Mohon tunggu...
Noer Fitriyanti
Noer Fitriyanti Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

fultime housewife

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Menjunjung Tinggi Bahasa Indonesia

30 Agustus 2012   07:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:08 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Indonesia menjadi sangat disanjung, dipertinggi, dihargai, dan dihormati ketika ia ada di daerah terpencil yang menggunakan bukan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi utama di antara masyarakatnya. Posisi bahasa Indonesia di desa seperti posisi bahasa Inggris di kota besar yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Di Jakarta, orang berlomba-lomba menjadi kebarat-baratan dan bersaing untuk dipandang pintar dengan mencampurkan kosakata bahasa Inggris dalam percakapan mereka. Pandangan ini bahkan diwariskan kepada anak-anak mereka.

Bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisku lebih bagus daripada bahasa Madura, baik itu lisan maupun tulisan. Aku sendiri bisa berbahasa Madura untuk berkomunikasi dengan teman sebayaku, tapi tidak dengan orang yang lebih tua. Sayangnya, bapakku tidak mengajarkan bahasa Madura enggi-bunten (bahasa Madura tingkat tinggi). Bahasa Maduraku berkembang karena lingkungan.

Setahun yang lalu aku diminta oleh seorang putri pendiri yayasan Islam di Situbondo – sebuah kota kecil yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura – untuk menjadi salah satu pendidik di Pendidikan Anak Usia Dini yang akan didirikannya di desa Curah Jeru untuk anak-anak masyarakat kurang mampu di sekitarnya. Aku pikir jaman sudah berubah sudah sangat pesat dan anak-anak di desa sudah berbahasa Indonesia dengan lancar karena bapak ibu mereka juga sudah mengenal teknologi alat komunikasi seperti telepon genggam yang mutlak menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Madura. Tapi ternyata dugaanku salah, bahasa ibu mereka lebih melekat dengan lidah mereka. Anak-anak sangat fasih berbahasa Madura. Bahkan aku tak pernah mendengar di antara mereka berbahasa Indonesia, kecuali dengan aku dan teman pengajar lainnya.

Setiap pengajar di desa memang dituntut untuk bisa dua bahasa, Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, dan Madura, sebagai bahasa lokal. Seringkali aku tertawa dalam hati ketika aku bertanya pada anak-anak didikku yang masih berusia 4-5 tahun dan mereka menjawabnya dengan bahasa Madura yang dilogatkan bahasa Indonesia dengan merubah fonem. “Coba ini apa?” tanyaku sambil menunjuk kepala. Mereka menjawab serempak “Kepala!”. “Ini apa?” kataku lagi sambil menunjuk rambut. “Rambut!” jawab mereka kembali dnegan lantang. “Kalau ini?” kataku sambil menunjuk leher salah satu anak didikku. Mereka saling memandang, diam, tidak ada yang menjawab. Tapi salah satu dari mereka berani menjawab keras “Li’ir”. Aku tak bisa menahan tawa dalam hati. Dalam bahasa Madura leher diterjemahkan menjadi le’er untuk tingkat bahasa enje’ iye dan gulu untuk bahasa tenggi. Memang, kadangkala ada kata bahasa Madura yang cukup merubah fonem e menjadi i untuk menjadi bahasa Indonesia seperti kata sape yang berarti sapi dalam bahasa Indonesia. Anak-anak mungkin meniru pola ini sehingga mereka menyebut li’ir untuk leher.

Yang dapat kita petik dari cerita ini adalah bagaimana anak-anak di desa berbahasa Madura sangat mencintai bahasa negerinya, bahasa Indonesia untuk meninggikan derajatnya sebagai Warga Negara Indonesia. Mereka memaksa untuk menggunakan bahasa Indonesia meski belum tahu padanan katanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun