Kutatap kaca jendela basah yang menghalangi pandanganku saat melihatmu. Bayangmu samar di luar sana. Sosok yang selalu dirindu. Senyum yang tak pernah dilupa.
Tapi aku ragu membuka jendela untuk menyapamu. Sebab kini kau sudah bersamanya. Berdua di bawah payung. Bergandengan tangan masuk ke dalam rumahmu.
Sekuat tenaga dan rasa aku melupakanmu. Lima tahun sejak kita berpisah. Kini kau kembali hadir di hadapanku. Bersama dia yang tiba-tiba jadi tetanggaku. Bisikan siapa hingga kalian memilih rumah di sini.
Padahal sudah kutinggalkan tempat saat bersamamu dulu agar aku bisa melupakanmu. Apa kau sengaja ingin memamerkan kebahagianmu di depanku? Â Apa kau ingin memastikan melihat penderitaanku?
Kau yang pergi dengan membuatku luka. Kini kau kembali tanpa disangka. Di tempat jauh yang sejauh mungkin bisa kumenjauh dari kenangan kita. Kau pergi tanpa penjelasan, kau datang kembali tanpa diundang.
Tiga tahun bersamamu bukan tanpa arti apa-apa. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia, yang bersamamu kini adalah atasanku di kantor. Tak paham bagaimana kalian bertemu. Sungguh aku tak ingin tahu. Melihat kalian berdua saja masih membuat darahku bergejolak.
Aku yang mengajarinya Bahasa Indonesia setibanya dari Tokyo sana. Aku yang memberi tips mendekati perempuan sini. Aku yang mengajarinya kata-kata romantis dan gombalan-gombalan puitis. Tapi kenapa kamu yang berhasil diraih.
Hujan bulan November datang tak kenal waktu. Kuintip lagi dari balik jendela, bibir basahmu sekarang jadi miliknya. Aku yang hampir berhasil melupakanmu sekarang kembali ke dalam kubangan memori yang dulu pernah kita gali bersama.
Hujan Bulan November mengapa menjadi menyakitkan. Menusuk-nusuk bagai belati yang tembus hingga ke uluhati. Apakah aku bisa bersikap biasa lagi pada kalian? Apakah kau bisa bersikap biasa padaku? Apakah kau sudah ceritakan tentang kita padanya?
Apakah kau masih mengenalku? Apakah kita pura-pura tak saling mengenal? Apakah kau mencintainya? Apakah ada kesempatan aku kembali bersamu?