Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Belimbing di Depan Rumah

3 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 3 Oktober 2021   09:00 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon belimbing peneduh suasana | Foto: bali.tribunnews.com

Ada satu pohon belimbing di depan rumahku. Tinggi dan rindang. Pohon tertua di antara tanaman lainnya di rumah ini.  Dibiarkan tumbuh karena hijau dan memberi kesejukan di siang hari. 

Pohon itu ditanam kakekku sebelum aku ada. Saat tanahnya masih berupa kebun keluarga. Dulu buahnya sangat lebat jika sedang musimnya. Berwarna kuning terang dengan ukuran yang besar. Buahnya yang berair itu manis dan segar.

Bentuknya yang seperti bintang sangat indah dipandang. Seperti memandang bintang yang berkilauan di langit yang tinggi. Sedang bintangku menggantung rendah di depan rumah.

Aku sering memanjatnya. Duduk di cabangnya. Memakan langsung buahnya. Walaupun sering diperingatkan untuk dicuci terlebih dulu. Anak kecil mana yang peduli.

Kebiasaan duduk di cabangnya terbawa hingga aku besar. Bukan untuk makan di atas pohon tapi sekadar duduk memandangi hijaunya daun, kuningnya buah. Merasakan hembusan angin dan dinginnya embun.

Ah, waktu berlalu begitu cepat. Pohonnya masih berdiri tapi daunnya tak selebat dulu. Buahnya tak sebanyak dan sebesar dulu. Cabangnya pun sudah banyak yang rapuh. Ia tampak ringkih.

Sedang pohon rambutan yang baru lima tahun ditanam di sebelahnya sudah tumbuh lebih besar darinya. Sekarang keluarga dan tamu lebih antusias memanen rambutan dibanding belimbing. 

Sudah dirawat dan dipupuk rutin pun sudah tak maksimal. Umurnya memang sudah tua mungkin. Ada yang menyarankan menebangnya dan menggantinya dengan pohon yang baru.

Mangga, alpukat, atau durian sekalian sepertinya akan menarik. Tapi aku masih bertahan, membiarkan pohon belimbing itu ada.

Entah sampai kapan. Menunggu aku yang bertahan atau dia yang sudah sampai takdirnya. Entah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun