Pusat peradaban selanjutnya, Baghdad dan Damaskus pun, mengikuti jalur aliran sungai. Saya ingin membangun sebuah paradigma baru, jika hari-hari ini peradaban yang pernah lahir di daerah perairan itu hanya menyisakan peninggalan, maka satu-satunya harapan bahwa peradaban selanjutnya lahir di bumi Nusantara.
Bagi saya, Nusantara ditakdirkan untuk menjadi sentra peradaban timur selanjutnya. Meskipun ini hanya sebatas imajinasi karena kita belum memiliki modal sosial berupa tradisi ilmiah.
Minat baca dan menulis kita masih jauh tertinggal dengan negara lain. Berbanding terbalik dengan fakta bahwa kita menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar dunia. Modal peradaban kita sudah miliki, kemudahan berupa akses informasi kita genggam kenapa justru dengan modal itu nampaknya kita justru menempuh jalan mundur?
Menurut saya, generasi kita tidak hidup dalam lingkungan tradisi membaca dan menulis sehingga yang hadir adalah generasi Dilan, yaitu generasi yang terbenam dalam romansa romantisme sekolahan tak sedikitpun bernilai edukatif.
Generasi Dilan adalah representasi pengemban peradaban hari ini, berciri budaya konsumtif. Sekali lagi, takdir berpihak pada kita, namun untuk mewujudkan itu dibutuhkan ramuan yang rumit.
Peradaban Nusantara akan hadir apabila, di setiap rumah terdapat rak-rak buku, di tempat umum berkumpul pemuda yang antusias berdiskusi, menuangkan hasil pikiran melalui tulisan di mana setiap diksi, paragraf mencerminkan pemikiran brilian.
Kerja-Kerja KeabadianÂ
Fitrah dasar manusia adalah ingin terus hidup abadi, diingat dan diagungkan sejarah. Kaisar-kaisar China masa lampau meracik ramuan khusus agar abadi, namun semua itu sia-sia. mereka lupa bahwa kita sama dengan sebatang pohon seperti tunas, kemudian membesar, layu dan mati. Ada saatnya, kita kuat, saatnya nanti kita rapuh tak berdaya.
Apabila manusia itu ingin abadi, maka tuangkan pemikiran anda dalam tulisan. Menulis akan mengukur seberapa jauh kemampuan kita karena ia mewakili semesta khazanah yang dibaca dan pengalaman hidup. Dari karya, orang lain akan belajar perjalanan hidup kita, melalui karya pula, kita selalu ada dalam sejarah.
Tanpa karya, manusia hanya meninggalkan nama. Dengan karya, nama akan menggema sepanjang masa, menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. Kita mengenal Buya Hamka, tak lain karena karya-karyanya yang agung, begitupula kita mengetahui makna perjuangan Pramoedya Ananta Toer, atau Tan Malaka serta tokoh lain.
Nama-nama itu akan terus abadi melintasi generasi, karyanya akan menjadi pegangan hidup, itulah makna perjuangan sesungguhnya.