(Telaah Kritis Terhadap Perpres Nomor 3 Tahun 2018)
Baru-baru ini Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah. Peraturan Presiden yang baru disahkan pada tanggal 2 Februari 2018 ini, merupakan amanah dari Pasal 214 ayat 5 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Satu sisi keluarnya Peraturan Presiden ini perlu diapresiasi karena mengakomodasi permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah terhadap posisi jabatan yang sangat strategis di birokrasi pemerintah daerah, namun disisi lain Perpres ini cukup terlambat karena bila merujuk pada Pasal 410 UU No. 23 Tahun 2014 diamanahkan bahwa segala peraturan turunan dari UU tersebut harus ditetapkan paling lama 2 tahun sejak UU tersebut disahkan, artinya ada keterlambatan 2 tahun dalam penetapan Peraturan Presiden tentang Penjabat Sekretaris Daerah ini.
Melihat sisi substantif dari Perpres ini, sebenarnya Perpres ini tidak cukup menjawab kegelisahan daerah dalam mengatasi permasalahan yang ada utamanya di dalam birokrasi. Keberadaan Penjabat Sekda sebenarnya sama halnya dengan keberadaan Pelaksana Tugas (Plt) di masa lalu. Yang membedakan adalah lebih pada kewenangan seorang Penjabat yang lebih luas dibandingkan dengan seorang Pelaksana Tugas (Plt).Â
Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Otonomi Daerah berargumen bahwa Perpres Nomor 3 Tahun 2018 akan memperjelas dan memperkuat posisi Penjabat Sekretaris Daerah, alih-alih memperluas kewenangan Penjabat Sekda, Perpres ini justru hanya memuat hal-hal yang bersifat business as usualseperti ketika kekosongan Sekda definitif diisi oleh Plt, tata cara pengisian penjabat Sekda sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan prosedur pengisian Sekda oleh Plt.
Peran strategis Sekda yang merupakan pejabat pembina kepegawaian dan ketua tim anggaran di daerah menjadikan jabatan Sekda sebagai sentral birokrasi di pemerintah daerah. Begitu strategisnya jabatan Sekda, maka formula yang mengatur keberadaan Sekda-pun mestinya dibuat secara komprehensif.
Pilihan sistem pembagian kewenangan urusan pemerintahan di Republik ini yang berazaskan Desentralisasi dan Otonomi Daerah membuka ruang yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dalam mengatur dan mengelola rumah tangganya masing-masing dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karenanya, peran Sekretariat Daerah sebagai supporting systemdalam mewujudkan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah menjadi sangat penting dan krusial mengingat seluruh kebijakan dan teknis operasional penyelenggaraan pemerintahan akan bermuara di Sekretariat Daerah.
Parsialnya Perpres tentang Penjabat Sekda yang keluar ditengah geliat pilkada serentak tahun 2018 ini, jangan sampai hanya bernuansa politis semata yang memfasilitasi beberapa Sekda Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk ikut bertarung dalam pilkada serentak tahun 2018 ini, mengingat ada beberapa Sekda yang mencalonkan diri dalam pilkada 2018 seperti Sekda Provinsi Kalimantan Timur dan Sekda Provinsi Lampung serta relatif banyak Sekda ditingkat Kabupaten/Kota.
Satu hal yang juga perlu diingat adalah bahwa jabatan Sekda merupakan jabatan karier ASN bukan seperti jabatan Kepala Daerah yang merupakan jabatan politis. Sehingga penunjukan penjabat Sekda hendaknya mempertimbangkan aspek pola karier ASN bukan pada aspek politis ketika adanya momentum pilkada.
Beberapa poin yang bisa dikritisi dari Perpres Nomor 3 tahun 2018 ini, antara lain:
- Penjabat Sekretaris Daerah dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis meskipun Sekretaris Daerah definitif masih menjabat atau jabatan dimaksud dalam keadaan kosong. Seorang penjabat (Pj) memiliki tugas dan kewenangan yang lebih besar daripada seorang Pelaksana Harian (Plh) ataupun Pelaksana Tugas (Plt) padahal ketiganya bukan merupakan pejabat definitif, hal ini dikhawatirkan akan terjadi abuse of poweroleh penjabat Sekda. Penyalahgunaan kewenangan yang melekat pada seorang penjabat Sekda dimungkinkan dapat dilakukan mengingat intervensi Kepala Daerah yang kuat terhadap penjabat Sekda, lain halnya jika posisi Sekda dijabat oleh pejabat definitif yang diangkat melalui proses seleksi terbuka (open bidding) sesuai UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN maka independensi Sekda definitif tersebut lebih terjaga, begitupula bila dijabat oleh seorang Plt. Sekda yang tugas dan kewenangannya lebih terbatas.
- Perpres Nomor 3 Tahun 2018 hanya mengatur tentang proses dan mekanisme penunjukan Penjabat Sekda. Hal yang lebih substantif terkait dengan tugas dan kewenangan yang bisa dilaksanakan oleh Penjabat Sekda sama sekali tidak disinggung dalam Perpres ini, parsialnya substansi dari Perpres ini sebenarnya tidak sinkron dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengamanahkan pengaturan lebih lanjut yang dapat menguatkan dan memperjelas posisi dan kedudukan Penjabat Sekda.
- Penunjukan Penjabat Sekda dapat menciptakan conflict of interestdi kalangan birokrasi pemerintah daerah, utamanya jika penjabat Sekda dalam posisi mengisi jabatan dikarenakan Sekda definitif tidak bisa melaksanakan tugas sesuai pasal 1 huruf a Perpres Nomor 3 Tahun 2018. Keberadaan Sekda definitif tetap akan menjadi bayang – bayang Penjabat Sekda, sehingga konflik kepentingan justru akan memunculkan permasalahan baru dalam birokrasi pemerintah daerah baik secara vertikal antara Penjabat Sekda dengan Kepala Daerah maupun secara horizontal antara Penjabat Sekda dengan Sekda definitif / Kepala OPD lainnya. Kegalauan Penjabat Sekda dalam memutuskan kebijakan strategis melalui intervensi Kepala Daerah, justru nantinya akan menghambat roda pembangunan di daerah.
- Pada Pasal 10 Perpres Nomor 3 Tahun 2018 dinyatakan bahwa bilamana dalam jangka waktu 3 bulan terjadinya kekosongan Sekda terlampaui dan Sekda definitif belum ditetapkan, maka pejabat diatasnya yakni Menteri untuk tingkat Provinsi dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk tingkat Kabupaten/Kota dapat menunjuk penjabat Sekda sesuai ketentuan. Hal ini juga akan menciptakan abuse of powerkarena tanpa usulan Gubernur atau Bupati/Walikota, pejabat diatasnya dapat menunjuk penjabat Sekda, kedepan akan muncul otoritarianisme baru di era demokrasi yang sudah terbuka saat ini. Akan lebih baik bilamana penjabat Sekda ditunjuk oleh pejabat atasan langsung yakni Gubernur atau Bupati/ Walikota yang bersangkutan dengan meminta supervisi/ pendampingan dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) agar objektivitas dan independensi penunjukan penjabat Sekda dapat lebih terjaga.
Dari beberapa telaah diatas, hendaknya Pemerintah Pusat mengevaluasi kembali atau setidaknya menyempurnakan Perpres Nomor 3 Tahun 2018, agar Perpres ini dapat lebih komprehensif dan aplikatif untuk dapat diaplikasikan pada penyelenggaran pemerintahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota, mengingat strategisnya peran, tugas dan kewenangan seorang pimpinan Sekretariat Daerah.
Andhi Kurniawan
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H