Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harun: Imam yang Setia

16 November 2019   10:10 Diperbarui: 16 November 2019   10:20 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kisah Harun dapat ditemukan mulai dari Kel 4:14 hingga kematiannya di gunung Hor (Bil 20:28). Harun adalah abangnya Musa. Secara garis besar, ciri corak yang melekat pada dirinya dapat dijabarkan sebagai berikut: ia pandai bicara (Kel 4:14); ditentukan untuk menolong Musa (Kel 4:16); menghadap Firaun bersama-sama dengan Musa (Kel 5:1; 8:25); menopang tangan Musa (Kel 17:12); dikhususkan untuk memegang jabatan Imam (Kel 28:1); membuat anak lembu emas (Kel 32); ditahbiskan menadi imam (Kel 40:12-16), tongkatnya berbunga (Bil 17); tidak diperkenankan masuk ke tanah Kanaan (Bil 20:2-13)[1]. 

 Selain Taurat, nama Harun muncul pula dalam Mzm 105:26; Kis 7:40; dan Ibr 5:4. Insiden di kaki gunung Sinai sedikit banyak merusak citra Harun. Namun dalam refleksi Santo Lukas, Harun berada dalam posisi terdesak pada waktu itu. Tidak ada inisiatif dari dirinya sendiri untuk membuat anak lembu emas.

Dalam tulisan ini, saya akan mengikuti kisah Harun menggunakan pendekatan naratif dan karakterisasi. Sebagian besar isi tulisan ini diambil dari novel Francine Rivers yang berjudul The Priest. Kisah Harun bersama Musa dan bangsa Israel menyimpan arti yang mendalam tentang arti persaudaraan dan kesetiaan.

Teringat masa kecil

Ceritanya bermula pada suatu siang. Harun yang sudah berusia lanjut sedang berjibaku dengan pekerjaannya sebagai budak. Ia membuat adonan batu bata, mengangkutnya, kemudian mengambil jerami. Di tengah terik udara Mesir, ia mendengar suara: "Harun, pergilah ke padang gurun dan temuilah Musa." 

Saat suara itu menghilang, Harun kembali sadar terhadap keadaan di sekitarnya: orang-orang sibuk mengaduk lumpur; meminta batang jerami; suara pasir tanda langkah kaki; hingga ia menerima satu cambukan. Ia terjatuh tetapi tidak mati.

Setelah itu ia mengingat masa kecilnya. Musa hampir saja hilang dari ingatannya, kalau saja tidak ada kejadian barusan. Ia mengingat saudaranya yang sangat ia benci. Alasannya sederhana. Musa selalu mendapat perhatian istimewa sejak ibunya menjadi inang penyusu di rumah Puteri Firaun. Harun kecil merasa diabaikan. Ia terus berada di bawah pengawasan Miriam, yang menjaganya seperti singa betina menjaga anaknya.

Hal pertama yang diingat Harun tentang Musa adalah ketika ibunya menangis. "Firaun memerintahkan kita agar memberikan anak-anak laki-laki kita kepada Sungai Nil, Amram.[2] Dan kita akan melaksanakannya. Semoga Tuhan berbelas kasih." Harun dan Musa berjarak usia kira-kira tiga tahun.

Harun sangat cemburu pada kasih ibunya terhadap adiknya. Suatu ketika Harun mengendap-endap menuju rumah Puteri Firaun. Ia melihat ibunya menimang-nimang Musa di pangkuannya. Leher Musa dicium. Harun yang melihat hal itu merasa sangat kesepian. Lalu Miriam datang, memeluknya, dan mengajaknya pulang. 

Pada usia enam tahun, Harun sekali lagi melihat ibunya menangis. Tetapi kali ini tangisnya amat pedih. Ibunya merasakan betapa Puteri Firaun amat mencintai Musa. "Ia akan menjadi seorang pemimpin hebat suatu saat nanti. Ia akan dididik dengan baik di istana Firaun. Ibu berharap Musa akan kembali suatu saat nanti." Harun mengharapkan yang sebaliknya. Musa lebih baik tidak pernah pulang sama sekali.

