Film "The Science of Fictions" (Hiruk Pikuk Si-Alkisah), Â yang tayang PERDANA di bioskop Indonesia pada hari ini, 10 Desember 2020. Saya tonton di Bassura XXI. Ini adalah film BARU yang saya sambut baik sebagai "moviegoer" (pengunjung setia bioskop) pada saat kini lebih banyak ditayangkan film2 tahun lalu.Â
Yang perlu digarisbawahi, ini adalah "FILM SENI" (Art film / Arthouse film) : film independen yang bertema serius yang biasanya dibuat untuk alasan artistik dibanding mengejar laba komersial dan berisi konten yang sangat simbolis atau tidak biasa. Oleh karenanya film ini TIDAK ditujukan untuk penonton "mainstream" melainkan pada segmen tertentu yang lebih sempit. Hanya karena PANDEMI, dimana terdapat kekosongan pasokan film2 baru, maka film jenis ini dapat diputar di Bioskop jaringan.Â
Film produksi 2019 ini tayang perdana justru di luar negeri dan "berkelana" di festival2 film, dengan memenangkan beberapa penghargaan. Tapi memang film seni sulit memikat penonton mainstream sehingga dapat diprediksi tidak akan lama tayang di bioskop. Ketika menonton tayangan di hari pertama saja, Â studio yang saya tonton hanya terdapat 5 penonton dari 124 kursi, alias kosong melompong. Foto kami di studio menunjukkan hal ini.Â
Film terasa BERJARAK dengan penonton kota masa kini karena :
 1. Setting masa lalu : 1960anÂ
2. Pedesaan  : bersetting di desa Yogya
 3. Pemeran utamanya bisu karena lidahnya putus, tidak berdialogÂ
4. Gerak lambat (slow motion) pemeran utamanya yang mempengaruhi alur lambat film berdurasi  lebih dari 1,5 jam ini.Â
5. Penggambaran Hitam-putih B/W sampai 45 menit pertama.Â
Bagi saya yang paham sejarah Indonesia, cukup terbantu mereka-reka setting waktu dengan beberapa peristiwa historis seperti pendaratan manusia di bulan dalam misi Apollo pada 1969, peristiwa G30S 1965 dan pembantaian simpatisan komunis 1966 (ada indikasi film ini cenderung "kiri" secara ideologis).Â