Mohon tunggu...
PKPA Indonesia
PKPA Indonesia Mohon Tunggu... -

PKPA Indonesia adalah lembaga independen yang konsern terhadap perlindungan anak.\r\n\r\nsite: www.pkpaindonesia.org

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukuman Mati terhadap YT & Identitas Anak

23 Maret 2015   10:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi (http://lintasterkininews.com)

Kontrovesi Usia YT

Beberapa minggu terakhir kita digemparkan oleh pemberitaan di media massa tentang adanya vonis hukuman mati terhadap tiga orang yang di vonis bersalah karena telah melakukan pembunhan berencana oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Kegembaran berita ini bukan saja karena vonis hukuman mati yang sedang menjadi perdebatan saat ini karena bersamaan dengan kontroversi hukuman mati terhadap beberapa orang yang terlibat dalam kasus Narkoba serta kasus “Bali Nine”. Tetapi issu hukuman mati terhadap tiga orang dari kepulauan Nias ini karena salah seorang diantara diduga masih usia anak, yang seharusnya tidak dapat dikenai hukuman mati. Ketika berita ini muncul di media cetak, media elektronik, media online termasuk sosial media, kami sangat terkejut. Keterkejutan kami karena posisi Yayasan PKPA ada di kepulauan Nias tepatnya di Kota Gunungsitoli. Selama delapan tahun terakhir Yayasan PKPA mendampingi hampir semua kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum, dan selalu mendapatkan informasi jika ada kasus anak yang dilaporkan ke Kepolisian Resort Nias maupun Resort Nias Selatan. Namun untuk proses hukum YT yang diduga anak, PKPA tidak mendapatkan informasi apapun.

Setelah mendapatkan informasi dari media massa tentang kasus ini, tim advokasi PKPA nias mencoba untuk mengklarifikasi ke penyidik di unit PPA Polres Nias. Dari klarifikasi ini akhirnya kami mendapat penjelasan bahwa pihak kepolisian berkesimpulan bahwa YT sudah dewasa karena usianya sudah lebih dari 18 tahun, sehingga kepolisian tidak meminta keterlibatan PKPA untuk kebutuhan pendampingan, seperti biasanya jika ada anak yang berhadapan denganhukum. Kesimpulan tentang usia YT oleh pihak penyidik didasarkan pada “pengakuan” dari YT karena tidak adanya bukti otentik yang dapat dijadikan rujukan tentang data diri YT yang sebenarnya. Seperti yang disampaikan oleh Kontras kepada media, majelis hakim PN Gunungstoli sebenarnya telah menanyakan usia YT adalam proses persidangan, dan YT menyampaikan kepada majelis hakim bahwa usianya 16 tahun, tetapi hakim tetap berpedoman pada berkas yang dibuat oleh penyidik bahwa usianya 19 tahun.

Untuk membuktikan kebenaran informasi tentang YT apakah masih usia anak atau dewasa, PKPA melakukan penelusuran mendalam, mencari bukti otentik (dokumen pendukung) dan informasi dari orang-orang yang dapat menjelaskan identitas dan data diri YT. Karena orangtua kandung YT sendiri posisinya tidak berada di kepulauan Nias karena sejak tahun 2012 paska terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut kedua orangtua YT dan 3 (tiga) orang saudara kandung YT tidak pernah kembali lagi ke Nias dan tinggal di sebuah perkebunan yang berlokasi di Rokan Hulu, Provinsi Riau. Untuk mendapatkan keterangan yang valid, PKPAmenelusuri dua daerah yang pernah menjadi tempat tinggal YT.Lokasi pertama adalah Desa Gunung Tua, Kecamatan Tugalaoyo, Kabupaten Nias Utara.Di wilayah ini PKPA bertemu dengan Sekretaris Camat Kec. Tugalaoyo, kakak kandung YT (Istri dari salah soerang tersangka pembunuhan yang masih DPO), dan menemui beberapa masyarakat sekitar tempat tinggal kakak YT. Lokasi kedua yang menjadi fokus penelusuran tim PKPA adalah desa Hilionozega, Kecamatan Idanogawo, Kabupaten Nias. Desa ini adalah tempat tinggal YT dan keluargannya, sebelum pindah ke Riau.Dilokasi tim PKPA menemui kepala desa, warga yang mengenal YT dan Keluarganya, juga seorang guru sekolah dasar (SD) dimana adik YT pernah sekolah sampai kelas V SD pada tahun 2011-2012.

Penelusuruan di kedua lokasi ini tim PKPA tidak menemukan dokumen otentik tentang identitas YT, tetapi tim PKPA mendapatkan beberapa dokumen dan penjelasan para pihak yang dapat menjelaskan tentang status dan identitas YT. Beberapa penjelasan tersebut antara lain seorang anak perempuan yang seusia YT bernama WA yang saat ini masih sekolah di SMK. Saat usia mereka kira-kira satu tahun, YT dan WA sama-sama “dipermandikan” digereja yang sama, namun gereja tersebut tidak ada lagi.PKPA juga medapatkan data/dokumen yang menjelaskan Tahun kelahiran adik YT yang tersimpan di sekolah dasar Mondrali. Berdasarkan informasi-informasi yang dikumpulkan ini diduga kuat usia YT saat ini sekitar 19 tahun, dan jika dilihat tahun peristiwa pembunuhan tahun 2012 maka saat itu usia YT masih 17 tahun, yang artinya YT masih usia anak, patut di duga YT kelahiran tahun 1996, sama dengan bukti baptis yang dibuat di Nusakambangan dan juga informasi data yang tercantum di kartu keluarga yang saat ini dimiliki oleh orangtua YT di Riau. Beberapa pihak diketahui saat ini terus melakukan investigasi untuk memastikan identitas YT, karena menurut informasi orangtuanya, YTjuga memiliki nama yang berbeda dengan nama waktu kecil dan beberapa nama panggilan.

Negara Merampas Hak-hak YT sebagai Anak.

YT di vonis hukuman mati,bagi orang dewasa vonis hukuman mati memang masih kontroversi karena melanggar hak asasi manusia (HAM) yakni hak hidup seseorang yang harusnya di dilindungi oleh negara. Tetapi hukum positif di Indonesia masih menerapkan adanya hukuman mati, sehingga vonis hukuman mati menjadi kontroversi. Tetapi tidak akan kontroversi bagi anak, karena Indonesia tidak menerapakan hukuman mati terhadap anak. Bahkan jika seseorang ketika melakukan tidak pidana usianya masih dibawah delapan 18 tahun (masih anak) dan ketika proses persidangan usianya telah melebihi 18 tahun (dewasa) tetapi belum mencapai 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak. hukuman yang dapat diterapkan bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana tidak melanggar harkat dan martabat seorang orang yang diakui didalam instrumen Konvensi Hak Anak. Undang-undang tentang Pengadilan Anak nomor 3 tahun 1997 dan telah diperbaharui dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2014, tindakan hukuman yang dapat diberikan kepada anak berupa: pidana peringatan, pembinaan diluar lembaga, pembinaan didalam lembaga, dan pelayanan masyarakat.

Dari hasil investigasi tim PKPA dengan temuan beberapa referensi pendukung tentang identitas YT dan dikaitkan dengan hukum positif maka sangat jelas bahwa hak-hak YT telah dirampas oleh negara karena aparat penegak hukum tidak sungguh-sungguh mendalami identitas YT dan sangat disayangkan adanya kesan “memaksakan” usia YT 19 tahun (kelahiran 1993) padahal penyidik juga hanya mendapatkan pengakuan lisan, tetapi diabaikan oleh pengadilan ketika YT menyebutkan usianya 16 tahun (kelahiran 1996) yang juga disampaikan secara lisan. Jikapun ketika proses hukum berjalan YT telah dewasa tetapi saat melakukan tindak pidana usianya masih anak, seharusnya YT juga diajukan ke proses sidang anak. Sangat masuk akal ketika lembaga KONTRAS menduga adanya rekayasa dalam penanganan kasus YT.

Hak Identitas Anak masih terabaikan

Akte kelahiran memang bukan sekedar administrasi negera semata seperti kartu tanda penduduk atau kartu keluarga, tetapi akte kelahiran memiliki makna lebih jauh dari itu.Akte kelahiran yang hanya dapat dikeluarkan oleh negara sekali dalam seumur hidup akan membuktikan banyak hal terkait kelahiran seseorang, identitas seseorang yang harus dipertahankan dari sejak kelahirannya hingga kematiannya.

Di Indonesia, khusunya di Sumatera Utara kepemilikan akte kelahiran memang masih sangat rendah, Diperkirakan lebih dari 50% anak-anak di Indonesia belum memiliki akta kelahiran. Menurut data PUSKAPA-UI tahun 2013 sekitar 50 juta anak Indonesia belum memliki akte kelahiran, termasuk di Sumatera Utara. Di Provinsi Sumatera, khusunya di kepulauan Nias meski sulit mendapatkan data pasti namun dari berbagai survey proyek di pedesaan kepemilikan akte kelahiran hanya berkisar 20-30%. Indonesia sebagai negara yang telah menyatakan komitmennya terhadap pemenuhan hak-hak anak, harusnya bertanggungjawab dan memastikan setiap anak di Indonesia memiliki akte kelahiran. Karena dampak negatif yang ditimbulkan akibat anak tidak memiliki akte kelahiran sangat besar, dan tidak sedikit anak-anak kehilangan hak-hak mendasarnya bahkan kehilangan identitasnya karena ketiadaan akte kelahiran. Dalam siaran pers Jaringan Perlindungan Anak-Sumut akhir tahun 2014 lalu telah disebutkan bahwa salah satu bentuk kedarutan perlindungan anak di Sumatera Utara karena banyaknya anak-anak yang belum memiliki akte kelahiran.

Rekomendasi

1. Terkait dengan kasus YT, negera dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Sosial, dan Kementerian PP-PA segera mengambil langkah-langkah cepat sesuai kewenangan dan tugas masing-masing untuk:


  • Memindahkan YT dari Nusakambangan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak di Tanjung Gusta Medan, dan memastikan adanya pendamping hukum yang tepat untuk YT
  • Melakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli yang telah memvonis mati YT
  • Memeriksa seluruh aparat penegak hukum yang menangani kasus YT mulai dari Kepolisian Polres Nias, JPU di Kejaksaan Negeri Gunungsitoli, dan majelis hakim di pengadilan negeri Gunungsitoli
  • Memberikan pembinaan dan pendampingan terhadap YT

2. Pemerintah, khususnya pemerintahan di provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara harus mengambil langkah-langkah percepatan untuk memastikan setiap anak di Provinsi Sumatera Utara memiliki akte kelahiran, dan lebih jauh membuat sistem yang memudahkan baik dari sisi akses, prosedur, dan biaya gratis untuk pengurusan akte kelahiran

3. Agenda penyelenggaraan perlindungan anak harus dipandang sebagai hal yang terintegrasi dengan kebijakan dan program pembangunan daerah, bukan sekedar proyek dalam jangka pendek dan kepentingan pencitraan politik semata.

Wujudkan kepentingan terbaik anak di Indonesia.

Penulis: Misran Lubis (Direktur Eksekutif PKPA) dan Chairidani Purnamawati,SH. (Koordinator unit Advokasi PKPA-Nias)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun