Katanya pembangunan tapi bukannya membangun malah menghancurkan. Aki Hujan dan danau kecil itu terkena gusur.Â
Tak ada yang bisa menghalang meski penduduk tak setuju. Apalagi sawah dan kebun warga pun dibeli oleh pemborong.Â
Setelah itu keluargaku pindah ke Jakarta. Hanya kakek dan nenek yang tinggal di kampung halaman. Menempati rumah pusaka. Tak ingin meninggalkan tanah kelahiran.
Dua tahun kemudian saat kembali menginjakkan kaki ke kampung halaman. Aki Hujan dan danau kecil itu musnah. Daerah tersebut sudah berubah menjadi jalan raya dua arah dengan pertokoan di kiri kanan jalan.
Tak ada lagi padang alang-alang, kebun jagung dan persawahan. Semua telah menjadi deretan rumah-rumah yang berdesain sama, berukuran sama.Â
Tak terasa lagi kesejukan dari angin yang semilir. Tak ada lagi kesegaran dari air danau nan jernih. Yang terasa hawa panas dan membuat gerah. Yang ada kehausan di tanah gersang.Â
Tiga puluh tahun berlalu. Tak ada lagi yang ingat dulu di tempat itu ada Aki Hujan sang pemberi kehidupan. Tak ada yang ingat lagi ada danau kecil yang airnya tak pernah kering.Â
Kenapa manusia memusnahkannya? Kenapa manusia menghilangkan kehidupannya sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H