Harun amat membenci Musa karena Musa mengambil paksa perhatian ibunya. Benih kebencian itu tumbuh besar dan keluar dalam rupa kata-kata yang pedas. "Mengapa ibu tidak tinggal saja dengan Musa di istana Firaun kalau ibu memang amat mencintai dia?" Setelah kata itu terucap, Harun kabur dari rumah dan menjadi seorang budak. Sementara Musa tumbuh di lingkungan istana.

Perbedaan kedua bersaudara ini seperti bumi dan langit. Harun berkawan akrab dengan terik mentari, roti kering yang tipis, pakaian usang, dan perbudakan. Sementara Musa dimanja dengan santapan lezat, koridor istana yang sejuk, dan kebebasan. Harun sadar bahwa ia terlahir sebagai budak dan akan mati sebagai budak. Kecuali jika Allah membebaskan mereka.

Musa yang datang dan pergi

Harun tidak lagi melihat Musa selama bertahun-tahun hingga suatu siang tatkala Musa berdiri di depan pintu rumah mereka di Goshen. Musa kembali ke rumahnya dan ingin tinggal di sana. Harun merasakan suatu keanehan. Sebagai orang merdeka, Musa bisa datang dan pergi kapan saja. Tetapi Musa berusaha meyakinkan sekaligus mengusir rasa benci menahun di hati abangnya. Musa berkata bahwa ia akan menjadi pemimpin orang Israel. 

Pertanyaan lain menggantung di pikiran Harun. Jika Musa ingin memimpin orang Israel keluar dari perbudakan, mengapa ia tidak menggunakan jalur diplomasi dalam istana Firaun? Bukankah ia bisa berbicara atas nama orang Ibrani?  Jangan-jangan Musa datang untuk memata-matai mereka. Keraguan Harun ini sirna ketika ia akan melihat dari kejauhan: Musa membunuh seorang Mesir.

Bagaimanapun juga, Musa masih memiliki darah dan temperamen suku Lewi. Keesokan harinya Musa melihat dua orang Israel ribut. Ia mencoba menengahi perkara itu, tetapi orang-orang itu tidak ingin agar Musa menjadi pemimpin mereka. "Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku sama seperti engkau membunuh orang Mesir itu?" Bagi orang Israel, Musa itu suatu enigma, teka-teki yang tidak dapat dipercaya.

Puteri Firaun tidak bisa berbuat banyak kali ini. Ia sudah mengangkat Musa dari air. Tetapi Musa telah menjadi buronan di mata Firaun dan ditolak oleh bangsanya sendiri. Dengan kata lain, Musa mengalami suatu kondisi alienasi total.

Musa lari ke padang gurun membawa takdir bangsa Israel bersamanya. Ia menikahi seorang wanita Kush dan melahirkan baginya Gersom. Sementara Harun dan bangsa Israel menanti di Mesir. Mereka berteriak memohon kepada Allah Abraham Ishak, dan Yakub.

Harun menikahi seorang wanita bernama Elisheba, seorang wanita dari suku Yehuda. Ia memiliki empat orang anak yaitu Nadab, Abihu, Eleazar, dan Itamar. Ketika Harun berumur 83 tahun dan harapannya hampir pupus, anaknya Eleazar datang dan berkata, "Tuhan berbicara kepadaku." Ketika itu pula Harun kehabisan kata-kata. Ia sadar bahwa doanya didengar. Hidupnya tidak akan sama lagi.

 Bersua di padang gurun

Harun berdebat dengan keempat anaknya. Ia yakin bahwa Musa masih hidup. Sementara mereka tidak. Kendati demikian, Harun tetap percaya bahwa Tuhan itu ada dan berbicara. Ia pergi menemui Musa di padang gurun. Perjalanan ini terasa sangat sulit. Harun kehabisan air dan roti. Di saat itu pulalah Musa datang dan menemuinya. Keduanya sama-sama diutus Tuhan kepada satu sama lain.

Harun menemui Ziporah, isteri Musa. Juga kedua anak musa, Gersom dan Eliezer (artinya "Tuhan adalah pertolonganku"). Dalam pertemuan itulah, Musa menceritakan perjumpaannya dengan Allah orang Israel dalam peristiwa semak yang terbakar. Inilah momen yang mengubah paradigma Harun terhadap Musa. Harun yakin bahwa Allah mengutus Musa untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.

Musa mengungkapkan ketakutannya untuk menghadap Firaun. Ia meminta Harun untuk menjadi juru bicara dan menyertainya. Pada awalnya Harun ragu-ragu, akankah kata-katanya -- yang tidak lebih dari embusan angin -- akan didengarkan oleh Firaun. Tetapi kini ia tahu, bahwa bukan kata-katanya sendiri, melainkan Firman Allah Abraham, Ishak, dan Yakublah yang akan keluar dari bibirnya.

Saat fajar menyingsing, kedua bersaudara itu berangkat ke utara, ke Mesir. Harun menerima Musa, Zipora, Gersom, dan Eliezer di rumahnya. Miriam ikut menyambut kepulangan Musa. Kini ia percaya bahwa Musa ditarik dari air untuk suatu tujuan yang besar.

Orang Israel tidak begitu saja mempercayai Musa, mengingat stigma "asing" yang melekat padanya. Musa dianggap terlalu "Mesir", bahkan diolok sebagai "Midian". Tetapi mereka berubah pikiran setelah Musa membuat tanda-tanda mukjizat di depan mata mereka. Tanda-tanda itu adalah tanda yang telah diterima Musa di gunung Horeb. Harun berseru, "Terpujilah Allah yang telah mendengarkan permohonan orang yang tertindas! Terpujilah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub." Seruan itu diikuti pekik dan sujud tua-tua Israel kepada Allah. Akan tetapi ketika mereka semua diminta untuk ikut menghadap Firaun, tidak satupun bersedia. Yang tersisa hanyalah Musa dan Harun.

Di hadapan Firaun Raamses

Harun merasa sangat kecil di tengah kota Thebe. Seumur hidup, ia tidak pernah keluar dari Goshen. Siapa yang dapat menjamin bahwa ia akan tahan berdiri di hadapan Firaun Raamses yang dikenal lebih kejam dari para pendahulunya?

Kemudian Harun berdoa dalam hati, "Ya Allah, berilah aku keteguhan hati. Engkau telah menetapkan aku menjadi juru bicara Musa, tetapi yang ku hadapi saat ini adalah seorang musuh yang kaya dan tinggal dalam kemegahannya. Hambamu merasa bahwa aku dan saudaraku ini tidak lebih dari dua ekor belalang yang akan mendarat di depan istana Firaun. Ia sewaktu-waktu bisa menginjak kami dengan telapak kakinya. Kuatkanlah aku, agar aku dapat meneguhkan hati adikku."

Harun takjub saat berhadapan dengan Firaun yang duduk di takhtanya, diapit oleh dua patung besar, Osiris dan Isis. Musa mati kutu saat ditanya oleh seorang pengawal, "Apa maksud kedatanganmu di hadapan Firaun?". Harun maju dan berkata, "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Biarkanlah umatKu pergi untuk mengadakan perayaan bagiKu di padang gurun."[3]

Firaun tertawa. Para pelayannya mengikuti. Ia menertawakan kedua budak Ibrani yang berani berdiri di hadapannya. Ia tidak percaya kepada Allah yang mengutus mereka. Toh ia juga yakin bahwa dirinya adalah dewa. Mereka berdua menjadi sasaran olok-olokan. Musa tetap tertunduk saat mereka meninggalkan istana. Harun merasa kecewa. Ia pikir Firaun akan mendengarkan.

Pasca pertemuan dengan Firaun, perlakuan terhadap budak Ibrani semakin memburuk. Mereka harus menggunakan persediaan jerami milik mereka sendiri untuk membuat batu bata yang akan digunakan oleh orang Mesir. Bangsa Israel mulai bersungut-sungut kepada Musa dan Harun.

 Miriam yang sakit hati

Harun pernah terlibat pertengkaran sengit dengan kakak perempuannya, Miriam. Kejadian itu bermula ketika Miram menolak Zippora secara halus. Ia menganggap bahwa Zippora itu orang asing yang tidak pantas menjadi isteri Musa. Ia tidak sudi menjadi kakak ipar dari seorang perempuan Midian.

Harun marah dan menyinggung hal yang sangat sensitif, yaitu kenyataan bahwa Miriam tidak memiliki suami dan anak-anak untuk diurus. Merah matanya, Miriam mengungkit masa lalu. "Siapa yang berbicara kepada puteri Firaun untuk memberikan adik kita kepada ibu untuk disusui? Siapa yang mengasuh anak-anakmu saat isterimu, Elisheba, meninggal? Supaya engkau tahu, bahwa aku adalah anak sulung dari Amram dan Yokhebed[4], ibu kita! Dan jangan lupa, aku yang mengasuhmu saat ibu tidak ada di rumah!"

Musa mengambil jalan keluar yang terbaik. Ia mengirim pulang isteri dan anak-anaknya kepada Yitro, mertuanya di Midian. Harun tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah hal itu. Ia sadar Miriam dan anak-anaknya akan tetap tinggal di Mesir sebagai budak, kecuali jika Allah membebaskan mereka.

 Keluar dari Mesir.

Tradisi tentang kesepuluh tulah itu beragam. Ada banyak kisah tentang perbuatan ajaib yang dilakukan Allah dengan perantaraan Musa di tanah Mesir. Tidak ada gunanya berusaha menjelaskan tanda-tanda mujizat itu berdasarkan ilmu pengetahuan atau ilmu-ilmu lain.

Hal ini tidak berarti bahwa kisah-kisah itu tertutup dalam dirinya sendiri. Cerita-cerita itu memanfaatkan gejala-gejala alam yang terjadi di negeri Mesir (air sungai Nil yang menjadi merah/darah, katak, gelap gulita akibat angin dari padang pasir), tetapi tidak terjadi di Palestina. Ada juga gejala-gejala alam (belalang) yang terjadi baik di Palestina maupun di Mesir. Selain itu, ada gejala-gejala (hujan es) yang terjadi di Palestina, tetapi jarang sekali terjadi di Mesir.

Maksud dari tanda-tanda itu yang sebenarnya adalah menyatakan kepada orang Israel dan kepada Firaun kekuasaan Tuhan. Seluruh kisah tentang sembilan tulah itu berakhir dengan memberitahukan bahwa Firaun secara mutlak menolak memberi izin kepada orang Israel untuk berangkat. Musa tidak lagi akan menghadapinya. (Kel 10:28-29). Terpaksa, orang Israel diam-diam melarikan diri. Lalu kisah dilanjutkan dengan cerita tentang orang Israel yang dikejar orang Mesir dan secara ajaib menyeberangi Laut Teberau (Keluaran 14). Inilah tradisi mengenai keluaran berupa pelarian.

Harun yang tetap setia.

Di tengah bangsa yang hanya bisa bersungut-sungut, Harun boleh dikatakan sebagai pribadi yang tetap percaya kepada Musa. Ia dan Hur dipercaya oleh Musa untuk menjaga bangsa Israel selama Musa mendaki ke gunung Sinai untuk berbicara dengan Allah. Anak lembu emas yang dibuat di kaki gunung itu, seperti sudah dijelaskan di awal tulisan ini, adalah hasil desakan Miriam dan orang-orang Israel. Harun membuat anak lembu tuangan itu supaya orang Israel melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa ada perbedaan yang amat nyata antara Allah yang hidup dan tidak kelihatan dengan allah buatan tangan manusia.

Musa yang melihat insiden ini mengambil langkah cepat. Ia menyuruh membunuh siapa saja yang mencoba memberontak terhadap perintah Allah yang telah diberikan di kaki gunung Sinai. Harun amat merasa bersalah. Ia menyalahkan dirinya yang tidak mampu menjaga orang Israel selama Musa pergi. Ia meminta maaf kepada Musa. Musa berkata, "Kita semua pernah gagal, saudaraku". Musa memanggilnya saudaraku.

Di padang gurun, dalam pimpinan Musa, bangsa Israel berjalan dalam penyertaan Tuhan yang hadir sebagai tiang api dan awan. Pada suatu kali Korah menanyakan mengapa Harun tidak membujuk Musa agar mengambil jalan yang paling dekat menuju tanah Kanaan. Bangsa Filistin yang ada di sana pasti takut dan membiarkan orang Israel lewat.

Tetapi Harun menjawab, "Allah berbicara kepada Musa, bukan kepadaku. Kita akan mengikuti jalan yang ditunjukkan-Nya, kemanapun itu." Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, ketika Miriam kena kusta. Mereka berdua mengira bahwa mereka berhak menjadi nabiah dan nabi yang setara dengan Musa. Tetapi Musa telah dinyatakan oleh Allah sebagai nabi utama bangsa Israel. Dialah satu-satunya orang dalam Perjanjian Lama yang amat akrab dengan Allah, bahkan bercakap-cakap bagaikan dua orang sahabat.

Korah, Dathan, dan Abiram berasal dari suku Lewi. Mereka mengira bahwa mereka juga memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan Musa (sebagai pemimpin) dan Harun sebagai imam agung bangsa Israel. Mereka membawa korban bakaran untuk memastikan siapa yang berkenan di hadapan Tuhan: mereka atau Harun. Mereka bertiga mati ditelan bumi. Juga api Tuhan datang dan melahap habis mereka sehingga tubuh mereka hangus beserta dengan korban yang mereka bawa.

Peristiwa ini tidak menyurutkan kesangsian bangsa Israel terhadap Musa dan Harun. Mereka ingin memastikan suku mana yang berhak memberikan persembahan kepada Allah. Maka setiap pemimpin suku diperintahkan oleh Musa untuk membawa tongkat yang bertuliskan nama mereka. Pada tongkat suku Lewi tertera: "HARUN".

Keesokan harinya, semua orang terperanjat kaget. Tidak ada tongkat selain tongkat Harun yang berbunga, bahkan berbuah almond. Peristiwa ini mengakhiri kontroversi tentang jabatan imam agung. Tongkat Harun ditempatkan di depan Tabut Perjanjian sebagai tanda bagi mereka yang ingin memberontak. Hal ini diharapkan mengurangi sungut-sungut dan musibah di tengah bangsa Israel. Harun dan suku Lewi ditetapkan oleh Allah menjadi penanggung jawab upacara peribadatan di Kemah Suci. Harun dan keturunannya memegang jabatan imam.

Perpisahan

38 tahun telah berlalu sejak orang Israel bertolak dari Kadesh-Barnea hingga menyeberangi lembah Zered. Semua orang dari generasi pertama yang memberontak terhadap Allah telah lenyap dari tengah orang Israel. Kini tinggal Musa, Harun, dan Miriam. Hur telah lenyap bersama dengan Korah.

Miriam meninggal di tengah perjalanan di padang gurun. Musa dan Harun tidak sampai menginjakkan kaki di tanah terjanji. Harun mendaki ke atas gunung Hor. Di sampingnya berdiri Musa dan anak sulungnya, Eleazar. Percakapan kedua kakak beradik itu sungguh mengharukan.

Harun berkata, "Saudaraku, sebenarnya aku menyesal tidak cukup kuat untuk mendampingimu memimpin bangsa ini."

Musa menjawab, "Allah melihat semua kesalahan kita. Ia melihat kegagalan dan kerapuhan kita. Tetapi, apa yang penting bagi-Nya adalah iman kita. Kita berdua pernah jatuh. Tetapi Allah mengangkat kita dengan tangan-Nya yang perkasa dan tetap tinggal bersama dengan kita." Di atas sana, Harun menyerahkan jabatan imam kepada putera sulungnya, Eleazar. Di sana pula ia melihat Sahabat Musa, yang menyertai orang Israel di padang gurun. Allah memanggil Harun untuk terakhir kali. Dengan tarikan nafas panjang dan dalam, Harun menjawab panggilan itu. "Ya, Tuhan. Ya."

 CATATAN KAKI

[1] Konkordansi Alkitab

[2] Ayah Musa

[3] Kel 5: 1

[4] Amram and Yokhebed (Kel 6:19)

DAFTAR PUSTAKA

 Lembaga Biblika Indonesia. Kitab Suci Katolik. Ende: Arnoldus, 2011

 Rivers, Francine. The Priest. Illinois: Tyndale House, 2004.

 Walker, D.F. Konkordansi Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, 1978

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun