. Menurut John Baldock (2006), ada dua dua tema sentral dapat dikatakan sebagai inti ajaran Rumi. Pertama, kehadiran Allah di dalam seluruh alam ciptaan. Ajaran ini dapat diringkas dalam ayat Al-Quran yang berbunyi, Ke manapun engkau berpaling, kan kau temui Wajah-Nya" (Q 2:115). Kedua, kembalinya manusia kepada Sang Kekasih. Tema ini termaktub dalam ayat Quran yang berbunyi, Kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali (Q 2:156).
Dalam tulisan ini, saya akan membahas topik mengenai konsep kesatuan (non-duality consciousness) dalam ajaran Rumi. Sebagai seorang Kristiani, saya berusaha memahami Rumi dengan bantuan pemikiran Cynthia Bourgeault mengenai kesadaran Yesus sebagai pembanding. Saya akan berusaha menyajikan persamaan dan perbedaan antara relasi cinta yang dimaksud oleh Rumi dengan ajaran cinta kasih yang menjadi inti ajaran Kristiani.
Esensi dalam Ajaran Rumi
Dalam tulisan-tulisannya, Rumi kerap kembali pada tema "forma" dan "esensi" untuk menggambarkan bahwa persepsi kita umumnya berfokus hanya pada penampakan luar dari benda-benda (forma tertampakkan). Akibatnya, kita cenderung tidak sadar pada aspek-aspek yang tidak kelihatan atau kurang disadari. Aspek yang tidak kelihatan itu adalah "esensi" yang terkandung di dalamnya.
Tokoh-tokoh yang sealiran dengan Rumi memiliki cara pandang yang menyeluruh terhadap realitas. Cara pandang seperti ini disebut inside out (yang dibedakan dari cara pandang outside in). Secara lugas, ajaran-ajaran Rumi merupakan ungkapan kebahasaan terhadap inspirasi spiritual. Rumi juga menekankan pentingnya seorang pembimbing yang bisa menunjukkan Perjalanan Rohani. Tanpa adanya seorang pembimbing, perjalanan rohani hanya akan menjadi ambisi pribadi. Ke mana jalan itu menuntun kita? Secara eksplisit, Rumi merujuk pada dua ayat Al-Quran yaitu: "Kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali" (Q 2:156) dan "Kemanapun engkau berpaling kan kau temukan Wajah-Nya" (Q 2:115).
Ada dua jenis inteleigensi menurut Rumi. intelegensi dalam arti pertama diperoleh melalui pengalaman belajar. Ia ibarat air yang mencoba menembus suatu rumah. Sementara itu, intelegensi dalam arti yang kedua adalah rahmat, pemberian dari Allah. Ia seperti air yang mengalir dari dalam hati. Karena itu, menurut Rumi, carilah sumber air di dalam jiwamu!
Kesatuan dalam Pemikiran Rumi
Dualitas (kemenduaan) merupakan latar pengetahuan yang umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam skema berpikir dualis, sebagaian besar hal di dunia ini hanya dapat diketahui melalui pembedaan dan (dalam batas tertentu) perlawanan atau oposisi. Jika tidak ada oposisi maka semua yang ada ini akan sama saja. Salah satu pihak yang terlibat dalam skema oposisi itu memungkinkan pihak yang lainnya mungkin untuk terpahami.Â
Namun, Allah tidak masuk dalam skema ini. Sebab, tidak ada satupun benda atau hal yang setara dengan Allah untuk diperbandingkan atau diperlawankan. Ia melampaui segala jenis oposisi. Allah adalah satu-satunya Satu. Karena itu, manusia dalam batas-batas tertentu tidak dapat mengetahui Allah sebab tidak ada oposisi yang dapat membantu pikiran kita menjelaskan Allah sejelas-jelasnya.
(Itulah sebabnya, dalam tradisi Kristiani, Allah Bapa tak akan dikenal jika Putera tidak menyatakannya (reveal). Demikian pula, Putera tak akan kita kenal bila tidak dinyatakan oleh Roh Kudus. Dengan kata lain, misteri Trinitas adalah misteri pewahyuan.)Â
Pada saat "diri" kita melebur dalam Lautan Kesatuan, yaitu Allah, kita bisa mengatasi dualitas itu dan belajar untuk membedakan hal-hal yang hanya berguna bagi tubuh dan mana yang berguna bagi jiwa kita.
Rumi ingin membantu kita melepaskan diri dari skema dualitas dan mengalami dua sisi itu sebagai satu kesatuan. Dalam kisah Laila dan Majnun, oposisi semacam itu ditantang oleh relasi cinta yang menyatukan dua insan. Relasi yang berpijak pada oposisi merupakan cermin atas keterpisahan yang ada antara kita dengan Sang Kekasih.