Kisah "Anak yang Hilang" dalam Injil Lukas bab 15 menyediakan suatu model untuk melihat proses belajar, bukan hanya dalam arti formal (sekolah, kuliah), melainkan secara umum, yaitu menjadi manusia. Apa artinya menjadi manusia?
Si anak bungsu menyadari kondisinya, kebodohannya dan kemelaratannya. Kondisi-kondisi ini bisa menjadi simbol bagi siswa/siswi/mahasiswa yang terjebak dalam hal-hal “receh”: menjadikan hiburan (yang sehat maupun kurang sehat) sebagai “makanan harian”.
Setelah menyadari bahwa kondisinya itu menyedihkan, si anak bungsu mulai merasa bersalah. Rasa bersalah tidak hanya timbul sebagai suatu reaksi emosional, melainkan berdasarkan suatu pertimbangan logis-rasional. Manusia tidak hanya hidup dari hal-hal material dan kesenangan sesaat.
Ia perlu mengetahui dan mampu membedakan mana yang baik dan benar bagi seluruh kemanusiaan, pertama-tama bagi dirinya sendiri. Setelah tahu, ia melatih kehendaknya untuk “mau datang” pada Sang Kebenaran, yaitu Yesus (Jalan, Kebenaran dan Kehidupan).
Cinta akan Tuhan adalah mahkota seluruh pengetahuan. Melaksanakan kebenaran iman dalam perbuatan baik adalah tujuan utama dan tertinggi seluruh pengetahuan iman. Apa gunanya memilki seluruh pengetahuan jika tidak menyelamatkan diri dan orang lain dari situasi kemiskinan dan kemelaratan? Kini si anak bungsu melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidupnya, suka atau tidak suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H