Diskusi Kompas TV:
Selang beberapa hari kemudian, pada acara Rossy di Kompas TV, diundanglan sejumlah narasumber antara lain, Wimar Witoelar dan Haris Azhar. Sengaja cukup dua nama ini disebut dalam tulisan ini, karena dua tokoh ini cukup mewakili dua arus pemikiran berbeda paska tulisan Romo Magnis.
Haris Azhar, dikenal luas sebagai aktivis pejuang gigih hak-hak asasi manusia. Ia juga menuntut agar negara (cq. Pemerintah) segera melacak dan menemukan para pelaku kejahatan penghilangan orang terutama dalam kasus Munir. Â
Haris terus bersuara agar para pelaku kejahatan kemanusiaan itu diseret ke pengadilan HAM dan dijebloskan ke dalam jeruji penjara. Tuntutan Haris Azhar itu sudah berlangsung sangat lama sejak pemerintahan SBY 10 tahun hingga pemerintahan Jokowi. Tetapi hingga hari ini, kita semua sama tahu, Â tuntutan Haris dan kawan-kawannya itu terkesan tidak digubris.
Haris Azhar juga sangat kencang  menuding dan menuntut mantan Danjen Kopasus Jenderal Prabowo yang dipecat dari satuannya dan diduga kuat terlibat sangat jauh dalam kasus penghilangan orang dan kasus Trisakti.
Prabowo selalu disebutnya sebagai bagian sangat penting dalam kasus penghilangan orang terutama para aktivis pada masa silam. Prabowo harus dimintai pertanggungjawabannya.
Haris Azhar pun berulang kali meminta Jokowi, untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia yang diduga ikut terlibat beberapa oknum militer, termasuk di antaranya mantan militer di kalangan dalam kabinet Jokowi. Tetapi hingga hari ini, permintaan, tuntutan dan seruan berulang kali Haris Azhar dan kawan-kawan itu, tampaknya tak digubris hingga proses pemilu penentuan politik mesti dikerjakan hari ini.
Dalam diskusi panel yang dipandu Rossy Silalahi di Kompas TV pekan lalu, Haris Azhar berpendapat, sikap politik seseorang pemilih untuk tidak memilih justru membela kepentingan opini publik atas ketidaksetujuannya terhadap dua calon presiden yang tersedia. Pilihan untuk tidak memilih dua calon sebagai satu bentuk koreksi atas opini politik parlemen yang tidak sensitif dengan realitas masyarakat plural.
Karena itu Golput sama sekali tidak buruk. Malah, Golput itu adalah satu jenis gerakan politik rakyat untuk mengingatkan elite politik atas kesemberonoan dan kesewenangan politik selama ini. Dia mengoreksi sikap parlemen yang tidak sensistif pada konflik politik dan bahkan tidak sensitif terhadap pemilik kedaulatan rakyat itu sendiri.
Sedangkan Wimar Witoelar, adalah seorang intelektual prodemokrasi. Ia selalu menawarkan nilai-nilai kemanusiaan untuk membuka ruang diskursus seluas-luasnya agar memberi makna substantif pada demokrasi.
Baginya, demokrasi dari hari ke hari harus lebih bermakna agar rakyat Indonesia lekas keluar dari penderitaannya. Dia selalu kritik rejim despotik Orde Baru. Dia menawarkan rejim demokratik yang berbasis pada pluralisme di Indonesia ini.