Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Yang Kaya Overeating, Sedangkan yang Miskin Stunting

29 Januari 2022   10:08 Diperbarui: 30 Januari 2022   01:31 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemeriksaan balita secara berkala untuk mencegah stunting dan obesitas | sumber: shutterstock via kompas.com

Menjaga asupan gizi seimbang dengan konsumsi yang murah (terjangkau), mudah di dapat, akan tetapi tetap bisa mengikuti perkembangan zaman.

Negara maju, negara berkembang, dan negara miskin mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. Salah satunya menyangkut masalah yang berkaitan dengan asupan makanan yang dikonsumsi masyarakatnya.

Negara miskin mengalami kelaparan alias susah makan. Bila pun ada bisa makan seadanya saja sudah untung. Jangankan memikirkan asupan gizi seimbang, makan tiga kali sehari pun belum tentu. Padahal makan adalah kebutuhan primer manusia.

Negara maju karena makmur dan kaya, makan bukan sesuatu yang sulit diperoleh. Aneka menu makanan bisa disantap tiga kali sehari. Belum lagi makanan lengkap dari menu pembuka, menu utama, dan menu penutup. Itu pun ditambah cemilan di jam-jam antara.

Negara berkembang malah kedua masalah itu yang masih banyak ditemui. Obesitas akibat over eating dan stunting akibat asupan gizi tidak seimbang kerap terjadi di anak-anak generasi masa depan. Akibatnya ada potensi lost generation jika obesitas dan stunting tidak segera di atasi.

Terlebih seperti Indonesia di mana penduduknya besar, penyebarannya luas, dan adanya gap yang cukup jauh dari segi pendidikan, penghasilan, gaya hidup, dan variabel lainnya.

Dikutip dari laporan Unicef Indonesia obesitas anak juga meningkat, dengan satu dari lima anak usia sekolah dasar dan satu dari tujuh remaja di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, menurut Survei Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) 2018.

Anak dan remaja yang mengalami obesitas cenderung menderita penyakit tidak menular seperti diabetes dan berbagai penyakit kardiovaskular, juga mengalami depresi karena stigma. 

Mereka lebih mungkin absen dari sekolah, mengalami penurunan prestasi belajar dan lebih mungkin tidak menyelesaikan pendidikan tinggi. Anak yang mengalami obesitas juga berisiko menjadi orang dewasa yang obese.

Tingkat obesitas di Indonesia (negara berkembang) meningkat pesat baik di rumah tangga kaya maupun miskin karena mereka beralih dari pola makan tradisional ke produk olahan yang seringkali lebih tinggi lemak dan gula, dan lebih murah daripada makanan sehat.

Orang yang tinggal di daerah perkotaan lebih cenderung kelebihan berat badan karena akses ke makanan olahan lebih mudah. 

Kehidupan kota juga dikaitkan dengan gaya hidup yang lebih banyak duduk, terutama di kalangan perempuan dan anak perempuan, karena infrastruktur yang tidak memadai seperti trotoar sempit dan kurangnya taman, yang membatasi kesempatan untuk berolahraga.

Pengertian stunting menurut Kemenkes adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Sedangkan dikutip dari situs bkkbn, angka stunting secara nasional menunjukkan perbaikan dengan turunnya tren sebesar 3,3 persen dari 27.7 persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021. Data ini disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono.

Meskipun demikian 24,4 persen masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%. Tingkat prevelensi stunting 24,4 persen artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting.

Nutrisi yang terpenuhi dengan baik, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), adalah salah satu kunci utama dalam mencegah stunting pada anak. 

Namun, berdasarkan data di lapangan, prevelensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi sampai saat ini. Hal itu berarti pemenuhan kebutuhan nutrisi yang layak didapatkan oleh anak-anak di Indonesia masih di bawah standar.

Kurangnya edukasi tentang asupan gizi yang benar menjadi biang penyebabnya. Yang kaya bisa makan apa saja padahal yang dimakan belum tentu baik dari segi gizi dan kalori, untuk anak. 

Yang miskin pun demikian, bisa makan saja sudah cukup padahal yang dimakan kebanyakan adalah makanan olahan yang banyak mengandung pengawet, garam, dan pemanis buatan.

Permasalahan overeating dan obesitas ini juga dialami oleh Amerika Serikat sebagai contoh dari negara maju yang angkanya cukup tinggi.

Saat ini di AS sekitar 40 persen orang dewasa dan 18,5 persen anak-anak, dianggap obesitas. Angka ini meningkat sekitar 30 persen di tahun 2000. 

Sebuah penelitian memperkirakan 65 juta orang Amerika gemuk pada tahun 2030, dan meningkatkan biaya medis antara 48 miliar dolar dan 66 miliar dolar per tahun.

Sekitar 1 dari 5 dolar perawatan kesehatan dihabiskan untuk mengobati penyakit terkait obesitas. Biaya juga tinggi untuk individu. 

Dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal, pasien obesitas menghabiskan 46 persen lebih banyak untuk biaya rawat inap, 27 persen lebih banyak untuk rawat jalan dan 80 persen lebih banyak untuk obat resep.

Berdasarkan laporan UNICEF yang dirilis baru-baru ini, Jepang berada di posisi atas untuk indikator kesehatan usia anak-anak dunia dengan jumlah kematian bayi baru lahir dan berat badan di bawah standar (akibat kurang gizi) berada di level rendah.

Jepang juga berada di level rendah untuk kasus anak dengan obesitas/kegemukan di antara 41 negara maju "Organisation of Economic Cooperation and Development atau OECD" dan Uni Eropa atau "European Union".

Masyarakat yang peduli kesehatan dan kewajiban pemeriksaan kesehatan secara berkala di masa sekolah dasar hingga menengah juga merupakan faktor baik sistem kesehatan di sana. 

Tapi faktor kunci ada di program makan siang di sekolah yang berlaku secara nasional di Jepang. Dokter anak yang juga profesor Tokyo Kasei Gakuin University, Mitsuhiko Hara membenarkan hal itu.

Makan siang ini bersifat wajib dan menjadi keharusan di sekolah. Para siswa dapat membawa bekal mereka sendiri tapi makan siang wajib dari sekolah tetap harus dikonsumsi saat jam istirahat. 

Walau biasanya tidak bersifat gratisan dari sekolah atau negara, namun makan siang seperti ini selalu disubsidi sehingga dapat terjangkau semua lapisan siswa dari kelompok ekonomi mana pun.

Jadi permasalahan yang dihadapi Indonesia lebih kompleks mengenai anak-anak generasi penerus. Tingkat stunting masih tinggi sedangkan ancaman bahaya obesitas (over eating) pun makin meningkat.

Edukasi asupan gizi seimbang harus terus disebarkan ke sebanyak-banyaknya populasi. Sehingga seiring perbaikan ekonomi, masyarakat yang dulunya miskin makin sadar dan peduli akan gizi yang seimbang yang dikonsumsi keluarga. 

Begitu pun masyarakat kaya makin bijak dan pintar mengkonsumsi makanan yang diasupnya setiap hari.

Apalagi ada prediksi yang mengatakan Indonesia mempunyai bonus demografi di tahun-tahun mendatang di mana populasi angkatan muda (produktif) lebih tinggi sehingga membawa daya saing bangsa yang lebih baik. Ini yang akan mendongkrak Indonesia bisa menjadi negara maju kelak.

Dibandingkan dengan negara maju saat ini di mana pertumbuhan populasi malah menurun akibat banyak yang tak ingin punya anak, sehingga makin sedikit jumlah generasi yang meneruskan negaranya.

Menjadi tantangan bagi Indonesia sendiri di mana peluang dan potensi tersebut tidak akan berjalan sempurna jika "ancaman" internal berupa stunting dan obesitas tidak segera dituntaskan.

Pemerintah melalui lembaga dan jajarannya harus sigap selain mengedukasi juga membuat program hidup sehat dengan asupan gizi seimbang yang bisa dijadikan pedoman masyarakat. 

Menjaga asupan gizi seimbang dengan konsumsi yang murah (terjangkau), mudah di dapat, akan tetapi tetap bisa mengikuti perkembangan zaman.

Sebenarnya nenek moyang kita sudah mewariskan kearifan lokal mengenai bahan pangan, cara mengolah pangan, dan pola makan akan tetapi faktanya banyak yang sudah tak mempraktikkan secara rutin dan benar. 

Selain alasan banyak yang lebih memilih segala sesuatu yang lebih praktis selain faktor ketersediaan alias sudah sulit didapat untuk beberapa jenis makanan.

Kearifan lokal yang diajarkan pendahulu kita mulai dari makan dengan variasi makanan, sebagai contoh selain nasi (beras), dulu sumber karbohidrat bisa didapat dari singkong, ubi, jagung, nasi jagung, yang dikonsumsi bergantian. 

Sedangkan saat ini beras masih yang utama tapi variasinya adalah karbohidrat olahan seperti mie instan, roti, pasta, atau sumber karbohidrat olahan lain.

Bahkan anak-anak kita sejak bayi lebih mengenal susu formula dan bubur bayi pabrikan daripada air susu ibu dan bubur buah atau sayur hasil buatan sendiri.

Jika dulu menu bakar-bakaran, kukus-kukusan, dan rebus-rebusan lebih dipilih sekarang makanan goreng-gorengan yang paling banyak dikonsumsi. 

Jika dulu untuk pemanis menggunakan gula aren asli, gula batu, atau gula tebu asli sekarang minuman instan dengan pemanis buatan justru banyak dikonsumsi segala lapisan masyarakat.

Sebuah pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pribadi dan masing-masing anggota keluarga. Kesadaran akan apa yang masuk ke dalam tubuh akan berpengaruh pada kesehatan tubuh harus terus ditanamkan sejak dini.

Slogan "Empat Sehat Lima Sempurna" yang dulu di generasi saya digunakan harus direvisi dengan yang lebih nyata, lebih praktis, lebih applicable untuk generasi masa depan.

Keterbukaan informasi bagi seluruh kalangan dan lapisan masyarakat harus didorong dan disebarkan secara lebih luas.

Bangsa ini sejatinya bukan milik kita tapi milik anak dan cucu kita di masa depan. Jika yang kita ajarkan keliru maka mereka juga akan menerapkan ajaran kita dengan keliru pada generasi berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun