Mohon tunggu...
PJ Rahmat Susanta
PJ Rahmat Susanta Mohon Tunggu... -

Penulis adalah pengamat Marketing, Manajemen dan Service Quality.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Indonesia Memiliki Presiden yang Berpengalaman?

21 Agustus 2014   01:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:01 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu wacana yang muncul sejak pilpres berlangsung adalah soal pengalaman. Si A merasa lebih pengalaman dari si B sementara si B juga mengklaim dirinya lebih pengalaman dibandingkan lawannya. Amien Rais misalnya pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Jokowi tidak pantas menjadi presiden karena pengalamannya minim di pemerintahan nasional.

Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya, apakah negara ini memang memerlukan seorang presiden yang punya pengalaman di level pemerintahan nasional? Jika mengacu pada hal ini mungkin yang bisa menjadi presiden adalah sekelas menteri, wakil presiden atau pejabat militer di tingkat nasional.

Menarik juga melihat banyak pemimpin besar dunia yang inspiratif ternyata merupakan orang-orang yang tadinya nobody tiba-tiba muncul dan membuat perubahan besar. Aung Suu Kyi memang anak seorang politikus di Myanmar. Namun dia bertahun-tahun meninggalkan Burma untuk bersekolah dan kemudian menikah. Tahun 1988 dia datang ke Burma sekadar untuk menengok ibunya yang sakit. Namun momen ini justru menjadi awal karier politiknya di Myanmar untuk melawan rezim militer yang berkuasa.

Mahatma Gandhi yang terkenal dengan ajaran ahimsa-nya tadinya adalah seorang pengacara di Afrika Selatan. Perhatiannya terhadap perjuangan melawan penjajahan muncul pada saat dia naik sebuah kereta namun kemudian dia diminta pindah ke belakang karena dia tidak berkulit putih. Gandhi menolak untuk pindah karena dia telah membeli karcis dan akibatnya dia diturunkan paksa di sebuah stasiun kecil. Sejak saat itu dia selalu berjuang untuk keadilan.

Banyak terjadi seorang pemimpin besar lahir seperti takdir Tuhan yang menempatkan dia pada situasi yang tepat. Pemimpin-pemimpin seperti ini tiba-tiba muncul di tengah-tengah gerakan perubahan yang terjadi. Seperti Aung Suu Kyi muncul di tengah-tengah perlawanan terhadap rezim militer Myanmar, sementara Gandhi muncul di tengah-tengah perlawanan terhadap penjajahan Inggris di India. Jika Anda percaya hal ini maka Anda percaya bahwa pengalaman belum tentu melahirkan seorang great leader. Yang kebanyakan terjadi, pengalaman di pemerintahan justru membuat seseorang menjadi pemimpin yang berpihak pada status quo dan anti perubahan.

Mengapa orang-orang hebat ini menjadi great leader karena mereka hadir seperti sebuah oase di tengah-tengah orang yang haus akan perubahan. Jokowi adalah kasus bagaimana orang yang tadinya nothing menjadi something karena muncul di tengah-tengah pusaran kebaruan yang ada. Di tengah-tengah kebosanan rakyat akan arogansi kekuasaan, korupsi yang (baru ketahuan) merajalela dan pemimpin yang terjebak pada kekuasaan politik, Jokowi muncul dengan gaya berbeda. Blusukan di tengah-tengah rakyat, tidak menjaga jarak dengan rakyat, kehidupan yang sederhana dan mencoba menjauhkan operasional pemerintahan dari kepentingan pribadi dan golongan.

Kepemimpinan di era sekarang harus berhadapan dengan perubahan yang demikian cepat dimana orang selalu menginginkan pemimpin yang berbeda dan membawa perubahan dari sebelumnya. Rakyat pada masa sekarang tidak membutuhkan arogansi dari pemimpin karena adanya internet membuat orang seperti dekat satu sama lain. Seorang presiden bisa berkicau di twitter, me-like sesuatu atau membuat foto selfie.

