"Satu-satunya pelajaran yang bisa diambil dari sejarah adalah kita TIDAK PERNAH belajar dari sejarah".
Kalimat ironis ini dinyatakan oleh George Bernard Shaw, seorang sastrawan Irlandia pada abad ke-19 yang terlenal dengan kemampuannya memprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang.Â
Statemen ini sungguh tamparan keras bagi para sejarawan dan guru sejarah yang menjunjung adagium (pepatah) Latin  dari Cicero sang filsuf Romawi kuno "Historia vitae magistra" (Sejarah adalah Guru kehidupan).Â
Kontradiksi kedua kalimat ini menjadi relevan dengan kasus hebohnya rencana Kemdikbud untuk menghapusan Sejarah sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum 2020. Banyak yang menolak rencana ini, termasuk yang telah menandatangani petisi untuk menolaknya.Â
Terhadap masalah ini, Penulis berusaha untuk bersikap obyektif. Walaupun lulusan S1 jurusan sejarah dan hobi  belajar sejarah, Penulis berusaha menangkap "jiwa zaman" (zeitgeist) sehingga alih-alih membabibuta "membela pelajaran sejarah", lebih memilih untuk bersikap kritis. Mengingat latar belakang keilmuan Penulis, artikel ini bisa dikatakan "tulisan Introspektif" atau  tinjauan Oto-kritik... Harus digarisbawahi bahwa pokok masalah yang dibahas adalah "Pelajaran Sejarah" pada saat ini, bukan Sejarah itu sendiri.
3 KRITIK ATAS PELAJARAN SEJARAH
Ada 3 kritik keras pada pelajaran Sejarah di tanah air :Â
1) Membosankan, kesannya hanya menghafal nama, peristiwa dan tahun.. yang dianggap menghabiskan memori otak siswa untuk sesuatu yang kurang penting. Sudah materi pengajarannya "kering" seringkali diajarkan secara "monoton" oleh guru.Â
Sudah jarang ada guru yang mampu mengisahkan sejarah dengan cara "story telling" yang memikat... seperti mr. Keating dalam film "Dead Poet Society"...Â
Ini membuat pelajaran sejarah "diblacklist" oleh banyak siswa... dianggap buang-buang waktu, atau  dalam bahasa gaul anak sekarang : "unfaedah"