Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Design Thinking dalam Pembelajaran P5

7 Januari 2023   23:15 Diperbarui: 7 Januari 2023   23:35 2048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Design Thinking dalam Pembelajaran P5


Apakah itu Design Thinking? 

Design Thinking (DT) adalah bagian dari model pembelajaran berbasis proyek yang lebih luas. DT ini menggunakan pendekatan kreatif dan sistematis untuk mengajarkan pemecahan masalah. Dalam proses pembelajarannya, siswa akan melalui tahapan apa yang disebut dengan discovery (penemuan), ideation (ideasi), experimentation (eksperimen), dan evolution (evolusi) dalam mencari solusi inovatif untuk masalah dengan tingkat kerumitan tinggi. Proses pembelajarannya mengintegrasikan banyak kegiatan, antara lain observasi, kolaborasi, pembelajaran cepat, visualisasi ide, dan pembuatan prototipe proyek. Melalui pengintegrasian penelitian, pengembangan, dan kegiatan evaluatif, DT membuatnya sangat berguna untuk semua program pembelajaran, terutama untuk topik yang rumit, multi-segi, dan lintas disiplin, seperti halnya yang terjadi dalam Pembelajaran P5. Namun demikian, DT dapat juga diterapkan pada hampir semua mata pelajaran pada Kurikulum Merdeka yang membutuhkan inovasi dan pemecahan masalah yang kreatif. DT sangat sesuai dengan dunia nyata dari masalah rumit karena mempromosikan pencarian banyak kemungkinan pilihan, bukan hanya mengandalkan satu jawaban yang benar saja. DT digunakan secara luas di berbagai organisasi berwawasan kewirausahaan, dan telah diintegrasikan ke dalam pedagogi inovatif dan praktik desain selama bertahun-tahun. Oleh karena itulah, para pendamping Pembelajaran P5 di semua tema yang ada didalamnya, sangat dianjurkan untuk memiliki mindset ini.

Apa yang membuat DT berbeda dengan pembelajaran tradisional?

Pembelajaran tradisional mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada guru, dan menempatkan siswa sebagai objek dalam belajar. Di sini, guru berperan sebagai orang yang serba bisa, dan sebagai sumber belajar. Pembelajaran tradisional ini dikenal dengan pembelajaran behavioristik. Model pembelajaran ini membutuhkan pendekatan yang lebih tangkas jika diterapkan untuk topik pembelajaran yang rumit, multi-segi, dan lintas disiplin ilmu.

Sedangkan DT adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa akan menemukan pengetahuan melalui eksplorasi. Siswa akan mendefinisikan masalah, mengidentifikasi dan mengembangkan solusi potensial, dan menentukan cara untuk menilai pekerjaannya sendiri. Sedangkan peran guru berperan sebagai fasilitator dan penasihat untuk pembelajaran ini. Hal penting yang tertanam di seluruh proses DT adalah pembangunan kapasitas siswa melalui pengalaman belajar, latihan kolaboratif, dan pemecahan masalah secara kreatif. Belajar sering melibatkan pengalaman langsung yang berfokus pada tantangan dunia nyata. Dengan memusatkan kegiatan pembelajaran di sekitar masalah, dan menghasilkan solusi kreatif, pembelajaran ini, sebagaimana yang seharusnya terjadi dalam Pembelajaran P5, mendukung pengembangan kompetensi penting yang harus dimiliki siswa seperti pemikiran kritis, pembelajaran reflektif, kemampuan beradaptasi, kolaborasi yang efektif, dan pemikiran sistem.

The Design Thinking Multi-Stage Model

Ada banyak varian praktis tentang bagaimana model multi-tahap ini dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran, tetapi secara luas terbagi dalam lima kategori:

  • Discovery (Empathy, Research, and Problem Definition)
  • Ideation (Interpret, Create, and Make)
  • Experimentation (Prototype, Test and Evaluate)
  • Evolution (Re-Think, Re-Make, Repeat)
  • Deployment (Socialize, Pilot, and Integrate)

The Design Thinking Multi-Stage Model (Herbert Simon, The Sciences of the Artificial (3rd Ed.), 1996) 
The Design Thinking Multi-Stage Model (Herbert Simon, The Sciences of the Artificial (3rd Ed.), 1996) 

Discovery (Empathy, Research, and Problem Definition)

Discovery Stage (Flickr Image)
Discovery Stage (Flickr Image)

Pada tahap discovery ini, siswa diarahkan untuk memahami dan mendefinisikan masalah potensial untuk solusi dengan bertanya, "Apa itu?" Fondasi yang diperlukan untuk semua tahap DT lainnya adalah kemampuan untuk menghasilkan pekerjaan dengan informasi yang lengkap dan empati dalam diri siswa. Bagaimana caranya? Yaitu melalui tinjauan literatur, dan konsultasi dengan para ahli, bersama dengan upaya-upaya yang merupakan gabungan observasi dan keterlibatan dengan orang-orang dan lingkungan fisik yang relevan dengan topik yang dipilih. Informasi yang dikumpulkan dan didokumentasikan selama tahap ini dapat diselaraskan dengan tujuan pembelajaran dan penilaian. Siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih tentang masalah selama proses berlangsung.


Setelah menyelesaikan pengumpulan informasi, kelompok siswa mengatur, menafsirkan, dan memahami data untuk menentukan ruang lingkup masalah. Apa yang dilakukan oleh siswa tersebut membutuhkan kemampuan analisis (yaitu, memecah konsep yang kompleks) dan sintesis (yaitu, menyatukan informasi secara kreatif untuk membentuk gagasan utuh). Pernyataan masalah yang baik yang dihasilkan siswa tersebut harus berpusat pada manusia (human-centered), cukup luas untuk kebebasan berkreasi, tetapi cukup sempit untuk dapat dikelola. 


Ideation (Interpret, Create, and Make)

Ideation Stage (“What If?” phase of the work) (Flickr Image)
Ideation Stage (“What If?” phase of the work) (Flickr Image)

Pada tahap ideation ini, siswa menafsirkan penelitian mereka ke dalam berbagai ide kreatif dan solusi potensial. Langkah ini dimulai dengan pertanyaan “Bagaimana Jika?” (“What If?” phase of the work). Guru diharapkan mampu mendorong antusiasme dan partisipasi kolaboratif siswanya dengan menggabungkan metode pembelajaran aktif, teknik visualisasi pemikiran sistem (visualization techniques of systems-thinking), dan metode berorientasi gambar (image-oriented methods) lainnya untuk mendokumentasikan curah pendapat yang mereka hasilkan dalam tahap ideation ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun