Siang ini, tanpa sengaja di hotel, bertemu lagi dengan Leslie dari Canada. Sedikit sekali orang dari Amerika Utara yang kini tinggal di Bali, kontras dengan membludaknya orang Rusia yang long stay di Bali, yang kusebut "BaliRuss" : Bali Russian. Ia adalah penghuni kamar hotel sebelahku. Ternyata ia datang untuk mengambil sisa barang karena selama 2 bulan ia akan menrnpati rumah temannya di yang sedang direnovasi.Â
Seperti biasa, pertemuan singkat kami ditandai dengan percakapan inspiratif. Kali ini tentang kantung plastik. Ia menunjukkan sebuah kantung plastik kresek berukuran besar yang ia pungut di jalan. Ia bersihkan lalu ia bawa pulang untuk dipakai.Â
Tak kusangka Leslie, seorang analis keuangan yang bermain saham melalui laptopnya ini adalah seorang "aktivis lingkungan". Ia menjunjung keseimbangan "Economy & Ecology". Tipe ekspatriat "darling" (sadar lingkungan). Kemana-mana di Denpasar ia naik sepeda.Â
Siang ini "menceramahiku" tentang alur kerusakan yang diakibatkan sampah plastik. Sampah plastik di jalanan itu pada musim hujan akan masuk got dan ada yang masuk sungai. Hanyut ke lautan dan mencemarinya. "Lautan sampah" di samudera itu ada yang kemudian mengotori pantai Bali (ada yang mengelak dengan menuduh "sampah dari Pulau Jawa") yang indah, dan sebagian mengendap ke dasar lautan. Menutupi terumbu karang, membuatnya mati sehingga ikan-ikan kehilangan sumber makanan. Di benakku, terbayang video penyu yang terjerat kantung plastik.Â
Leslie menceritakan pengalamannya menyaksikan sendiri pawai upacara keagamaan menuju pantai yang diikuti puluhan orang. Mereka meminum dari botol air mineral dan membuangnya sembarangan. Ketika rombongan itu meninggalkan pantai, terlihat puluhan botol air mineral berserakan di pantai. Baginya ini ironis.Â
Satu kalimatnya yang membuatku tersentak adalah "No one own Bali"... Bali adalah milik kita bersama yang harus dijaga. Pelestarian lingkungan di Bali seharusnya menjadi kepedulian penduduk setempat, wisatawan maupun orang asing yang menetap di Bali.Â
Menurutnya masa pandemi ini seharusnya digunakan pemerintah untuk memikirkan  "Bagaimana menjadikan Bali lebih baik pada saat turis kembali berdatangan". Misalnya dengan lebih baik menanam pohon dan membersihkan lingkungan dari sampah plastik. Sayangnya hal ini kurang dilakukan. Mereka lebih banyak diam dan menunggu, pasif.  Hanya sedikit perbaikan yang dilakukan.Â
Tentang cara mengurangi sampah plastik, Leslie memberikan contoh sosialisasi di negara asalnya. Awalnya pengusaha memberikan discount bagi yang membawa tas sendiri dari rumah. Tapi kurang efektif karena masih banyak yang mengabaikan discount itu. Maka diberlakukan peraturan membayar kantung plastik. Walau hanya 50 sen 1 kantung plastik ternyata secara psikologis pembeli enggan mengeluarkan uang lebih. Mereka membawa kantung dari rumah. Selanjutnya pemerintah sama sekali melarang penggunaan kantung plastik dan masyarakat sudah terbiasa membawa tas belanjaan dari rumah ketika belanja ke supermarket. Peniadaan kantung plastik juga bagus untuk bisnis karena mengurangi biaya produksi dan membuat harga barang menjadi lebih murah. Tapi baginya ini bukan masalah Uang, tapi masalah "Kesadaran" (Consciousness).Â
Ia menyarakankan "Banjar" yang dihormati masyarakat Bali melakukan edukasi kesadaran tentang bahaya sampah plastik ini pada masyarakat. Ia juga menyampaikan harapannya agar orang-orang seperti saya, Penulis, untuk lebih berperan menyadarkan masyarakat tentang hal ini.Â
Setelah berbincang serius tapi santai, saya mengantarnya ke luar hotel dan berfoto bersama dengan Sepeda "Ferrari"-nya. Thanks Leslie atas pencerahannya yang bersamaan dengan "World Cleanup Day"Â (Hari Bersih-bersih Sedunia) yang tahun ini jatuh pada hari Sabtu, 18 September 2021Â