PADAKU
Padaku Paduka berseru, "Marilah mati!"
Pada Paduka 'ku menyahut, "Tinggallah di sini!"
Pada padang sunyi, sepi.Â
Jakarta, 20 Maret 2022
Sekarang saya akan memberikan semacam "zarah" atas puisi saya sendiri. Kata "Paduka" mewakili Tuhan yang pengasih terhadap manusia. Kasih itu sungguh besar  sehingga Putera-Nya sendiri rela menyerahkan diri secara bebas untuk menjadi korban agar manusia selamat.Â
Seruan "Marilah mati" merupakan ajakan untuk ikut dalam arus kasih yang sama. Kehendak Tuhan menjadi lebih besar daripada keinginan diri untuk tetap "hidup" bagi diri sendiri. "Mati" merupakan simbol untuk kepenuhan, kesempurnaan, dan terselesaikannya suatu tugas.Â
Tanggapan atas seruan Paduka mewakili permenungan saya tentang kehadiran Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari. Kesempurnaan itu ibarat tepukan tangan: memerlukan pemberian diri yang ikhlas di satu sisi dan kerinduan yang besar akan Kasih Tuhan di sisi lain. Tanggapan itu diberikan setiap saat hingga akhir hidup.Â
"Padang sunyi, sepi" merupakan latar yang mendua. Di satu sisi, jalan memikul salib tidak sepopuler upaya melarikan diri dari tanggung jawab, kenyataan hidup, dan panggilan Tuhan. Namun di sisi lain, jalan ini selalu terbuka seluas padang dan menanti setiap orang untuk lewat.Â
Seringkali Tuhan dianggap tidak peduli karena tetap diam di tengah penderitaan manusia. Percayalah, kesepian ini merupakan bagian yang menjadi milik setiap orang, termasuk Tuhan sendiri. Kesunyian batin bersama Tuhan membebaskan kita dari kesepian dan keputusasaan yang mematikan jiwa.Â
Semoga puisi ini membantu umat beriman untuk merenungkan Kasih Tuhan.