Paus Fransiskus tadinya hanya seorang uskup di sebuah daerah di Argentina. Kini dia menjadi kepala negara Vatikan dan pemimpin dari 1.2 miliar umat Katolik di dunia. Tahun 2014 ini dia terpilih di urutan pertama dalam 50 Greatest Leader versi majalah Fortune (dimana Jokowi menempati urutan ke 37). Berbeda dengan pendahulunya yang terlibat birokrasi yang kaku, dia justru senang blusukan, pergi kemana-kemana menggunakan mobil tuanya ketimbang naik mobil kebesaran kepala negara. Dia ikut makan bersama pasukan penjaga, berfoto selfie bersama anak-anak remaja, dan lain-lain.

Kekurangan pengalaman bisa ditutupi dengan menempatkan orang yang tepat dalam organisasi. Namun yang dibutuhkan sekarang ini adalah pemimpin yang identik dengan pembaharuan. Pemimpin yang juga mampu memberikan inspirasi dan terlebih lagi, mampu menyalurkan energi positif kepada rakyat.  Kalau kita melihat model kepemimpinan seperti Aung Suu Kyi, Gandhi, Paus Fransiskus, mereka adalah pemimpin yang mampu menyalurkan energi yang positif kepada para pengikutnya.

Pemimpin yang besar harus menyadari bahwa mereka adalah penyalur energi kepada orang-orang. Kita bisa lihat bagaimana gaya bicara Suharto pada masa orde baru lalu membuat para menteri-menteri nya pun ikut-ikutan berbicara dengan gaya seperti dia. Saya melihat hal yang sama terjadi dengan para pembantu-pembantu presiden sekarang ini yang sering tidak tegas dalam bertindak.

Blusukan mungkin bukan gaya baru, namun di tengah-tengah arogansi kekuasaan para pemimpin yang mempertontonkan kursi empuk dan uang dimana-mana, blusukan yang dilakukan Jokowi memberi inspirasi bahwa pemimpin harus turun ke bawah, selalu di tengah rakyat dan mendengarkan rakyat. Blusukan yang ditampilkan Jokowi juga bukan sekadar turun ke pasar, menebar senyum dan menepuk-nepuk pejabat yang ada karena segala sesuatu nya terlihat lancar. Blusukan Jokowi juga menjadi kegiatan survei untuk melihat problematika yang ada dan mencari solusi.

Buat orang yang kontra dengan Jokowi menyebut apa yang dilakukan sebagai pencitraan, namun bagi orang yang mendukung Jokowi menganggap bahwa itu memang sebuah bentuk keteladanan yang harus ditunjukkan ke orang lain. Energi blusukan ini kemudian ditiru oleh pejabat lain baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, Kita bisa lihat bagaimana seorang Ignasius Johan yang tertitur di Kerta api karena kelelahan, atau Ahok yang blusukan ke pasar pagi atau Ganjar yang datang ke jembatan timbang. Itulah contoh bagaimana pemimpin yang baik harus bisa menularkan energi yang baik juga buat orang lain.

Saya juga ikut melihat konser dua jari di Gelora Bung Karno, dan saya melihat energi Jokowi mengalir ke orang-orang yang menotonnya sehingga sampai-sampai sebuah konser yang ada Slank-nya tidak lagi menjadi konser yang ricuh, tetapi berlangsung damai, Bahkan saya melihat bagaimana beberapa penonton memunguti sampah secara sukarela untuk menunjukan revolusi mental yang diusung Jokowi.

Pemimpin masa kini juga harus memiliki visi terhadap modernitas yang ada. Jokowi sekalipun berpakaian sederhana namun dia punya image modern karena perhatiannya soal digital, social media, IT dan dia mampu memanfaatkan itu semua. Modernitas juga menyangkut isu-isu di era modern, termasuk juga isu pluralitas, diaman dunia sekarang semakin mengurangi sekat-sekat yang ada di antara umat manusia.

Kita berharap saja semoga Jokowi menjadi presiden yang selalu tetap seperti itu, yang tampak pada saat dia menjadi walikota, Gubernur maupun saat kampanye sebagai calon presiden. Saya melihat beberapa pemimpin negara ini awalnya begitu menginspirasi rakyat, namun energinya kemudian berubah seratus delapan puluh derajat. Jangan sampai rakyat kecewa karena kemudian dia menjadi penyalur energi yang buruk buat rakyat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun